RENJANA 13

57 6 0
                                    

Happy reading...

-

Ocha menuruni tangga dengan bersemangat. Ia mengalungkan kameranya sambil menghampiri Daffa yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Ocha mencolek cowok itu dari belakang, melempar senyum lebar saat siempunya pipi menoleh. Senyumnya melebar kala Daffa menjawil pucuk hidungnya dengan telunjuk panjangnya.

“Tumben wangi?” tanya Daffa menggoda, kini bangkit berhadapan dengan Ocha.

Ocha mengerutkan dahi, “Aku biasanya nggak wangi emang?”

Daffa menggeleng cepat, tangannya terulur memasang resleting jaket Ocha yang masih terbuka, “Biasanya wangi sabun, sekarang wangi parfum.”

Ocha mengangguk, “Suka nggak wanginya?”

Daffa melepas topi putih yang dipakainya dan memakaikannya di kepala Ocha, “Hm....” Daffa tampak berpikir sambil merapikan rambut Ocha di balik topi, “Terlalu nyengat, tapi nggak apa-apa sih, mungkin belum biasa aja.”

Ocha mengangguk lega, “Kamera kamu mana?” tanya Ocha.

“Di tas. Yuk.” Daffa mendaratkan tangannya di kedua pundak Ocha, mendorongnya pelan menuju pintu depan.

Di depan rumah ia berjalan menuju motornya yang terparkir rapi. Ia mengeratkan jaket yang dipakainya, lalu menyerahkan helm milik Ocha yang selalu ada bersamanya pada pacarnya itu. Helm itu adalah hadiah ulang tahun darinya untuk Ocha tahun lalu. Mereka sepakat kalau helm itu akan dipegang oleh Daffa karena Ocha hanya naik motor bersama Daffa saja, jadi selain bersama cowoknya itu, ia tak membutuhkan helm. Dan Daffa suka fakta bahwa Ocha hanya naik motor dengannya saja—bahkan ojeg pun tidak.

“Jauh nggak sih tempatnya?”

“Masa kamu pernah ke sana?”

Ocha menggeleng seraya memasang helm-nya, “Kamu nggak pernah ngajak.”

“Kirain kamu udah pernah ke sana, tau gitu aku ajakin dari tahun lalu.”

Hari ini seperti janji yang sudah mereka buat, Daffa dan Ocha akan pergi ke Japan Fest yang diadakan tiap tahun. Dari namanya saja sudah cukup mewakili suasana acara ini. Semua yang ada di festival ini berbau Jepang, banyak stand-stand makanan Jepang, stand-stand yang menjual pernak-pernik lucu juga serba Jepang, ada juga penyewaan kimono, ada banyak pertunjukan, bahkan beberapa grup dari Jepang datang langsung ke acara ini. Tempat ini menjadi tempat kumpul tahunan para pecinta anime Jepang yang biasanya datang dengan menggunakan busana cosplay karakter kesukaan mereka. Orang-orang yang berdatangan ke festival ini bukan hanya orang Indonesia saja, namun juga orang-orang Jepang yang memang tinggal di Indonesia, atau wisatawan dari Jepang maupun negara lain yang mungkin kebetulan sedang jalan-jalan ke Indonesia bersamaan dengan dihelatnya acara ini.

Motor Daffa melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya yang cukup ramai pagi ini. Karena ini hari kerja, jadi jalanan tidak terlalu ramai. Kebetulan hari ini Ocha memang tidak ada jadwal, hingga ia setuju saat Daffa mengajaknya jalan hari ini. Biasanya mereka hanya jalan hari minggu saja, karena biasanya di hari kerja seperti ini mereka harus menyelesaikan proyek desain yang jumlahnya tak tanggung-tanggung—perlu tiga hari tiga malam tidak tidur untuk menyelesaikan minimal 1 tugas.

“Agak jauh, kalo pegel bilang, ya..”

“Nggak apa-apa, nggak usah berenti. Pegel juga jalan aja, biar cepet sampe.”

