40 |

37 0 0
                                    

Aku menyanyagimu, Kazuto.

Kirito langsung terbangun dari tidurnya. Keringat membanjiri wajahnya. Dadanya berdegup kencang. Perlahan, ia mencoba mengatur napasnya.

Semenjak pulang dari kantor polisi, malam-malam setelahnya Kirito tak bisa tidur dengan tenang. Suara Asuna selalu terngiang dalam benaknya, entah apa maksudnya.

Kirito mengacak-acak rambutnya, gemas. "Asuna..., sebenarnya ada apa denganmu?!"

Semenjak malam itu juga, Asuna tidak mau mengijinkan dirinya untuk sekadar menjenguknya. Kirito semakin gelisah. Semua orang seolah menjauhinya. Bahkan dia dan Sugu sudah tidak pernah lagi bertatap muka.

Kirito seperti diasingkan setalah peristiwa itu.

Kirito tahu ia salah karena telah menuruti permintaan Asuna, namun bukankah ini terlalu berlebihan?

Kirito-kun....

Kirito menggeram. Suara Asuna muncul lagi. Seolah ingin memberitahunya sesuatu. Dan ketika ia mencoba mencari tahu, yang ia dapat justru ingatan tentang permainan Asuna beberapa hari yang lalu.

"Sial!" makinya frustrasi. Ia bangkit dari kasur dan melangkah ke kamar mandi. Kirito ingin mendinginkan otak agar dapat berpikir jernih. Dia menanggalkan pakaiannya lalu segera membasahi kepalanya dengan pancuran dari shower.

Dia meringis ketika tanpa sengaja menyentuh bekas luka yang diakibatkan  oleh pukulan Kaneki.

Kaneki.

Jika Kaneki berada di posisinya saat itu, mungkin dia tidak akan menuruti keinginan Asuna untuk mengikuti semi-final, walau pun Asuna akan membujuknya dengan seribu satu cara.

Kaneki tak ingin Asuna kenapa-napa. Pasti itu yang membuat dirinya menolak permintaan Asuna. Dia tak mau orang yang disayanginya semakin memburuk. Sementara Kirito? Kirito tertawa renyah, mengasihani dirinya sendiri.

Kirito justru memperburuk segalanya.

Kesal, geram, juga frustrasi, Kirito mengepalkan satu tangannya dan meninju tembok. Menyalurkan emosinya.

Suara dering telepon dari luar membuat Kirito mematikan shower dan membalut tubuhnya dengan handuk bewarna putih. Ia keluar, lalu meraih ponsel dari nakas. Nama Hinata tertera di sana. Menghela napas, Kirito pun mengangkatnya.

"Aku tidak mau basa-basi," buka Hinata langsung membuat Kirito mengernyit. "Temui aku di Freshco Cafe sekarang."

"Freshco Cafe? Kenapa tidak di Anteiku saja? Memangnya apa yang ingi—"

Suara dengusan terdengar, menyela kalimat Kirito. "Diam dan turuti saja ucapanku, itu pun jika kau masih peduli dengan Asuna-chan mu."

Tubuh Kirito langsung menegap. "Baiklah. Tunggu aku lima menit."

***

Dan di sinilah Kirito sekarang. Duduk bersebrangan dengan Hinata yang tengah menyesap kopi hitamnya.

Kirito menghela napas. "Jadi, ada apa dengan Asuna? Apa dia baik-baik saja?"

Hinata berhenti menyesap kopinya. Mata indigonya menatap Kirito yang tampak kacau.

Frustrasi, eh?

"Dia baik-baik saja. Kemarin dia terlalu memaksakan tubuhnya, jadi dia pingsan. Gin menyuruhnya istirahat total dan meningkatkan penjagaan di ruangan Asuna," di akhir kalimat, Hinata tertawa kecil. Kakak sepupunya sangat menggemaskan. "Dia dokter idaman."

"Hinata, bukan waktunya bercanda. Kumohon," Kirito menahan agar tidak mendengus di hadapan perempuan menyebalkan ini.

