RENJANA 9

56 7 0
                                    


Ocha menyeret Kinan keluar dari mobilnya. Ia menggamit lengan Kinan kencang, menekan tombol kunci pada remot mobilnya dan masuk ke dalam rumah melalui pintu di garasi. Ia menyapa asisten rumah tangganya yang menyambutnya di dalam, menawarkan untuk membuat minum pada Kinan yang langsung di-iyakan dengan cepat. Dua-dua Ocha melangkah menaiki tangga, membuat orang yang diseretnya kewalahan.

Kinan sedari tadi tidak banyak membantah, ia nurut saja diseret ke sana ke mari oleh Ocha. Temannya itu tampaknya sedang kalut akan sesuatu. Kalau boleh sombong, ia bisa menjamin kalau ini adalah tentang pesta yang akan diadakan malam ini. Sejak seminggu ini memang Ocha sudah uring-uringan soal hal ini, mengeluh ia tidak ingin menghadari pesta tak penting itu.

Di dalam kamarnya, Ocha langsung mendudukkan Kinan di kasur, sementara ia menarik kursi belajarnya dan duduk di hadapan Kinan. Ia menatap Kinan memohon, ragu meraih tangan sahabatnya itu.

Kinan mengerutkan dahi, menepis tangan Ocha, “Nggak ada acara pegang-pegangan tangan!”

Ocha mendelik, “Gua juga ogah baik-baikin lo kayak gini sebenernya. Tapi gue butuh bantuan—“

“GAK!” sergah Kinan cepat. Ia menyilangkan tangannya di depan dada.

Ocha meringis, “Plis, kek, pliiissssss.... Nan, gue janji gue nggak akan ngacangin lo di acara itu! Lagian ada Geo, Nan!”

Kinan mendengus, “Geo kan sama Ubi, gue nggak mau ngeliat mereka berdua gandeng-gandengan tangan.”

Ocha mengusap wajahnya kasar, “Kaga! Beneran! Plis banget temenin gue ke pesta! Gue nggak mau dateng sendirian!”

Kinan melotot, “Ya pastilah mereka gandeng-gandengan! Lo ajak Daffa sana biar bisa gadeng-gandengan jugak!”

Ocha menggeleng kencang, “Kan gue udah bilang, dodol! Dafffa nggak mau! Udahlah jangan banyak bacot, ikut aja! Gue cium lo kalo nggak ikut!”

“Ogah! Gue nggak suka pesta-pesta mewah nggak jelas kayak gitu! Males! Sana lo pergi sendiri aja, gue diem sini.”

Ocha mendecak tidak sabar, ia bangkit, menerjang Kinan dan segera memonyongkan bibirnya ke arah wajah Kinan. Kinan memekik, menoyor bibir Ocha dan berguling ke atas kasur. Ocha langsung menahan Kinan, memegang kepalanya dan menariknya menuju wajahnya.

“Gila lo! Anjir! Jibang! AHELAH!!!” Kinan meracau tak jelas, terus berusaha menyingkirkan Ocha yang keras kepala.

Ocha tak menyerah, ia terus mendekati Kinan, menahannya di kasur sambil melotot, “Ikut nggak lo!”

Suara ketukan di pintu kamar Ocha terdengar, lalu suara Geo menyusul, tapi Ocha tak acuh, ia terus menerjang Kinan. Pintu kamar terbuka, Geo berdiri menjulang di baliknya, ia menaikkan alis melihat Kinan dan Ocha yang bergumul di atas kasur.

“Sori ganggu,” katanya dengan cengiran.

“Bang! Tolongin Kinan! Tolongin!!” Kinan memohon sambil terus manahan Ocha.

Geo menyilangkan tangannya di depan dada, “Lo bawa Si Merah, ya? Gue bawa BMW.”

Ocha langsung berhenti setelah mendengar perkataan Geo, “Nggak! Gue nggak mau bawa Si Merah!” ia bergidik ketika bayangan mobil sport merah itu muncul di kepalanya. Itu adalah hadiah ulang tahun Papa untuk ulang tahun Geo yang ke-20, tapi kakaknya itu tak pernah memakainya sekali pun.

“Kalo gitu lo pake supir, oke? Gue bawa BMW.”

Ocha mendelik, “Kenapa sih ngotot banget bawa BMW?”

“Mobil gue kan itu?” tanya Geo dengan retoris.

Ocha mendecih, “Katanya gue boleh pake sesuka hati.”

“Yap. Kalo gue lagi nggak mau make. Gue bilang Pak Parman supaya nyiapin mobil buat lo.”

Kinan yang sejak tadi hanya menyimak, diam-diam menyelinap turun dari kasur dan menjauhi Ocha yang kini memutar bola matanya mendengar Geo.

“Kinan ikut ke pesta?” tanya Geo.

Kinan menggeleng cepat, “Nggak! Aku ngapain di sana.”

Geo mengangguk, “Ya udah. Cha, jangan sampe telat. Acara mulai jam 8.”

Sepeninggal Geo, Ocha langsung menatap Kinan memohon, “Nan, plis banget ikut! Kalo Bella bisa gue bakal paksa dia juga biar ikut. Tapi dia kan ada acara sama mamanya. Tinggal lo harapan gue.”

Kinan mengalihkan pandangannya dari Ocha, ia tahu kalau ia terus menatap Ocha dan wajah memohonnya, ia akan kalah.

“Lo tau banget gue benci acara begini... papa mama gue pasti sibuk di sana, Geo juga. Gue nanti sendirian lagi ujungnya.”

Kinan melirik Ocha, ia bergerak tak nyaman di tempatnya.

“Nan. Plis! Plis! Lo tau sebenci apa—“

“Berisik! Gue mandi duluan!” sambar Kinan cepat, ia melewati Ocha sambil menoyor kepalanya hingga Ocha terjatuh ke atas kasur dan terbahak.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang