11 |

61 2 0
                                    

Suara dering dari ponsel, membuat Asuna yang sedang menonton televisi lantas mengalihkan fokusnya pada benda yang ia taruh di atas meja. Tangan Asuna bergerak mengambilnya dan melihat ID Caller yang tertera.

Kaneki.

Alis Asuna menyatu. Kaneki jarang meneleponnya dan itu bisa dihitung jari. Selama ini, Asuna baru tiga kali menerima telepon dari laki-laki yang bekerja paruh waktu di Anteiku itu.

Dengan perlahan, Asuna pun menggeser ikon bewarna hijau, lalu menempelkan benda tersebut ke telinga kanan. Tangannya yang lain ia tugaskan untuk mengambil remot TV dan mengecilkan suaranya.

"Halo?"

Suara dari seberang sana membuat hati Asuna seperti tergelitik. Asuna selalu suka dengan suara milik Kaneki. Dari kali pertama merela bertemu, hingga sekarang.

"Kaneki? Ada apa?" tanya Asuna langsung, terlalu penasaran.

Terdengar suara deheman. Membuat Asuna terkekeh dalam hati—karena ia begitu yakin, Kaneki sedang gugup. "Eng ... Yuuki?"

Asuna menaikkan satu alisnya. "Ya ...?"

"Eng ...," jeda, lalu terdengar suara helaan, kemudian decakan, dan helaan napas kembali, "Yuuki, apa kau punya jadwal keluar hari ini?"

Mendengarnya, senyum Asuna tertarik. Ia melirik televisi yang tengah menayangkan film kesukaannya sambil berpikir. Menimbang jawaban apa yang tepat untuk dikatakan.

"Sepertinya tidak ada. Kenapa?" jawab Asuna pada akhirnya.

"Kalau begitu, apa kau ingin jalan bersamaku?"

Asuna terkejut. Namun, detik berikutnya, ia tersenyum lebar.

"Tentu saja aku mau!"

Karena tidak dapat dipungkiri, Kaneki adalah cinta pertama Asuna.

Di lain tempat, Kaneki menghela napasnya, lega. Matanya kemudian menatap perempuan yang tengah mengancungkan jempol dan mengembangkan senyumnya di kursi meja nomor 14.

Mematikan sambungan telepon, Kaneki pun membalas senyuman perempuan itu dan mendekatinya.

"Bagaimana?"

Wajah yang ditanya memerah. Ia memalingkan wajahnya. "Dia mau," jawabnya. Lalu ia menatap perempuan tersebut dengan mata berbinar. "Terima kasih, Hinata."

***

From: Kaneki.
Kujemput pukul lima sore. Sampai ketemu!

Pesan tersebut diterima oleh Asuna dengan senyuman kecil. Ya, memang benar akan fakta Kaneki merupakan cinta pertama Asuna, dan hal tersebut sudah diketahui oleh Kirito dan Sugu.

Tapi itu dulu.

Asuna ingat betul peristiwa di mana ia pertama kali bertemu dengan Kaneki. Saat itu dirinya tanpa sengaja melihat Kaneki di kontes biola yang ia ikuti. Dan ketika Asuna turun dari panggung tanpa berhati-hati karena ingin menemui Sugu dan Kirito, tiba-tiba high heels-nya terantuk sebuah batu, menyebabkan keseimbangan tubuhnya menghilang.

Akan tetapi, saat itu keberuntungan berpihak dengannya. Dewa berbaik hati mengirimkan seseorang untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke tanah dengan posisi yang memalukan.

Dan ketika Asuna membuka matanya yang sempat terpejam, mendongakkan kepalanya, ia mendapati wajah Kaneki yang entah kenapa saat itu terlihat sangat tampan!

Asuna sangat ingat, dirinya segera berterima kasih pada Kaneki, juga sempat memperkenalkan diri di hadapan Kaneki yang memiliki tampang dingin, namun dapat membuat Asuna jatuh pada pesonanya.

Setelah berpamitan, Asuna langsung menghampiri Sugu dan Kirito yang sedang berbincang. Saat itu, perasaannya pada Kirito masih biasa-biasa saja.

Keesokkannya, ketika Kirito mengajaknya pergi ke Anteiku, Asuna kembali bertemu dengan Kaneki. Saat Asuna bertanya mengapa Kaneki bisa berada di sana, Kaneki dengan santai mengatakan bahwa dirinya bekerja menjadi pelayan paruh waktu di Anteiku, menggantikan Hide.