"Ayolah, kau terlalu tegang, Bodoh. Aku hanya ingin menghiburmu!" Hinata berdecak. "Baiklah, baiklah! Maksudku memanggilmu ke sini selain mengatakan keadaan Asuna baik-baik saja adalah aku mau kau menjeguknya."

Mendengar itu, Kirito menghela napas dan menundukkan kepalanya. "Bagaimana bisa aku melakukannya di saat dirinya sangat enggan bertemu denganku?"

"Bodoh!" Hinata memutar bola matanya. "Apa kau sebodoh itu dan tidak peka sama sekali? Yang benar saja! Aku tahu masuk ke dalam kantor polisi itu membuatmu tak bisa berpikir jernih, tapi apa otakmu sekarang sudah berlumut?" Hinata tertawa, tentunya ia sedang mengejek laki-laki di hadapannya. "Hoi, Kirito."

Kirito mendongak. Dan langsung mendapati Hinata yang mengangkat satu alisnya, menatapnya serius.

"Sejak kapan seorang Yuuki Asuna tak mau bertemu dengan Kirigaya Kazuto?"

Kirito terkesiap. Seolah ada petir yang menyambarnya. Tangannya terkepal. Kenapa dia bisa sebodoh ini?

"Tapi—"

"Bodoh, apa kau percaya apa yang dikatakan oleh si tolol Kaneki? Gin yang menyuruhnya untuk merahasiakan keadaan Asuna padamu. Dia masih sangat kesal denganmu," Hinata menyelanya.

"Kirito, Asuna mencarimu."

Pasokan udara yang dihirupnya yang semula menipis, kini bertambah. Pikiran-pikiran yang mengganggunya kini seolah terjawab sekarang. Suara Asuna yang memanggil namanya dari kemarin adalah permintaan Asuna untuk menjenguknya.

Kenapa dirinya langsung kecewa saat Kaneki mengatakan suatu kebohongan? Yang jelas-jelas Asuna tak mungkin mengatakannya.

"A-Aku tahu itu," suara Kirito bergetar. Ia lalu berdiri membuat Hinata mendongakkan kepalanya. "Tunggu apa lagi, Hinata? Ayo ke rumah sakit!"

Dan Hinata mendengus, namun detik berikutnya ia tersenyum kecil.

***

Lalu lintas tidak terlalu padat siang ini. Maka dari itu, Kirito dan Hinata bisa lebih cepat sampai ke tempat tujuan mereka; Rumah Sakit Sangglaroka.

Usai memarkirkan motor, keduanya pun masuk. Kirito menghela-membuang napas, entah kenapa merasa gugup.

Hinata yang menyadari hal tersebut, lantas mendengus. Ia memukul keras pundak Kirito membuat laki-laki berambut hitam itu tersentak. Ia lalu menatap kesal Hinata. Hinata hanya mengangkat satu alisnya.

"Jangan terlalu tegang, bodoh!"

"Iya, iya. Aku tahu!"

"Yang akan kau hadapi hanya dua orang lelaki yang bertampang Zeuz tapi berotak udang," kata Hinata lagi.

"Iya, iya! Aku mengerti!"

Saat itu...

Hinata mengedikkan bahunya. Lalu ia menuntun Kirito menuju ruang Asuna dirawat. Namun, dilangkahnya yang keempat, Hinata berhenti dan mengernyitkan dahinya. Kenapa para susrer terlihat terburu-buru menuju tempat yang sama dengan mereka?

Kirito yang menyadari hal itu juga, perasaannya mendadak tidak enak. Dia gelisah.

Hinata mencegat salah seorang suster. "Ada apa ini, Sus?"

Aku sama sekali tidak tahu...

Suster terlihat panik. "Ano, pasien yang bernama Yuuki Asuna mendadak dalam kondisi kritis."

Kalau kedatanganku...

Hanya beberapa baris kata, namun bisa membuat hati dua orang manusia berbeda jenis itu seperti tersambar petir. Mereka sama-sama mematung. Sementara suster itu, setelah merasa mengatakan jawaban yang tepat dan jelas, ia kembali berlari kecil ke ruangan Asuna.

Kirito mengepalkan kedua tangannya. Dadanya kembali sesak.

... Hanya memperburuk segalanya...

////

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang