43 |

103 2 0
                                    

Jalanan raya di Tokyo hari ini bisa dibilang cukup padat dilintasi oleh kendaraan. Dan jauh beberapa meter dari jalan raya, seseorang masih tertidur lelap di atas kasur dengan selimut menutupi setengah badannya. Posisi tidurnya kacau serta sudut bibirnya mengeluarkan setetes air yang sudah mengering.

Dia mengubah posisi tidurnya. Dari menyamping menjadi tengkurap. Kakinya ia lebarkan.

Kirito-kun... Hei... Kirito-kun... ba-ngun!

Kirito, yang tengah pulas bermimpi tentang menjadi milyader setelah lulus SMA, lantas buyar seketika. Ia terbangun, dengan badan menegap tiba-tiba. Membuat tulang leher serta punggungnya berbunyi.

"Ahk!" Ia meringis. Lalu buru-buru memperbaiki posisinya menjadi duduk dengan kaki selonjoran. Ia menguap.

Ketika Kirito hendak akan melanjutkan tidurnya lagi, sebuah suara di kepalanya terdengar. Suara yang sangat familier dan sangat ia kenali.

Suara Asuna.

Membuat mau tidak mau Kirito pun bangkit dari kasur dan berjalan untuk membuka kaca jendelanya. Hangat dari sinar matahari langsung menerpa wajahnya. Kirito spontan membuang napas.

Ia mengusap-usap matanya. Semenjak pulang dari pemakaman Asuna, semenjak itu pula Kirito seperti bisa mendengar suara Asuna dalam kepalanya. Setiap pagi, siang, sore, bahkan malam.

Kirito tidak sedang depresi.

Tapi memang itulah kenyataanya.

Seolah Asuna selalu menemaninya setiap hari.

Senyum Kirito mengembang sedikit. Ia baru saja ingin melangkah untuk membuka pintu dan turun sarapan bersama ibunya ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi nyaring.

Kirito lantas melangkah ke arah nakas dan meraih ponselnya. Ia mengernyit ketika melihat nama yang tertera di layarnya.

Kaneki.

Kirito tak bergeming sesaat, sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut, dan menempelkan ponsel di telinga kanannya.

***

Dan di sinilah Kirito sekarang. Telepon tersebut menariknya untuk sampai di sini. Di Jembatan Koi. Tempat di mana Kirito mengetahui kebenaran tentang Asuna.

Kirito membuang napas melalui mulut, menjejalkan tangan di saku celana, sebelum menatap lurus laki-laki berambut perak yang ada beberapa meter di depannya.

Semenjak kepergian Asuna, entah kenapa keadaan menjadi canggung. Bahkan, Kirito sampai sekarang belum bertatap muka dengan Sugu.

"Yo." Kaneki menaikkan tangan kanannya dengan telapak yang terbuka, memberi sapaan kepada Kirito. "Apa kabarmu?"

Kirito tahu, kepergian Asuna, bukan hanya dirinya yang sangat hancur, melainkan hati Kaneki juga.

Tidak sepertinya yang protes kepada siapa pun, Kaneki justru hanya diam. Memendamnya sendiri. Menyembunyikan perasaanya. Dan berpura-pura tegar untuk menguatkan Hinata, Sugu dan Ko.

Kaneki adalah perwujudan laki-laki idaman yang sangat sempurna. Namun, kenapa Asuna tidak menyukai laki-laki itu? Kenapa harus dirinya? Yang brengsek dan tidak berguna.

"Yo," Kirito tersenyum kecil, membalas sapaan tersebut. "Ada apa mendadak meneleponku dan menyuruhku ke sini?"

Kaneki di ujung sana terdiam. Lalu merogoh saku celananya, mencari sesuatu. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah Kirito dan menyerahkan sebuah amplop putih.

Kirito mengernyit. Ragu, ia mengambil surat tersebut. "Apa ini?"

"Surat dari Asuna. Dia menitipkannya padaku agar aku memberikannya padamu. Tenang saja. Aku belum membaca isinya."

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now