Mendengarnya, Asuna jelas senang luar biasa. Mulai saat itu, hampir setiap hari Asuna berkunjung ke kafe ini. Selalu memaksa Kirito untuk mengantar dan menemaninya. Membuat Kirito kesal dan juga bosan.

Bayangan masa lalu itu membuat Asuna  terkekeh pelan. Tidak habis pikir dengan dirinya yang malah berpindah hati kepada Kirito. Yah, sebenarnya Asuna pun tahu, perasaan yang timbul antara dirinya dengan Kaneki bukanlah cinta, melainkan hanya sebatas kekaguman saja.

Asuna kembali meletakkan ponselnya. Matanya kini terfokus pada buku catatan yang ada di atas meja belajarnya. Buku catatan yang berisi tentang seluruh perasaannya. Tangan Asuna bergerak mengambil pulpen tinta yang simpan di laci meja, kemudian ia pun menuliskan sesuatu pada kertas putih bersih itu.

Hari ini aku kembali terbayang masa di mana aku menyukai Kaneki. Masa di mana perasaan payah ini belum tumbuh untuk Kirito. Masa di mana ketika Kirito dan Sugu bercakap-cakap, tertawa bersama, berpegangan tangan, hingga saling berpelukan tidak membuat hatiku terasa dicubit karena cemburu. Aku ingin menjadi Sugu, sungguh. Tapi aku sadar, itu tidak akan terjadi. Karena aku, ya, aku. Yuuki Asuna. Payah! Jatuh cinta membuatku seperti orang bodoh. Sampai-sampai menginginkan menjadi orang lain, hanya karena cemburu! Payah! Payah! Payah!

Dari seseorang yang mencintai sahabatnya,
Yuuki Asuna.

"Kau terlalu memanjakannya, Sayang. Aku cemburu! Ah, akhirnya aku pulang juga!"

Sebuah suara dari lantai bawah mendadak membuat hati Asuna berdegup dengan cepat. Tangannya tanpa sadar memegang pulpen tinta dengan erat. Tubuhnya seakan membeku di tempat.

Suara itu ....

Milik Ibunya.

Suara yang tanpa sadar sangat ia rindukan.

Secepat mungkin, Asuna menutup dan menyimpan bukunya. Seluruh badannya bergerak membuka pintu dan menuruni tangga sesuai perintah alamiah dari otak. Senyumnya mengembang ketika melihat sosok perempuan berambut cokelat tua dengan netra bewarna senada.

"I—"

Kalimat Asuna terhenti, tertelan di tenggorokan, ketika tiga detik setelah ibunya masuk, seorang pria berjas rapi juga ikut muncul.

Pemandangan itu tentu saja menghancurkan hati Asuna. Asuna mengepalkan kedua telapak tangannya. Rahangnya terkatup, menahan marah. Ia tahu, di belakang ayah, ibu selingkuh. Dan ayah pun melakukan hal sebaliknya.

Namun, baru kali ini, ibunya memiliki nyali yang besar dengan memunculkan selingkuhannya ke rumah. Apa maksudnya ini? Ingin memperkenalkannya pada pria itu? Ingin semakin menghancurkan perasaan Asuna? Sungguh lelucon apa yang sedang ibunya perbuat saat ini?!

"A-Asuna?" Ibunya tergugup. Tubuhnya menegang. Mungkin karena ketahuan?

Asuna melemparkan tatapan penuh penuntutan kepada ibunya. Asuna butuh penjelasan! Itu sudah jelas. Mana ada seorang anak yang tidak marah ketika ibunya membawa laki-laki asing ke dalam rumah ketika ayah sedang kerja?

"Ku-kukira kau berada di seko—"

"Ini hari libur, jika Ibu lupa." Asuna memotong kalimat ibunya dengan cepat. Matanya sudah berkaca-kaca. Sebegitu acuhnya kah ibu padanya?

"A-Asuna, Ibu bisa jelaskan semuanya," elak ibunya. Mendekat ke arah Asuna. Namun, Asuna mundur selangkah sehingga ibu berhenti. Mengerti bahwa Asuna sedang dalam keadaan tidak baik.

"Semuanya sudah jelas. Tak ada yang perlu dijelaskan. Kau selingkuh. Itu kebenarannya. Tapi, satu hal yang kuminta darimu," Asuna menelan ludahnya, tenggorokannya tercekat. "Setidaknya hargai aku."

Dan dengan itu, Asuna pergi.

Ia pergi, bersama dengan air mata dan hatinya yang hancur.

Asuna tak habis pikir, kenapa keluarganya harus sehancur ini?

///

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now