15 |

58 2 0
                                    

"Asuna!"

Asuna tersentak dari bacaan buku pelajaran. Didongakkan kepalanya dan tersenyum tipis. Hinata yang ada di hadapannya dengan wajah secerah matahari pagi hari ini lantas tiba-tiba mengangsurkan sebuah brosur kepada Asuna.

Asuna mengerutkan kening. Menatap Hinata lama dan akhirnya dengan ragu mengambil brosur tersebut. "Ini ... apa?"

Hinata tersenyum penuh makna. "Baca saja," ucapnya. Tangan kanannya bergerak menyentuh rambut Asuna lalu diacaknya pelan. "Kau pasti senang!" Kemudian, Hinata berbalik pergi, meninggalkan Asuna yang termagu pada tindakan Hinata barusan.

Setelah kepergian Hinata, fokusnya teralih pada brosur bewarna putih yang berada di tangan. Dibacanya brosur itu dengan saksama.

SELAMAT! ANDA LOLOS KE BABAK SELANJUTNYA! KAMI MENUNGGU ANDA DI GEDUNG NOMANIA TANGGAL 3 DESEMBER!

Dengan Hormat,
Festival Symphony Tokyo 2016.

Matanya melebar dengan pupil yang mengecil. Waktu seakan terhenti dengan efek angin sepoi-sepoi dan latar putih yang menyebabkan rambut cokelatnya berterbangan. Mulutnya terbuka sedikit, tak percaya dengan apa yang barusan dibacanya. Apa ini serius? Atau hanya sebatas bualan? Tangannya gemetaran. Dibaliknya brosur tersebut dan matanya langsung melihat sebuah tulisan milik Hinata di pojok kanan bawah.

Kau berhasil lolos, Asuna! Kau telah melakukannya dengan baik! Ini untukmu! Jangan sedih, ya! Semangat, Sahabat Musikku! ^^

.... Tik.

Sebulir air mata menetes keluar dari ujung pelupuk mata kanan. Dengan segera ia menghapusnya dan menatap bangku Hinata yang kosong. Senyumnya mengembang.

"Terima kasih .., Hinata."

Kelas sedang sepi berhubung jam istirahat sedang berlangsung. Itu membuat Hinata yang sedang bersembunyi di balik tembok dekat pintu dapat mendengarkan ucapan Asuna.

Ia menghela napas, lantas menarik seulas senyum kecil. Usahanya tidak sia-sia.

"Kumohon!" Hinata berucap dengan tubuh yang sebagian ia tekuk. Memohon kepada para panitia yang sedang duduk di sofa empuk di sebuah ruangan.

Setelah kepergian Asuna dengan kekecewaan perempuan bernetra cokelat itu bersama Kirito dan setelah menenangkan Sugu, ia segera melangkah menuju ruangan yang berada di lantai tiga, tempat para panitia beristirahat.

Para panitia saling menatap. Terlihat tidak tega dengan Hinata. Setelah berdikusi lewat tatapan, salah satu dari ketiga juri itu pun berdeham pelan.

"Baiklah," ucap perempuan dengan netra biru secerah langit. Ia menatap Hinata dari atas hingga bawah, lalu menghela napas.

"Pengorbananmu demi teman sangat kami apresiasi. Selain itu, peserta yang bernama Asuna memiliki potensi yang lumayan. Maka dari itu, kami akan meloloskannya untuk lanjut ke Festival Tokyo tahun ini. Namun ...," Perempuan itu terdiam, menggantungkan kalimatnya. "....Sepertinya undangan spesialnya akan terlambat."

Mata Hinata melebar, terkejut. Cepat-cepat ia mengelap air mata yang mendadak menetes dan menundukkan setengah badannya lagi.

"Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih!"

***

Ketika jam pulang berbunyi, Asuna segera merapikan barang-barangnya dan menghanpiri bangku Hinata. Tanpa diduga, di tengah-tengah teman-teman kelasnya yang sedang sibuk membereskan, Asuna membungkukkan badan dalam-dalam pada Hinata yang juga tengah meresleting tas ransel.

"Te-Terima kasih!"

Hinata terkesiap. Terkejut bukan main dengan tindakan Asuna yang tidak diprediksinya sama sekali. Tak berbeda jauh dengan Hinata, teman-teman sekelas mereka juga melakukan respon yang sama terhadap Asuna.

Hinata tergugup. Sudah pernah ia bilang, 'kan, kalau ia sangat tidak suka melihat temannya menundukkan kepala padanya?

"A-Asuna? A-Apa yang kau lakukan?" Hinata berdiri dan menarik pelan rambut Asuna. Melihat itu, beberapa teman-temannya langsung berbisik. "Su-Sudah kubilang, 'kan?! Jangan pernah menundukkan kepalamu di hadapanku?!" bisiknya tepat di telinga Asuna.

Asuna menggigit bibir bawah. "Maaf."

"Cih!" Hinata menjauhkan diri. Ia meraih tasnya dan menatap Asuna penuh kekesalan. "Ada apa denganmu?! Mana Asuna-ku? Mana Asuna yang ceria?"

Deg. Asuna tertegun. Ditelannya air ludah susah payah. Pertanyaan Hinata membuat dirinya sangat terkejut.

Aku ... berubah? Maaf, tapi aku—

"Sudahlah," Hinata menepuk pundak Asuna, lalu melirik arloji. "Aku harus cepat pulang. Hiyori menungguku. Oh ya, kutunggu kau di Anteiku pukul delapan malam, ya! Ingat! Sabtu ini kau—"

"Hinata," gumam Asuna pelan. Hinata terdiam, menunggu kelanjutan kalimat Asuna yang akan didengarnya. Sejurus kemudian, senyuman Asuna yang mulai kemarin Hinata harapkan akan terbit lagi, akhirnya mengembang kembali.

Karena hanya dengan senyuman itu ... Hinata dapat meyakinkan dirinya sendiri bahwa Asuna tidak apa-apa. Bahwa Asuna kuat.

"Baiklah! Aku akan menunggumu, Sahabat Musik!"

***

Dengan langkah pelan, Asuna melangkahkan kaki menyusuri jalanan ber-paving block yang lumayan lebar yang akan membawanya keluar dari sekolah melalui gerbang tinggi nan besar.

Namun, tiba-tiba, tepat di pintu gerbang, langkahnya terhenti. Seluruh tubuhnya seolah membeku. Mata melebar. Dan mulutnya terbuka sedikit.

Ah, kenapa hari ini penuh dengan kejutan?

Bagaimana tidak terkejut? Hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya berpijak saat ini, Kirito tengah berdiri di samping motor kesayangan laki-laki itu dengan posisi yang membelakanginya.

Tanpa diduga, seolah mengetahui keberadaan Asuna, badan Kirito berputar, menghadap pada Asuna yang kini kaku seperti patung.

Melihat itu, senyum Kirito mengembang. Tidak lebar, namun dapat membuat wajah Asuna memerah. Tidak memiliki makna apa pun, namun dapat menjungkir-balikkan perasaan Asuna. Hanya senyum biasa yang sering ia tunjukkan pada orang-orang, namun dapat membuat jantung Asuna berpacu dengan cepat.

"Ki-Kirito?"

"Yo. Asuna."

selanjutnya.
5 chapter/hari.
gimana?

////

An Instrument In DecemberUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum