12 |

56 2 0
                                    

Asuna duduk di ayunan dengan tatapan kosong. Matanya sembab dan air mata yang dari tadi membasahi pipinya telah mengering dengan sendirinya. Langit telah berubah warna menjadi jingga. Namun, Asuna tidak begitu peduli akan hal itu.

"Kenapa menangis?"

Suara lembut itu membuat Asuna tersadar dan mendongakkan kepalanya. Matanya sontak melebar melihat siapa yang baru saja berbicara.

"Kaneki?!"

Kaneki tersenyum simpul lalu duduk di ayunan sebelah Asuna. "Kau tak mengangkat teleponku. Itu membuatku khawatir. Makanya aku segera ke rumahmu, namun tanpa sengaja aku melihatmu di sini. Menangis."

"Eh?" Asuna menoleh ke arah Kaneki. Detik berikutnya, ia tersadar bahwa ia lupa membawa ponselnya saking kesalnya dengan sang ibu. "Ma-Maafkan aku," gumamnya pelan.

"Bukan masalah besar," senyum Kaneki.

"Tapi ini bahkan belum pukul lima," ucap Asuna heran.

"Siapa bilang?" Kaneki kemudian melihat jam tangan miliknya. "Tiga detik lagi pukul lima," ujarnya. "Tiga. Dua. Satu. Dan ... yeah." Kaneki bangkit dari ayunan lantas berdiri tepat di hadapan Asuna. "Apa kau mau berkencan denganku?" tanya Kaneki sambil mengulurkan tangannya pada Asuna.

Asuna menatap uluran tangan Kaneki dengan kaget. Tak pernah terbayang baginya akan diperlakukan seperti ini oleh Kaneki. Sayang, jantungnya tidak berdegup kencang. Padahal Asuna mengharapkan hal itu.

Mata Asuna kemudian menatap wajah Kaneki yang memiliki rahang yang sangat tegas. Lalu, kepala Asuna pun mengangguk dan menerima uluran tangan Kaneki. "Em!"

***

"Kirito!"

Kirito yang tengah fokus pada ponselnya lantas mendongak ketika Sugu menyerukan namanya. Dilihatnya senyuman tipis milik perempuan itu yang selalu membuat hatinya tenang.

"Aku mendapatkan formulirnya!" Sugu mendekat dengan wajah yang berseri-seri. Tangannya yang memegang selembar kertas ia tunjukkan kepada Kirito.

"Syukurlah!" kata Kirito lembut.

Sugu kemudian duduk di samping Kirito. Kepalanya ia sandarkan di pundak Kirito. Matanya menatap lurus bangunan besar yang berada tidak jauh di hadapan. Hanya dipisahkan oleh lapangan basket sekolah saja.

Hari ini memang Kirito menemani Sugu di sekolah untuk mengambil formulir lomba puisi yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi di sekolah mereka dalam rangka merayakan ulang tahun Fujitaima High School yang ke-57.

"Aku merindukan Ayah."

Gumaman lirih Sugu sontak membuat Kirito terdiam dan meliriknya dari ekor mata. Laki-laki itu menahan napas seiring tangannya bergerak untuk merangkul pundak Sugu.

"Dia akan pulang," kata Kirito, menenangkan. "Masih ada aku."

Mendengarnya, Sugu pun memeluk Kirito. Hatinya menghangat. Sugu selalu merasa beruntung memiliki Kirito. Bahkan, dia merasa menjadi perempuan paling beruntung karena Kirito mencintainya. Sugu mendongak, menatap Kirito.

"Apa?"

Sugu menggigit bibir bawahnya. Pipinya bersemu. "Cium!"

Mata Kirito membulat, kaget. Ini kali pertama Sugu meminta hal itu padanya. Kirito tertawa kecil. Dua jarinya menyentil dahi Sugu, membuatnya meringis.

"Kau masih terlalu kecil untuk itu."

***

Ternyata, Kaneki mengajak Asuna ke sebuah festival yang dilaksanakan tak jauh dari sekolah musiknya Asuna. Asuna mengembangkan senyumnya, lalu menatap Kaneki dengan tatapan takjubnya.

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now