RENJANA 42

58 3 5
                                    

Haloo selamat paagi. Ehe..

Selamat membacaaa

-

Kebetulan mungkin harus ia hapus dari kamusnya. Karena pertemuan semacam ini tak mungkin hanya kebetulan. Tuhan, dengan segala skenarionya, pasti sedang merencanakan sesuatu ketika ia membuat dua orang yang sama sekali tak punya keperluan bertemu. Pertemuan pertama atau kedua, ia masih tak ambil pusing, namun setelahnya, ia terus dipertemukan di waktu dan tempat yang tak cukup ia jelaskan hanya dengan kata ‘kebetulan’. Ia tertawa ketika berpikir, ‘apa ini takdir?’. Takdir apa yang mengharuskan keduanya bertemu? Mereka harusnya malah saling menyingkir dari hidup masing-masing agar tak menjadi masalah.

Sudut rumah sakit itu menjadi saksi ketika pikirannya berkecamuk soal apa sebenarnya yang semesta rencanakan untuknya dan orang yang ada beberapa meter di depannya. Mata mereka bertemu, sama-sama terkejut. Bedanya tatapannya bercampur rasa tak suka dan.... resah? Untuk sepersekian detik mereka hanya diam di tempat, melihat dari jauh keberadaan masing-masing. Lalu perlahan keduanya berjalan mendekat, tak repot melepaskan tatapan mereka.

“Ocha........” sambut Intan yang duduk di atas kursi roda. Ia meraih tangan Ocha, menggenggamnya hangat.

“Tante apa kabar?” Ocha berlutut di depan kursi roda agar Intan tak perlu mendongak.

“Baik... kamu kenapa nggak pernah datang lagi ke rumah rehab?”

Ocha diam-diam melirik Raka, cowok itu menatapnya datar, “Ah.. iya, repot sama skripsi.. nanti aku main ke sana kalo ada luang... Tante ngapain di sini?”

Intan menepuk-nepuk tangan Ocha digenggamannya, “Check up rutin.. kamu di sini siapa yang sakit?”

“Temenku, Tan.. abis operasi usus buntu. Tadi ke sini ramean, tapi aku pulang belakangan.”

“Oh, ini udah mau pulang?”

“Iya...”

“Kita juga mau pulang. Kamu naik apa?”

Ocha mengangkat alisnya, ragu-ragu menjawab, “Aku naik ojek online atau taksi mungkin.”

“Bareng kita aja.. Raka bawa mobil. Yuk.”

“Ah.. nggak usah Tante, repot, rumahku kan lebih jauh dari rumah rehab.”

“Iya, Ma.. Mama harus cepet istirahat, nggak sempet kalo nganter Ocha dulu.”

“Ya kalo gitu kamu anter Mama dulu baru abis itu anter Ocha sekalian kamu pulang.”

Raka mendecak mendengar saran Intan. Ocha yang melihatnya segera tersenyum canggung.

“Nggak apa, Tan.. lain kali aku aja yang ke tempat Tante.”

Intan menggeleng, ia menolak melepas tangan Ocha, “Ayo.. ikut mobil Tante.. Raka kalo Tante yang nyuruh nurut, kok.”

Ocha menggigit bibirnya. Ia tak berani melihat ke arah Raka ketika akhirnya mereka bertiga berjalan menuju parkiran rumah sakit. Ocha membantu melipat kursi roda dan memasukkannya ke bangku belakang di mana Intan duduk. Dengan terpaksa, ia harus duduk di kursi penumpang depan setelah Raka selesai memakaikan sabuk pengaman Intan.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Intan yang sepertinya kelelahan langsung tertidur begitu mereka keluar dari pelataran rumah sakit. Raka menyalakan radio dengan volume kecil untuk mengusir sunyi yang menyelimuti mobil.

“Ini terakhir kali.” Raka memecah hening.

Ocha menoleh tak mengerti.

“Terakhir kali lo nemuin nyokap gue.”

Ocha mengerut tak setuju, “Nyokap lo nyuruh gue buat sering-sering dateng.”

“Gue nggak kasih izin,” kata Raka dingin.

“Gue nggak butuh izin dari lo.”

Raka mendecak tak suka. Dari banyak sekali pertemuan tak disengaja mereka, ia perlahan tahu kalau gadis di sampingnya amat keras kepala, menyebalkan, suka ikut campur dan suka ceplas-ceplos, dan entah kenapa, seolah hidup sedang mempermainkannya, menertawakan niatnya selama ini, ia malah terus dipertemukan dengnnya dan berakhir dengan gadis ini mengetahui semua rahasia yang selama ini ia tutupi dari dunia. Kalau bukan karena ada ibunya di kursi belakang, mungkin ia sudah meledak saat ini juga.

