04 |

88 6 0
                                    

"Guru Silica hari ini tampak tidak niat untuk mengajar kita. Lihat saja si Sakura! Dia membuat beberapa kesalahan, namun reaksi Guru Silica hanya biasa-biasa saja. Menyebalkan!"

Asuna hanya dapat tersenyum ketika mendengar gerutuan Hinata barusan. Memilih untuk memakan dango yang ia beli dari Nyonya Rossie. "Biarkan saja. Guru Silica mungkin sedang memiliki masalah?"

"Tidak bisa, Asuna," Hinata menatap Asuna kesal. "Kau tidak mengerti diriku! Permainan hancur Sakura membuat konsentrasiku ikut hancur! Astaga, bagaimana jika di buku penilaian Guru Silica nilaiku menjadi jelek? Hal ini tidak bisa terjadi! Aku harus bagaimana, Asuna?!"

Asuna balas menatap Hinata sekilas. Hinata termasuk dalam jejeran murid paling ambisius di sekolah musik ini. Hinata seperti ingin gila apabila dia mendapat nilai jelek di buku penilaian guru.

"Yah, kau akan mengulang," balas Asuna santai.

"Asuna!"

"Yah, mau bagaimana lagi, Hinata? Nilaimu terlanjur jelek, itu artinya kau harus mengulang, 'kan? Tenang saja, hanya karena mengulang satu kali, kau tidak akan menjadi murid yang berada di jejeran paling bawah bila penerimaan rapor," ujar Asuna sarkasme.

"Tetapi aku tidak ingin kalah darimu, Asuna! Kau tampak sangat tenang dan lihai memainkan biolamu. Pasti Guru Silica memberimu nilai tertinggi. Aku tidak mau itu terjadi. Sudah cukup kau mengikuti kontes musik yang paling terkenal di Tokyo!" Hinata mendengus.

Hinata memang seperti ini. Tidak mau mengalah walaupun dengan Asuna yang merupakan sahabatnya. Akan tetapi, jangan membenci Hinata dulu. Hinata memang tidak mau mengalah dari siapa pun, namun hal ini terjadi hanya jika berurusan dengan sekolah. Buktinya saja, ketika Guru Silica menunjuk Hinata untuk ikut Kontes Festival Biola Tokyo, Hinata langsung menolaknya. Katanya, kesempatan ini milik Asuna, bukan dirinya.

"Baiklah, baiklah." Asuna menyeruput susu stroberinya. Menatap Hinata dengan malas. "Aku akan meminta Guru Silica untuk menukarkan nilai kita." Ia berdiri, hendak pergi. Namun, Hinata menahan tangannya.

"Apa lagi?"

"Ini masih istirahat. Sebentar saja mengurusnya."

"Tapi lebih cepat, lebih baik, 'kan?"

"Asuna," Hinata berdecak pelan. "Temani aku."

Asuna menghela napas. Ia pun duduk kembali. "Baiklah. Hinata adalah sahabat musikku yang paling terbaik."

Hinata menaikkan alisnya, menunggu kelanjutan kalimat Asuna. Asuna hanya menatapnya bingung, namun kelamaan, Asuna tersadar apa maksud Hinata. Ia menghela napas, entah sudah keberapa kalinya. Ia tidak menghitungnya.

"Kirito dan Sugu tidak ada apa-apanya darimu. Kau yang paling terbaik dari mereka berdua. Sungguh."

Hinata tersenyum, lebar.

///

Jangan lupa di vote... sebagai dukungan pengarang asli
i

chikatsu

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now