23 |

55 2 0
                                    

"Siapa?"

Sugu mendekat pada Kirito yang tengah duduk di teras rumahnya. Ia lalu bergelayut di lengan Kirito. Kirito melirik Sugu dan mengusap pelan rambut Sugu yang halus.

"Kaneki. Katanya ia ingin bertemu. Di Jembatan Koi. Sekarang juga," jelas Kirito.

Sugu mendongak. Memperlihatkan wajahnya yang merah. "Benarkah? Bersamaku juga?"

Kirito mengangguk.

"Baiklah," Sugu tersenyum tipis. "Aku akan mengganti baju terlebih dahulu."

"Cepatlah. Mereka menunggu," pesan Kirito.

"Iya, iya. Aku tahu!"

***

Kirito tidak tahu apa yang Kaneki akan bicarakan kepadanya. Yang jelas, entah kenapa, Kirito merasa perasaannya tidak enak. Ditambah, Kirito juga sedikit gugup untuk bertemu Kaneki, mengingat laki-laki yang umurnya tiga tahun lebih tua darinya  itu pernah memukulnya beberapa hari yang lalu.

Dan di sinilah Kirito beserta Sugu yang sedang ia genggam tangannya erat.

Dahi Kirito mengernyit mendapati Hinata yang juga berada tak jauh dari Kaneki. Tengah memperhatikan ikan-ikan koi yang ada di bawah jembatan. Dan tunggu, ada yang berbeda dari raut wajah Kaneki. Ia seperti lelah, cemas, juga... takut.

Kirito menelan ludah, seketika gugup.

"Ada apa?" Suaranya pelan, mencoba menghindari kontak mata Kaneki.

"Ini tentang Asuna," jawabnya langsung. Raut wajahnya semakin kacau.

Detak jantung Kirito berpacu dengan cepat. Ada apa dengan Asuna? Apa Kaneki akan memukulnya lagi?

Belum sempat Kirito membalas, Kaneki menyelanya.

"Asuna sakit."

Kirito menegang. Matanya menatap Kaneki. Ia lalu melirik Sugu. Perempuan itu terlihat biasa-biasa saja. Namun, detik berikutnya perempuan berambut bob itu mendengus.

"Hanya karena itu? Kau bisa mengatakannya lewat telepon kalau begitu, Kaneki-kun! Kau menganggu waktuku bersama Kirito-kun!" sungutnya. Tampaknya ia masih belum paham apa yang sedang terjadi.

Tiba-tiba Hinata menendang besi pembatas jembatan yang menghalangi orang-orang agar tidak jatuh dari jembatan. Hinata lalu berbalik dengan emosi yang membara di hatinya. Ia menatap marah pada Sugu yang berwajah sok imut itu. Asuna selalu mengalah darinya dan Asuna juga sering tersakiti oleh kelakuannya yang kekanakkan. Hinata muak itu. Hinata muak dengan Sugu.

Hinata mendekat ke arah Sugu. Bila diperhatikan dengan saksama, Hinata terlihat kacau dengan mata yang bengkak akibat menangis. Tanpa mempedulikan apa pun, Hinata menarik kerah kemeja Sugu membuat perempuan berambut bob itu memekik kaget. Kirito yang melihat itu pun, dengan cekatan menjauhkan tangan Hinata dan menatap Hinata marah.

"Apa yang kau lakukan?!"

Hinata mendecih. "Pertanyaan itu seharusnya kau tujukan untuk perempuan sok imut itu!"

Mendengar nada sinis Hinata, membuat Sugu menundukkan kepalanya. Hinata selalu lembut terhadapnya. Ia tidak pernah mengatainya atau pun kasar. Namun sekarang...

"Apa maksudmu?! Jelas-jelas kau yang salah!" Teriak Kirito kesal.

"Sialan!" Hinata meninju pipi Kirito. Tidak sakit. Bahkan Hinata tidak seperti niat untuk meninjunya karena dia tidak menakai kekuatan sama sekali. Bukannya marah, Kirito justru tertegun. Di hadapannya sekarang, Hinata menangis!

Kaneki mendekat. Membawa Hinata ke dalam rangkulannya. "Tenanglah..." lirih Kaneki. "Jangan membuatnya semakin rumit. Tenangkan pikiranmu," ucapnya.

Kirito kesal. Kirito kesal karena dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Hinata, Kaneki, juga Asuna.

Tangisan Hinata perlahan mereda. Ia menggerakkan tangannya untuk menghapus airmatanya. Sadar atau tidak sadar, kini tangan Hinata melingkar di perut Kaneki. Bukannya mengomentari, Kaneki justru semakin membawa masuk Hinata ke dalam dekapannya. Mengusap rambut perempuan itu agar menjadi sedikit lebih tenang.

"Apa yang sebenarnya kalian bicarakan?" Tanya Kirito pelan. "Cepat katakanlah karena aku muak berbicara dengan Orang Luar."

"Asuna memiliki penyakit jantung," kata Kaneki dengan lugas.

Deg!

Asuna memiliki penyakit jantung. Kalimat itu sukses membuat Kirito menegang membeku. Matanya membulat seakan tak percaya. Asuna memiliki penyakit seperti itu? Tidak mungkin! Samar-samar, ia mendengar Sugu mulai terisak di sampingnya.

Kirito tersenyum sinis. "Jangan bercanda!" Rahangnya mengeras dengan tangan yang terkepal kuat. "Jangan bercanda tentang Asuna yang tidak-tidak, Brengsek!" Kirito maju dan memukul pipi Kaneki dengan keras.

Kaneki mengusap pipinya. Perih. "Untuk apa aku bercanda di situasi yang serius ini? Aku tidak sekonyol itu." Ia kemudian menyerahkan selembar kertas kepada Kirito. "Itu rekam medisnya. Semoga dengan ini, kau mempercayainya." Ia menepuk pundak Kirito berapa kali. "Dan untuk beberapa hari ini, jangan menjenguk Asuna dulu. Kautahu, yang mengetahui penyakit ini hanya aku dan Hinata. Asuna mungkin akan marah pada kami jika kau tiba-tiba muncul."

"Hinata," panggil Kaneki pelan. "Ayo kita pergi. Dokter Gin telah menelepon daritadi."

Hinata mengangguk. Namun, sebelum ia mengikuti langkah Kaneki menuju motor laki-laki itu, Hinata menyempatkan menatap dua orang di hadapannya yang kini tengah syok. Diam-diam, ia tersenyum tipis.

"Kami mungkin hanyalah orang luar bagi persahabatan kalian, namun yang sangat disayangkan, kenapa hal sebesar ini justru orang luar-lah yang tahu? Kalian berdua sangat menyedihkan di mataku. Persahabatan kalian sangat konyol!"

Dan dengan itu, Hinata pergi.

***

"Bagaimana?"

"Dia sudah sadar. Namun, saya sarankan jangan ada yang menjenguknya dahulu. Asuna-san sedang ingin sendiri."

Penjelasan itu membuat dua orang di hadapan Gin sukses menghela napas lega.

"Aku ingin meminta tolong pada kalian," ujar Gin serius. "Aku ingin kalian memberitahu penyakit Asuna pada orangtuanya. Karena jika tidak ditindaklanjuti dengan mencarinya pendonor, hidup Asuna terancam. Dan... aku tak ingin itu terjadi."

Kaneki dan Hinata terdiam sejenak. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Sepertinya kami tidak bisa," kata Kaneki pelan.

Kepala Hinata dan Gin tertoleh kepada Kaneki. Tidak mengerti apa maksud perkataannya. Baru saja Hinata hendak bersuara, Kaneki meneruskan kalimatnya dengan menatap Gin dengan penuh keyakinan.

"Tapi aku tahu orang yang lebih pantas dan berhak untuk memberitahukannya."

Dan Hinata mengerti.

///

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now