33 |

53 3 0
                                    

Kenyataan memang selalu bisa menghatam keras hingga dapat membuat hancur siapa pun.

   Lima belas menit setelah diselimuti kekhawatiran, akhirnya pintu ICU terbuka. Kirito, Kaneki, Ko, dan Hinata segera mendekat ke arah Gin yang baru muncul.

  "Bagaimana keadaannya?" tanya Ko cemas.

  Raut wajah Gin tak bisa terbaca. Ia menghela napas. Lalu, menatap ke empatnya secara bergantian. "Asuna.... koma."

   Kirito merasa jantungnya hampir meledak di detik itu juga. Tubuhnya bergetar. Matanya menyaratkan ketidakrelaan yang nyata.

   "Tapi tenang saja, Asuna koma karena obat yang baru kuberikan. Kemungkinan dia akan tersadar empat hari lagi," lalu Gin menatap Hinata dan Kirito serius. "Setelah sadar, ia harus beristirahat penuh. Itu artinya, ia tidak dapat mengikuti kontes."

   Hinata mengeratkan giginya. Menatap Gin tidak suka. Baru saja ia ingin membalas, Gin melanjutkan.

   "Aku tidak menerima bantahan. Hargai aku sebagai dokter. Jika aku mendengar kabar yang tidak-tidak, aku tidak segan untuk menyangsi kalian dengan jalur hukum. Mengerti?"

   "Gin!"

   Gin menatap malas Hinata. "Hinata, kau juga harus mengerti perasaanku. Aku tidak ingin menjadi dokter yang membahayakan pasienku!"

   Dan Hinata pun bungkam. Kaneki yang berada di sampingnya, mengusap pundaknya pelan. Entah kenapa, Hinata menjadi tenang. Hinata menghela napas dan melipat kedua tangannya di depan dada.

   "Bi-Bisakah aku menjenguknya?" Ko akhirnya bersuara dengan mata sembab.

    Gin menatapnya lama. "Aku minta maaf. Bukannya aku melarangmu, tapi Asuna sedang butuh istirahat total. Ia sedang tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Dia baik-baik saja. Percayalah padaku. Aku dokternya."

   Ko menunduk. Kemudian, Gin mengalihkan pandangannya ke arah Kirito. Penampilannya cukup kacau—walau tidak sekacau Ko. "Kau butuh menenangkan pikiranmu, Kirito. Asuna baik-baik saja. Semuanya bukan salahmu."

   Kirito membalas tatapan Gin dengan mata sayunya. Bagaimana bisa Gin berkata bahwa ini bukan salahnya? Jelas-jelas, ini semua adalah salahnya. Yang menyebabkan Asuna koma detik ini adalah salahnya. Semua karena kebodohannya.

   Harusnya, ia mengatakan bahwa ia tidak lagi menyanyagi Sugu. Harusnya, ia bohong kepada Asuna dengan mengatakan bahwa dia ingin mencoba membuka hati untuknya. Harusnya. Namun, Kirito terlalu pengecut untuk melakukannya. Kirito tidak dewasa, ia sama saja seperti Sugu.

    "A-Aku..." Bahkan berbicara pun, Kirito seolah tidak sanggup. Ia terlalu merasa bersalah.

    "Kirito, kau terlihat sangat kacau. Tenangkanlah pikiranmu." Gin mencoba membujuk Kirito. Ia kasihan padanya.

    Kirito menghela napas. Tidak. Ia tidak mau melakukan itu. Ia ingin menjaga Asuna. Walau pun hanya di depan pintu ICU saja. Tidak apa-apa. Asuna membutuhkannya. Itu yang hatinya katakan.

    "Aku tidak butuh itu semua. Aku hanya ingin menjaga Asuna."

     "Kirito..."

     "Tidak apa-apa, Gin. Lebih baik kau berbicara dengan bibi Ko. Tentang operasi donor jantung untuk Asuna," katanya mantap.

     Ah. Operasi. Gin hampir melupakan itu. Ia pun segera menatap Ko. "Ah, benar juga. Terima kasih sudah mengingatkanku, Kirito. Ko-san, bisakah kau ke ruanganku?"

    Dengan cepat, Ko mengangguk. Lalu, mengikuti langkah kaki Gin. Kini, tinggal Kirito, Kaneki, dan Hinata yang berada di depan pintu ICU.

     "Kau yakin ingin tetap di sini?" celetuk Kaneki tiba-tiba. Kirito menoleh dan mengangguk pelan disertai senyuman kecil. Kaneki menghela napas. "Kalau begitu, aku akan mengantar Hinata untuk makan di kantin dekat sini."

     Mendengar itu, Hinata mengerutkan keningnya. Ia mendongak untuk melihat wajah Kaneki. Apa maksudnya? Hinata tidak mau makan. Hinata tidak bernafsu. "Hah? Siapa yang mau makan? Aku tidak butuh itu, Kaneki!"

    Kaneki mendengus dan memutar bola matanya. "Ya, kau membutuhkan itu, gadis berandal. Semua orang butuh makan. Dan kau sangat butuh itu sekarang."

     "Aku tidak lapar!"

     "Jangan bercanda, Hinata. Perutmu sedaritadi sudah bunyi dan itu membuat kupingku ternganggu. Ah, atau jangan-jangan kau berencana diet, ya?" Kaneki menyipitkan matanya.

    Hinata melotot. "Diet? Kau kira aku perempuan sok cantik? Cih!"

    "Makanya, kau harus makan."

    "Tidak mau!"

    "Hinata, ayolah, kau tidak pelu diet. Aku suka kok perempuan dengan badan sepertimu. Serius!"

    BUG!

     Satu pukulan melayang di kepala Kaneki. Kaneki meringis. Menatap kesal Hinata. "Aku. Tidak. Diet," ucap Hinata, menekankan setiap kata yang terlontar.

    Kirito yang melihat itu semua, tidak terlalu mood untuk sekadar tertawa dengan tingkah konyol keduanya. Hinata terlalu tsundere. Tidak ingin mendengar kebisingan lebih lanjut, Kirito pun bersuara, "Hinata, lakukan saja apa yang disuruh oleh Kaneki. Kau butuh makan."

    Hinata menoleh, dan ketika melihat wajah Kirito yang penuh akan permohonan, Hinata pun mendengus dan segera menarik tangan Kaneki menjauh menuju kantin rumah sakit.

     Iya. Semuanya benar. Hinata lapar.

***

   Kamarnya diketuk beberapa kali, namun ia tidak berniat untuk membukanya.

    Sugu mengurung dirinya dari sepulang sekolah. Ia juga menangis tanpa henti. Hatinya masih terlalu sakit untuk melupakan perkataan Kirito yang sangat menusuk.

    Kekanakkan? Sugu masih tidak percaya kata itu akan terlontar dari laki-laki yang paling ia sayang. Apa yang Sugu lakukan terlalu berlebihan? Sugu rasa, hal itu wajar-wajar saja. Ayolah, siapa yang tidak kecewa di hari yang menurutmu penting, seseorang yang kau nantikan untuk hadir, ternyata malah sebaliknya. Kalian tidak merasakan apa yang Sugu rasakan!

    Percayalah, Sugu tidak berniat untuk mengecap Asuna sebagai perempuan yang menyedihkan. Tidak. Sugu... hanya tidak bisa mengontrol emosinya hingga menyebabkan kalimat itu terlontar tanpa sengaja.

     Sugu kecewa... pada keduanya.

     Apakah Sugu merupakan pemeran antagonis? Apakah Sugu pernah berbuat jahat kepada orang lain? Sugu rasa... tidak.

     Sugu melirik ponselnya yang ia taruh di atas bantal. Hebat. Tidak ada satu pun notifikasi dari Kirito. Tidak ada yang peduli dengan perasaannya. Tidak ada. Bahkan dengan Asuna sekali pun.

     Dengan itu, Sugu tertawa dalam hati. Kenyataannya, dialah yang lebih menyedihkan daripada Asuna.

///

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now