29. Second Chance

8.2K 1.1K 50
                                    

Begitu Doyoung berjalan menuju dapur untuk mengambil vacuum cleaner—iya, jadi ada lemari tersendiri untuk menyimpan peralatan untuk bersih-bersih kayak sapu, lap pel, vacuum cleaner, dan lain-lain. Begitu Doyoung ke dapur, gue ikutin di belakangnya.

Memasuki dapur, ternyata banyak banget makanan yang Doyoung beli. Tapi belum dia masukan ke dalam pantry dan ke dalam kulkas. Ya udah, gue volunteer bantuin naro makanan yang dia beli aja.

"Kamu ngapain?" Tanya Doyoung.

"Ngeberesin makanan yang kamu beli? Emang mereka bakal jalan sendiri ke kulkas sama ke pantry makanan?"

"Nggak sih... tapi saya niatnya mau masukin besok aja. Sekarang udah malem. Kamu juga capek kan?" Duh Doyoung, perhatian banget. Hhhh atau gue yang menafsirkannya berlebihan ya?

"Nggak juga sih... tadi kan saya tidur."

Doyoung gak berkutik untuk beberapa waktu. "Ya udah." Hanya dua kata yang keluar dari mulutnya.

"Boleh saya beresin?"

"Kalau kamu gak keberatan... ya boleh. Tapi kalau kamu capek, gak usah juga gak apa-apa."

Setelah itu dia berjalan keluar dapur, dan gak lama kemudian waktu gue membuka pintu kulkas, gue mendengar suara vacuum cleaner dinyalakan. Kenapa jatohnya gue sama Doyoung kayak kelelawar ya? Baru beraktivitasnya di malam hari. Tapi menyelesaikan pekerjaan secepatnya itu lebih baik kan dari pada di nanti-nanti?

Satu kantung belanja udah gue masukan ke dalam kulkas. Isinya ada sayur-sayuran dan buah-buahan. Waktu gue mengambil satu kantung belanja yang lain, ternyata di dalemnya ada es krim. Waaah, ini apa kabar kalau dibiarin sampe besok udah jadi milkshake kali?

Akhirnya dengan cepat gue memasukan es krimnya ke dalam freezer.

Saat gue masih beres-beres makanan yang Doyoung beli. Dia masuk kembali ke dalam dapur dan meletakan vacuum cleaner ke tempatnya semula. Setelah itu dia ikut membantu gue membereskan makanan-makanan yang belum gue simpan ke tempatnya.

"Lila." Panggilnya pelan.

"Hm?" Balas gue tanpa melirik ke arahnya.

"I'm sorry for the things I've said."

Tangan gue kembali berhenti melakukan aktivitas yang sedang gue lakukan. Tubuh gue membalik dan menghadap ke Doyoung yang lagi menyimpan bumbu-bumbu sekarang.

"I forgave you yesterday, Doyoung. Kenapa minta maaf lagi?"

"Saya masih ngerasa gak enak..." lalu dia berhenti untuk melanjutkan aktivitasnya. "Harusnya saya gak ngomong kata-kata yang saya katakan ke kamu. I was mad... and sad... and emotional at the same time. I can't even manage and control my feelings. My feelings controlled me. I don't even know what to do that time. And I thought... saying those words to you will make everything better, including how I'm feeling that moment. Tapi ternyata nggak, so I'm sorry."

Gue agak gak percaya mendengar fakta kalau Doyoung gak enak dengan kata-kata yang dia lontarkan ke gue beberapa waktu yang lalu. Gak kebayang gimana rasa bersalahnya Doyoung ke Juhoon—yang selalu menjadi tempat pelampisan Doyoung ketika dia marah.

"Boleh saya cerita nggak? Sekalian mau jujur." Kata gue.

"Boleh."

Gue menarik nafas dalam-dalam sebelum gue menceritakan hal yang menurut gue gak perlu orang-orang tau. Tapi gak tau kenapa, gue percaya ke Doyoung tentang hal yang akan gue ceritakan ke dia. Gue percaya kalau Doyoung orangnya gak akan macem-macem dalam konotasi akan melakukan hal buruk dengan informasi yang akan gue beritahu ke dia.

Second Heartbeat | Kim DoyoungWhere stories live. Discover now