34 |

65 3 0
                                    

   "Ini."

   Kirito hanya melirik snack yang berada tepat di depan wajahnya. Ia sedang tidak bernafsu melakukan apa-apa, selain duduk dan menunggu Asuna tersadar.

   Melihat itu, Kaneki mendengus dan melempar snack itu ke perut Kirito. Lalu, ia duduk di samping Kirito, menyandarkan punggungnya ke dinding yang terasa dingin.

   "Aku tahu kau khawatir dan merasa bersalah, tapi kau juga harus memikirkan kesehatanmu," kata Kaneki sambil menaruh kedua tangan di belakang kepala dan mencoba menutup mata. "Kau terlihat seperti kakek tua yang putus asa, tahu tidak?"

   "Tidak apa-apa."

    "Ck," Kaneki berdecak. Membuka mata. "Sifatmu masih sama ternyata. Sangat keras kepala."

    Kirito menghela napas. "Aku sedang tidak bernafsu," sangkalnya.

    "Terserah," Kaneki kembali menegakkan tubuhnya, melirik Kirito sebentar. "Oh, ya, di mana pacarmu?"

    Mendengar pertanyaan yang tidak Kirito pikirkan untuk hari ini, laki-laki itu hanya mendengus. Kirito sedang tak ingin membicarakan hal ini. Menurut Kirito, Sugu adalah penyebab semua ini. Jahat memang, tapi Kirito... entahlah, sepertinya hal itu tidak sepenuhnya benar. Kirito mengakuinya. Karena kebenarannya, 80% orang yang bersalah dalam kasus ini adalah dirinya, laki-laki pengecut dengan nama Kirigaya Kazuto.

   Semua salahnya, karena dia yang terlalu lemah sebagai lelaki. Dia terlalu tidak adil. Dia yang terlalu egois.

   "Dia... bukan pacarku lagi," gumam Kirito pelan.

    Kaneki terkejut. Tidak menyangka pasangan satu itu akan putus. Setahu Kaneki, mereka saling menyanyangi. Kaneki menelan ludah. Apa mereka putus karena... Asuna?

    Semoga saja tidak.

   "Ah, begitu?" Kaneki mencoba terlihat biasa-biasa saja. Lalu, dengan cepat memilih topik lain. "Asuna akan baik-baik saja, seperti kata Gin. Jadi sebaiknya kau merapikan penampilanmu."

    Kirito melirik tajam Kaneki. Kenapa semua orang menyuruhnya merapikan penampilan? Apa penampilan begitu penting bagi mereka? "Aku akan percaya kata-kata itu bila sudah melihat Asuna sadar." Kirito mengambil snack yang ada di pangkuannya dan memberinya kembali pada Kaneki. "Terima kasih, tapi aku sedang bernafsu untuk tidak melakukan apa-apa. Dan juga..." Kirito memberi jeda. Menyusun kalimat tajam yang bisa menusuk hati pria yang di sampingnya ini. "... Persetan dengan penampilanku."

   Air muka Kaneki berubah keruh. Namun hal itu terjadi hanya dalam jangka waktu yang sangat singkat, karena setelahnya, ia bedecak, berdiri dan melempar snack tersebut di tempat ia duduk tadi. "Jangan mencontoh tingkah Hinata. Kau perlu makan. Laki-laki tak butuh diet."

    Kemudian ia pergi.

    Meninggalkan Kirito dengan wajah melongonya.

    "Eh????"

***

    "Di sini." Gin mengarahkan telunjuknya ke bagian kosong kertas agar Ko mendatanganinya.

    Ko mengangguk, mematuhi arahan Gin. Setelah itu, ia menaruh pulpen ke atas meja.

    "Semuanya sudah selesai," kata Gin, tersenyum lega. "Tinggal menunggu pendonor saja."

    Ko menatap Gin dengan takut. "Apakah pendonor itu akan cepat mendonorkan jantungnya pada Asuna? Dan ketika melakukan operasi, apa Asuna akan baik-baik saja?"

    Sembari merapikan berkas, Gin menjawab, "Aku tidak bisa memprediksi cepat atau tidaknya, tapi untuk operasi itu sendiri, aku jamin dia akan baik-baik saja."

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang