RENJANA 8

59 4 0
                                    

Matahari bersinar menembus cela tirai yang tersingkap. Bella memicing, memutar tubuhnya ke arah lain, menghindari pancarannya. Tak ada suara burung nan merdu di luar kamarnya yang siap menyambutnya di pagi hari, alih-alih terdengar ketukan cepat di pintunya. Awalnya tak ada suara selain itu, namun kemudian suara seorang wanita terdengar memanggil-manggil namanya. Lembut, namun penuh penekanan. Seluruh tubuh Bella menegang, kantuknya sirap dengan cepat dan ia mendesah dalam hati. Apa yang membawa wanita itu sepagi ini di sini?

Pintu kamarnya terbuka sendiri, menampakkan seorang wanita paruh baya dengan raut cantiknya yang masih ketara melekat di wajahnya. Bella menatapnya sebentar, sebelum akhirnya bangun menghadap wanita yang kini duduk di sisi ranjangnya. Ia memaksakan sebuah senyuman.

"Pagi, anak kesayangan mama." Wanita itu memeluknya hangat.

Bella menahan napasnya, bau parfum laki-laki yang melekat di tubuh wanita di depannya benar-benar membuatnya muak. Ia tidak menolak pelukan itu, tidak juga membalasnya. Ketika pelukan itu terlepas, ia bahkan tak mampu menatap wajah mamanya yang sudah tiga bulan ini tidak dilihatnya.

"Kamu tumben jam segini baru bangun, kuliahmu bukannya pagi?"

"Nggak, Ma, hari ini aku masuk siang," cicit Bella seraya berusaha menyingkir. Ia menyibak selimutnya dan turun dari kasur, menoleh sekilas pada mamanya, "Udah sarapan, Ma?"

"Kebetulan Mama bawain kamu croissant kesukaan kamu."

Bella melempar senyum tipis dan keluar dari kamarnya dalam sunyi. Ia memang tidak pernah dekat dengan mamanya sejak dulu. Kalau diingat-ingat ia bahkan hanya punya satu kenangan baik soal mamanya: ulang tahunnya yang kelima, ulang tahun pertama dan terakhir untuknya bersama Mama. Setelahnya ia hanya punya kenangan buruk. Soal ayahnya bahkan ia hanya punya ingatan samar-samar. Tidak pernah ada yang menyebut-nyebut soal ayahnya selama ini, tapi ia cukup tahu apa yang terjadi dengan keluarganya ini. Sebelum ia bahkan bisa menjumlahkan satu tambah satu, ia sudah lebih dulu mengerti kalau ayahnya meninggalkannya karena suatu alasannya yang membuatnya benar-benar muak pada mamanya.

Di dapur Bella mendapati sekotak roti croissant yang dibencinya. Darimana wanita itu bisa menyimpulkan bahwa ia menyukai croissant? Melihat kotaknya saja membuatnya kehilangan seluruh nafsu makannya pagi ini. Perutnya yang tadi keroncongan mendadak mual. Ia meneguk segelas air putih sebagai gantinya dan langsung pergi menuju halaman belakang.

Di belakang ia mendapati seorang wanita tua mengenakan topi lebar dan sarung tangan sedang mengurusi bunga-bunga anggreknya yang berwarna-warni. Bella tersenyum, neneknya selalu bisa menyembuhkan segala penatnya hanya dari penampakannya saja.

"Bu, Bella udahh bangun, nih!"

Bella berjengit mendapati mamanya sudah berdiri di sampingnya. Hatinya mencelos, merapal dalam hati kalau ia harusnya ingat wanita ini sedang ada di rumah.

Nenek menoleh mendengar suara Mama, senyumnya mengembang dan ia berjalan mendekat pada mereka. Ia melepas sarung tangannya dan menjawil pipi Bella lembut. Selanjutnya ia langsung memeluk hangat anak perempuannya yang sudah lama tak ia temui.

"Mama seneng kamu pulang, Rena!" nenek menepuk punggung Mama, "Jam berapa sampai sini? Kok nggak nagbarin dulu?"

Bella bungkam di belakang mereka. Ia sama sekali tidak mengerti bagaimana Nenek bisa memperlakukan Mama seperti semua baik-baik saja.

Rena duduk di kursi, tangan lentiknya yang bekutek merapikan rambutnya yang tergerai rapi, "Baru sampai, Ma. Sengaja nggak ngabarin biar jadi kejutan."

Bella tak mau nimbrung, ia tidak pernah nyaman bicara dengan mamanya, maka ia undur diri dengan sopan. Kalau sudah begini, ia benar-benar tak tahan berada di rumah. Ia segera mandi dengan cepat dan rapi-rapi. Tiga puluh menit kemudian ia sudah berpamitan pada Nenek dan Mama untuk berangkat ke kampus padahal jadwalnya masih dua jam lagi.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang