09 |

61 2 0
                                    

Namanya tidak ada.

Tidak ada.

Itu berarti, ia tidak lolos.

Ia tidak lolos!

Seketika, pundak Asuna merosot. Waktu seakan berhenti. Memaksakan Asuna untuk tetap pada titik tidak percayanya. Kontes Festival Biola Tokyo 2016 adalah mimpinya. Keinginannya. Karena dengan itu, Asuna pikir orangtuanya akan bangga padanya.

Air mata tanpa sadar menetes, mengaliri pipi. Kaki Asuna gemetar. Ketika ia merasa kakinya tak bisa menopang tubuh, Hinata tiba-tiba berada di sampingnya dan mengelus pundaknya.

"Asuna ...," bisik Hinata lirih. "Ini pasti sebuah kesalahan. Aku akan bertemu dengan pa—"

"Sudahlah, Hinata."  Asuna memotong kalimat Hinata. "Ini sudah hasil-nya."

"Tapi ...."

"Aku ingin pulang."

Asuna menyingkirkan tangan Hinata yang ada di pundaknya. Dengan wajah basah karena air mata, Asuna berbalik dan berjalan lunglai. Ketika ia berpapasan dengan Kirito yang menatapnya khawatir, Asuna tambah loyo. Ia pasti mengecewakan Kirito. Lantas, tanpa berpikir panjang, Asuna mendekat ke arah Kirito dan segera memeluk cowok itu dengan erat.

Asuna tidak mempedulikan Sugu, dan orang yang ada di sekitarnya.

Yang ia butuh saat ini hanyalah pelukan hangat Kirito.

Ya.

Itu yang terpenting.

Dengan ragu dan pelan, Kirito membalas pelukan Asuna. Mengusap rambut Asuna.

"Kirito ...," panggil Asuna pelan di dalam dada cowok itu. Kirito diam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Asuna. "Bawa aku pergi."

Pergerakan tangan Kirito terhenti. Matanya langsung mencari Sugu, meminta persetujuan perempuan itu. Namun, Sugu hanya terdiam. Lima detik seperti itu, Kirito pun melirik Hinata yang berada di sebelah Sugu. Menghela napas, Hinata akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Kirito tersenyum simpul, menghela napas, dan mengangguk. "Em!"

Mengurai pelukan, Kirito kemudian memeluk pundak Asuna, menuntun perempuan itu yang masih terlihat kecewa berat. Sementara Asuna, ia menyandarkan kepalanya di dada Kirito dengan kedua tangan yang memeluk perut Kirito.

Sugu yang melihat itu, hanya terdiam. Perasaannya bergejolak, cemburu. Sebuah tangan yang memegang pundaknya membuat gadis terkait terkejut dan melihat siapa pelaku yang melakukan hal itu. Sugu menelan ludah, saat Hinata tersenyum kepadanya.

"Jangan cemburu! Asuna hanya sangat membutuhkan Kirito saat ini. Hatinya mungkin sangat terguncang karena tidak lolos. Kontes ini adalah harapannya. Cukup percaya saja dengan mereka. Kau mau, 'kan, Sugu?"

Sugu menatap Hinata lama. Perempuan berambut pendek itu menarik napasnya, lalu memaksa senyumnya tertarik. Sugu pun mengangguk. "Em!" gumamnya.

Hinata benar. Ia hanya harus percaya dengan mereka. Lagipula, mereka adalah sahabatnya. Jadi, kenapa ia harus cemburu?

  ***

Kirito membawa Asuna pergi ke taman yang jauh dari gedung Nomania. Taman yang selalu Kirito kunjungi ketika suasana hatinya sedang tidak baik. Suasana di sini sangat tenang, karena jauh dari keramaian, membuatnya mudah untuk menenangkan dan menyegarkan pikirannya. Ditambah, hanya beberapa orang saja yang sering kemari.

Kirito duduk di bangku panjang yang menghadap lansung pada sebuah danau luas, lalu menyuruh Asuna untuk duduk di sampingnya. Asuna pun menurut dan melakukan apa yang disuruh.

"Tenangkan pikiranmu," gumam Kirito lembut. "Jangan merasa bersalah atau pun kecewa."

Asuna diam, memandang danau dalam kesunyian, dan mencoba untuk menenangkan pikirannya. Namun, tidak sampai lima detik, Asuna menunduk. "Tapi aku sudah mengecewakanmu, Kirito."

Mendengarnya, Kirito mengernyitkan kening, bingung. "Apa maksudmu?"

Asuna menahan napas, lantas menoleh pada Kirito dengan tatapan sedih. "Kau mengharapkanku menjadi bintang."

Butuh waktu beberapa saat untuk Kirito mencerna perkataan Asuna. Kemudian, ia pun tertawa kecil seraya membawa Asuna ke dalam dekapannya. "Kemarin aku hanya bercanda, Asuna!"

"Tapi tetap saja aku sudah mengecewakanmu."

Sedetik setelah Asuna berucap demikan, ia merasa pundaknya dipegang oleh Kirito. Ia mendongak. Dan tepat ia melakukan itu, matanya terkunci dengan mata hitam Kirito.

"Asuna," panggilnya. "Dengar," Kirito menarik napas dan mengembuskannya secara perlahan melalui mulut. "Kau tidak pernah mengecewakanku dan aku pun tidak pernah merasa bahwa kau telah mengecewakanku. Kau mengerti maksudku, 'kan? Aku serius dengan ucapanku. Kali ini aku benar-benar serius. Dan kalau kau tidak percaya, kau bisa melihat dari mataku."

Asuna menelan ludahnya.

"Asuna, ada seseorang yang tidak boleh kau kecewakan selama kau masih hidup di dunia ini," ujar Kirito pelan.

"Siapa?"

Kirito tersenyum. "Dirimu sendiri."

Mata Asuna lantas membesar. Ia menatap Kirito kagum. Jantungnya berdegup kencang. Saat melihat Kirito yang tersenyum seperti itu, entah kenapa bibir Asuna ikut-ikutan tertarik ke atas. Pikirannya langsung tenang, semua beban yang dia pikul seperti terbang entah ke mana.

Ini semua karena Kirito.

Tangan Asuna segera melingkari badan Kirito. "Terima kasih, Kirito."

Detik ini pun, Asuna menyadari satu hal. Bahwa ... dia menyukai Kirito. Ia menyukai Kirigaya Kazuto, sahabat sekaligus kekasih Sugu, yang merupakan sahabatnya juga.

Dan di detik ini pula, Asuna meyakini bahwa ia benar-benar gila.

Sadarkah Anda betapa
cringe cerita ini? :"

///

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now