19 |

55 2 0
                                    

Kicauan beberapa burung di sore hari menemani dua manusia lawan jenis yang tengah duduk santai di bangku dengan mata yang tefokus kepada desiran danau yang menenangkan.

Di dalam diamnya, salah satu dari mereka ada yang tampak gelisah karena tak suka akan keheningan yang membuat suasana menjadi canggung.

Orang itu adalah yang perempuan, Asuna. Ini terbukti dengan dirinya yang mendekatkan dirinya dengan Kirito, membuat yang laki-laki melirik dari ekor mata.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Kirito bingung.

Wajah Asuna memerah. Ia pun menunduk. "Eto... Aku... Aku tak suka dengan suasana canggung seperti ini!" keluhnya.

Mendengar itu, Kirito tertawa pelan. Ia lalu merangkul pundak Asuna membuat Asuna terkesiap dengan wajah yang semakin memerah. Bahkan jika diberikan efek tambahan, kepala Asuna sudah mengeluarkan asap akibat terlalu merah.

"Sifatmu tidak pernah berubah, ya, Asuna?" Kirito tersenyum. "Kau memang yang terbaik, Asuna!"

"K-Kirito!" Asuna gelagapan. Tanpa sadar, tubuhnya menjauh dari rangkulan Kirito seiring debaran jantungnya tak dapat dikontrol. "A-Apa yang kau lakukan?!"

Kirito memasang mimik bingungnya. "Hah? Apa maksudmu? Kau aneh!"

Asuna memilin jari-jarinya. "Ah, entahlah, aku juga merasa diriku sangat aneh hari ini. Aku mungkin akan gila."

Kirito memincingkan matanya menatap Asuna yang penuh dengan kegugupan. Asuna tak pernah seperti ini sebelumnya. Ada yang aneh.

"Kau punya masalah, ya?"

"Eh?"

"Asuna," panggil Kirito. Mata Asuna menatap tepat di manik mata Kirito yang selalu dapat menenangkannya.  "Sifatmu memang seratus persen belum berubah; selalu menyembunyikan masalahmu seorang diri. Itu tidak akan membebankanku, jika itu adalah alasanmu untuk menyembunyikannya."

Asuna menggigit bibir bawahnya. Memalingkan wajahnya dari pandangan Kirito. Membuat Kirito menghela napas, tahu betul jika Asuna tidak akan membuka suara jika menyangkut masalah pribadinya. Asuna terlalu takut membuat orang lain merasa cemas padanya, apalagi membuat orang lain terbebani karena masalahnya—yang menurut Asuna sendiri tidak penting. Asuna terlalu takut.

"A—"

KRING!

Dering telepon dari ponsel Kirito sukses membuat kalimat Asuna terpotong. Baru saja Asuna ingin membaginya, ada saja suatu hal yang menganggu. Asuna kembali menutup bibirnya. Menghela napas lega tanpa bisa ia cegah. Kepalanya mendongak kala Kirito berdiri sambil mengangkat telepon dari seseorang.

Asuna mengernyit ketika melihat wajah Kirito yang berubah khawatir saat mengangkat telepon tersebut.

"Ada apa?"

Kirito tidak menjawab pertanyaan Asuna. Ia mematikan sambungannya dan menjejalkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian, ia mengambil tangan Asuna dan menyuruhnya berdiri.

"Ikut aku."

"Tapi..."

"Sugu lebih penting, Asuna!"

Ah, jadi karena Sugu.

Tanpa sadar, Kirito membentak Asuna. Asuna terkejut bukan main. Matanya melebar dengan mulut yang sedikit terbuka. Dengan kesal, Asuna menyentakkan tangan Kirito agar melepaskan tangannya. Ia menunduk, enggan melihat wajah Kirito.

Tak berbeda jauh dari Asuna, Kirito juga terdiam. Merasa bersalah akibat membentak Asuna. Kirito melangkah maju, hendak mendekati Asuna. Namun, yang perempuan malah mundur. Membuat pergerakan Kirito terhenti.

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now