42 |

59 2 0
                                    

Kirito masih setia berjongkok di samping pemakaman Asuna. Orang-orang sudah pergi beberapa menit lalu. Mata Kirito menatap sendu pada gundukan tanah yang dibawah sana Asuna terbaring tak berdaya.

Perasaan kacau dan penyesalan tentu saja ada. Justru masih sangat jelas menyelimuti hati Kirito. Seolah tak mau hilang. Bersarang entah sampai kapan.

"Asuna-chan..." Kirito bersuara, sangat lirih karena kehabisan suara. "Kau tidak akan merasa dingin, kan, di sana? Soalnya di sini masih turun salju dan ramalan cuaca mengatakan bahwa berhentinya masih sedikit lama..."

Tak ada jawaban. Sunyi senyap. Beberapa detik berikutnya, sebuah angin tertiup. Menyebabkan sensasi sangat dingin pada tubuh Kirito, walau tubuhnya sudah dibalut pakaian dan syal yang tebal.

Kirito menghela napas. Menangis sudah tidak punya arti lagi. Matanya sudah terlalu lelah untuk mengeluarkan setetes air mata.

Tangannya yang memakai sarung tangan lantas mengusap batu nisan yang tertulis nama Yuuki Asuna.

Senyum hangat Asuna mendadak terlihat di pikirannya.

Membuat Kirito mau tidak mau sedikit mengembangkan senyum kecil.

"Asuna-chan," Kirito kembali bersuara. "Aku sepertinya belum pernah mengatakan perasaanku padamu, ya?" Kirito tertawa miris. Setetes air mata terjatuh dari pelupuk mata kanannya. Kirito menjelma menjadi seorang lelaki yang cengeng sejak kemarin. "Aku tahu ini sudah sangat terlambat... dan aku menyesali semua kebodohanku karena tidak bisa menyadari dan mengatakannya dengan cepat..."

Kirito menahan napas sebentar sebelum menghelanya.

"Asuna-chan..." Kirito mencoba tersenyum kecil. "Aku..."

Selembar daun bunga sakura yang tak jauh dari makam Asuna terbang dan tergiring ke arahnya sebelum jatuh tepat di atas gundukan Asuna karena angin yang berhembus.

"... Mencintaimu..."

***

Extra part. Yay or nah?

///

An Instrument In DecemberDonde viven las historias. Descúbrelo ahora