Raka berbelok ke pelataran rumah rehab, memarkir mobilnya dengan rapi. Sebuah kemampuan yang ia pelajari dari bertahun-tahun pengalamannya mengurus sendiri mamanya yang sakit. Ocha di sampingnya keluar tanpa mengatakan apapun. Raka meliriknya sekilas dan mendesah, lihatlah betapa menyebalkannya gadis itu.

Ocha membuka pintu penumpang belakang, mengeluarkan kursi roda untuk Intan. Intan tersenyum penum terima kasih. Raka memegangi tubuh lemah Intan dan menuntunnya hati-hati menaiki kursi roda. Ocha mendorong kursi roda Intan sampai ke dalam kamar sementara Raka membuntuti di belakangnya. Intan dengan semangat mengobrol hal-hal sepele dengan Ocha sepanjang lorong sengaja mengabaikan Raka yang juga tak repot nimbrung.

“Raka, sekarang anterin Ocha pulang ke rumahnya.”

Raka menghela nafas, “Iya.”

“Sampe depan rumahnya.”

“Iya.”

Ocha menyalami Intan, berjanji padanya untuk datang lagi lain waktu, tak peduli pada Raka yang mendengus mendengarnya.

“Lo kenapa si nggak suka banget gue ketemu nyokap lo?” sungut Ocha ketika mereka sudah berada dalam mobil, melaju menuju rumah Ocha.

Raka tak menjawab, ia fokus pada jalanan di depannya.

“Lo malu sama nyokap lu karena dia sakit?” tanya Ocha penuh nada menuduh.

Raka mendelik tak suka.

“Beneran karena itu? Lo malu sama nyokap lo sendiri?”

“Nggaklah!” jawab Raka kesal.

“Kalo gitu kenapa? Kenapa gue nggak boleh main lagi ke sana? Kalo lo ngasih alasan yang masuk akal gue ngerti.”

“Gue nggak suka lo ngorek-ngorek kehidupan pribadi gue.”

Ocha memutar bola matanya malas, “Pede lo. Gue nggak tertarik sama hidup lo. terlepas dari Tante Intan itu ibu lo, beliau temen gue, gue ketemu tanpa tau kalo dia nyokap lo.”

Raka memukul stir mobilnya, “Sekarang lo udah tau, harusnya lo berenti nemuin nyokap gue.”

Ocha mendengus. Raka bersikap seperti ini lagi. Tapi salah sekali kalau cowok di sampingnya ini berpikir ia akan menciut seperti waktu itu. Ia mulai merasa bahwa Raka punya banyak hal yang disembunyikan, dan ia tak ingin tahu apa alasannya sampai hari ini. Sikap Raka yang bersikeras melarangnya menemui ibunya malah membuatnya makin ingin tahu soal dirinya. Ia malah makin penasaran sebenarnya orang seperti apa Raka itu dan kenapa ia menyembunyikan ibu kandungnya yang sakit di tempat ini?

“Ah, bodo! Lo ngelarang, gue malah makin pengen nemuin nyokap lo lagi. lagian gue nggak punya urusan sama lo, gue punya urusannya sama Tante Intan, “ kata Ocha.

Raka menoleh kesal, “Kenapa, sih, lo kekeuh banget?”

“Ya lo juga nggak ngasih alasan yang masuk akal.”

“Emang lo pikir masuk akal kita sama sekali nggak kenal satu sama lain, nggak tau apa-apa soal satu sama lain, nggak punya urusan sama sekali, nggak deket sama sekali, tapi lo tau rahasia gue dan bahkan temenan sama nyokap gue?!!”

Ocha tertegun mendengar ledakan Raka. Semua yang dikatakannya memang terdengar masuk akal. Ia juga bukannya sedang sibuk mempertanyakan kebetulan aneh yang terjadi antara dirinya dan Raka saat tadi bertemu di lorong rumah sakit? Ternyata Raka mungkin juga merasakan hal yang sama. Pasti sangat tidak nyaman kalau orang asing mengetahui rahasia yang bahkan orang terdekat kita pun tidak tahu.

“Ya kalo gitu tinggal kenalan,” ujar Ocha, menawarkan opsi tidak terduga. []

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang