24. What Should I Do

7.7K 1.1K 46
                                    

Doyoung emang orangnya temperamen. Padahal masalah tadi bukan masalah yang harusnya di besar-besarkan, tapi Doyoung malah mempersulitnya. Dia membesarkan masalah tersebut seakan-akan hidupnya gak akan tenang karena kejadian tadi.

Dia membuka pintu mobil dengan kasar dan menutupnya dengan kasar pula. Hanya gue yang membantu Juhoon untuk masuk ke dalam mobil dan membantu mendudukannya di carseat miliknya.

Juhoon sedari tadi udah menggenggami tangan gue. Tangannya dingin dan bekeringat. Juhoon juga takut dengan ayahnya sekarang.

Setelah membantu Juhoon duduk di carseat miliknya, dengan cepat kaki gue setengah berlari ke arah pintu sebelah pengemudi. Gue gak mau kalau gue kelamaan terus yang ada gue malah ditinggal.

Doyoung menginjakan kakinya pada pedal mobil. Mobilnya melaju dengan sangat kencang. Gue sendiri sampe takut terjadi apa-apa. Doyoung gak pernah sebelumnya nyetir dengan kecepatan tinggi kayak gini.

"Doyoung, pelan-pelan. Jangan ngebut." Kata gue dengan suara yang lembut. Gue disini berusaha untuk melupakan kejadian tadi di hotel.

Tapi, Doyoung gak mendengarkan perkataan gue.

Doyoung terus-terusan menginjak pedalnya sampai akhirnya di perempatan, lampu lalu lintas yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi ke kuning lalu ke merah.

"DOYOUNG!" Gue berteriak untuk pertama kalinya.

Mobilnya berhenti tepat di garis penyebrangan. Nguji nyali banget emang sama dia malem ini.

"GAK USAH TERIAK." Doyoung berteriak balik.

Karena suara gue dan Doyoung yang sama-sama tinggi, menyebabkan Juhoon yang duduk dibelakang sana mulai menangis.

"Juhoon gak usah nangis!" Bukannya ditenangin, Doyoung malah menyuruh anaknya untuk gak nangis. Ingin rasanya gue sentil jantungnya.

Kalau anak kecil nangis dan disuruh berhenti nangis dengan cara yang... keras. Justru anak tersebut yang ada malah tambah nangis. Tangisannya Juhoon semakin kencang.

"Juhoon, ayah bilang berhenti nangis!"

"Doyoung! Bisa gak sih kamu gak usah marah-marah terus?!" Gue juga jadi kesel sama Doyoung. Kurang ajar emang gue marah-marah sama bos gue sendiri. Tapi gimana... gue gak bisa mendem.

Mobil perlahan mulai melaju kembali. Kali ini Doyoung melajukannya sedikt pelan dibandingkan dia melajukan mobilnya sebelumnya.

"Kamu kenapa talk back terus sih Lila?! Urusin tuh Juhoon! Bukan saya! Kamu kan pengasuhnya Juhoon bukan pengasuh saya!"

"Tapi kamu bikin sakit kepala Doyoung! Kerjaannya marah-marah terus. Gak di rumah, gak di luar. Marah-marah terus. Kamu gak nyadar kamu tuh tadi humiliating saya sama Juhoon depan orang-orang yang sealumni sama kamu? Saya malu! Punya bos tapi kayak gini sikapnya. Gak bisa menghargai orang. Emang masalah kamu tuh apa sih Doyoung? Kalau emang ada masalah, ya bilang!" Kata gue panjang lebar.

"Ya udah, kalau gak suka tinggal keluar!"

Gue gak menanggapi ucapannya Doyoung dengan perkataan yang nyambung dengan ucapannya barusan. "Pasti gara-gara ibunya Juhoon ya? Atau Sunhee? Hm?"

Gue berani bersumpah, saat itu juga gue berharap gue gak lagi duduk disebelahnya Doyoung. Tatapan dia, ngeri banget. Gue nyari mati. Tapi udah terlanjur gue omongin, ya ya udah. Terima aja. Gue sendiri yang berbuat, gue juga harus bisa pertanggung jawabin.

"Gak usah sok tau kamu, Lila."

"Sok tau? Saya gak sok tau, Doyoung. Saya liat sendiri kamu malem-malem nangis sambil ngeliat bingkai foto yang kamu taruh di laci meja kerja kamu."

Second Heartbeat | Kim DoyoungМесто, где живут истории. Откройте их для себя