Daffa terdengar tertawa pelan, “Maksudku bilang kalo pegel biar gantian kamu yang bawa motornya, soalnya emang lebih pegel dibonceng daripada ngendarain.”

Ocha manyun, menoyor kepala Daffa di balik helm pelan, “Nggak apa-apa kalo mau masuk rumah sakit bareng.”

“Beneran nggak mau belajar motor?”

Ocha memutar bola matanya malas, “Naik sepeda aja nggak bisa.”

Daffa sudah sering menawari Ocha untuk mengajarkannya mengendarai motor sejak mereka awal pacaran. Ocha selalu menolak dengan alasan kalau ia tidak punya motor, jadi tidak perlu belajar motor segala. Daffa sebenarnya senang karena Ocha tidak bisa naik motor, dengan begitu ia akan bisa memboncenginya kemanapun. Tapi terkadang Daffa suka merasa sayang kalau Ocha tidak bisa mengendarai motor sementara ia bisa megendarai mobil.

“Ya itu aku juga udah sering ngajakin. Ayo aku ajarin naik sepeda.”

Ocha diam sebentar, “Nggak ada waktu.”

“Waktu jalan kita diganti aja jadi belajar sepeda. Mau? Kan sama aja jadinya jalan juga, ketemu juga, main juga.”

“Enaknya belajar di mana?”

“Di komplek kamu aja kan nggak usah jauh-jauh.”

Ocha mengeratkan pelukannya di pinggang Daffa dan mengangguk setuju, ia tersenyum lebar walau tahu Daffa tak bisa melihatnya. Bicara dengan Daffa selalu menyenangkan. Pembawaannya yang tenang membuat Ocha amat-amat suka bicara lama-lama dengannya. Daffa bukan tipe cowok humoris yang petakilan, tapi tidak juga membosankan. Daffa selalu punya caranya sendiri untuk memikat orang-orang di sekitarnya. Ocha yang asalnya memang cukup petakilan merasa Daffa bisa mengimbanginya dengan amat baik, ia tidak melarang Ocha petakilan, tapi selalu bisa membuat Ocha sedikit lebih kalem ketika bersamanya. Dibanding dengan siapa pun, Ocha merasa paling seperti ‘wanita’ saat bersama Daffa.

Sampai di acara Japan Fest, mereka masuk setelah menyerahkan tiket. Ocha membenahi topi Daffa di kepalanya dan menyiapkan kameranya. Daffa di sampingnya mendorong lembut Ocha ke pinggir.

“Kamera kamu belum di setting?”

Ocha menggeleng, fokus pada kameranya, “ISO-nya bagusnya berapa ya? Sekarang terang banget, nggak usah terlalu tinggi kali ya?”

Daffa membantu Ocha sebentar mengatur kameranya, setelah selesai mereka kembali  berjalan menjelajahi festival itu. Jalan di antara stand-stand penuh sesak. Berbagai macam orang berkumpul di sana. Seringkali Ocha dan Daffa melihat takjub pada orang-orang yang menggunakan cosplay. Sekali lain mereka sama-sama tertawa melihat cowok-cowok penggemar anime berfoto bersama cosplay cewek. Ada juga momen di mana keduanya melongo ketika bertemu orang Jepang dan mendengar mereka bercakap.
Ocha dan Daffa selalu memotret objek yang menurut mereka menarik selama berjalan. Dekorasi stand-stand di sana sangat beragam. Di atas jalan-jalan terdapat lampion-lampion merah khas bertulisan kanji. Di sudut lain ada panggung besar tempat beberapa pertujukan dihelat. Sekali mereka lewat, mereka mendengar musik tradisional Jepang mengalun dari atas panggung. Ada panggung lain di sudut lain, kali ini menampilkan sekumpulan band Jepang entah apa yang menyanyikan sound track lagu Doraemon—Ocha mengenalinya karena ia cukup menikmati Doraemon.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang