31 |

58 2 0
                                    

   Kirito melangkahkan kedua tungkai kakinya menuju kawasan yang minim dari banyaknya orang. Rooftop. Ia menenangkan pikirannya yang bisa dibilang cukup kacau.

    Sesampainya di sana, Kirito segera mendapatkan figur perempuan berambut yang sedang membelakanginya. Kirito meneguk ludahnya. Entah harus bersikap bagaimana ia kepada perempuan itu.

    "S-Sugu?"

    Yang dipanggil tak langsung menoleh. Ia menyempatkan untuk menghelan napas, sebelum akhirnya berbalik badan. Sukses membuat Kirito membeku di tempat. Saat ini, tak ada lagi wajah ceria, lugu, manis atau apa pun itu. Ekspresinya datar. Sesuatu hal yang belum pernah Kirito lihat selama ini. Sesuatu yang Sugu  sembunyikan selama ini.

     Kirito pun menghela napas dalam hati. Kalau sudah seperti ini, hanya satu yang bisa Kirito lakukan.

  "Sugu," Kirito menatap manik mata Sugu. "Maafk—"

   "Aku tidak membutuhkan itu!" sentak Sugu cepat.

  Kirito menganga beberapa saat, sebelum tersadar dan menetralkan ekspresinya. Sugu... berbeda.

  "Sugu, aku sungg—"

  "Di hari yang menurutku penting, kamu justru tidak datang. Di saat aku mengharapkanmu, kamu malah menghancurkan hatiku!" kata Sugu dengan bibir yang bergetar.

   "Su—"

   "Kamu lebih memilih menonton Asuna dibanding aku, kekasihmu!" Sugu berapi-api. "Kirito... ini... ini sangat tidak adil!"

   Kirito menelan ludahnya, tak bisa mengelak. Apa yang dikatakan Sugu memang benar kenyataannya. Jika ia menyangkal, itu hanya memperparah suasana. Maka ia memilih diam. Tanpa tahu, bahwa yang dilakukannya membuat perempuan yang ada di hadapannya semakin sakit hati.

  "Aku... Aku ingin putus," lirihnya. Setetes air mata jatuh dengan sempurna di

  "Sugu!" Hati Kirito kelabakan. Apa perempuan berambut bob ini sedang bercanda? "Jangan membuat keputusan dengan cepat!"

   "Kirito-kun! Kamu memang benar-benar tak mengerti! A-Aku membenci kalian! Aku benci padamu, terlebih pada perempuan menyedihkan itu!"

       DEG!

   Wajah Kirito berubah keras. Matanya yang tadi menatap lembut Sugu, kini berubah menjadi tajam. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. "Orang yang kau sebut menyedihkan itu memiliki nama, namanya Asuna, dan dia adalah sahabatku!"

   Kirito masih bisa memaklumi jika Sugu hanya memaki dirinya, namun tidak kepada Asuna. Asuna tidak bersalah. Yang kemarin ia lakukan, murni dengan keinginannya sendiri. "Sugu, aku memang menyanyagimu, tapi aku tak bisa diam saja jika kau menghina kehidupan Asuna. Aku akui, kau memang memiliki hidup yang sempurna, tapi semuanya tak berarti apa-apa jika kau tidak pernah mengerti perasaan orang lain dan terus menindasnya."

   Mendengarnya, Sugu hanya tertawa miris sambil menggeleng-gelengkam kepalanya. Tak percaya jika laki-laki bernetra abu-abu itu lebih membela Asuna. Ketika Sugu hendak menyusun kata-kata untuk membalas kalimat Kirito, dengan cepat Kirito melanjutkan.

  "Sugu, berhentilah bersifak kekanak-kanakkan dan jadilah dewasa sedikit."

   Setelah itu, tanpa mempedulikan Sugu, Kirito berbalik dan meninggalkan Sugu.

***

   Asuna baru saja selesai meminum obatnya ketika teleponnya berdenting nyaring. Asuna segera meraih benda tersebut dari meja. Sudut bibirnya segera tertarik ke atas. Satu pesan masuk. Dari Kirito. Dengan cepat, Asuna membuka dan hatinya kembali diisi oleh secercah kebahagiaan ketika membacanya.

    From: Kirito
Aku putus dengan Sugu.

    Dibacanya pesan tersebut berkali-kali dalam hati, menekankan pada dirinya bahwa yang tertulis di sana bukanlah imajinasinya saja. Tak sepantasnya ia merasakan hal ini, namun Asuna malah melakukannya. Seharusnya ia mengkhawatirkan keadaan Sugu. Bagaimana dengan perasaan perempuan itu?

    Namun Asuna terlalu bahagia dengan kenyataan ini. Tak dipedulikannya Sugu. Yang ia tahu, ia harus cepat-capat menghubungi Kirito.

     "Halo?"

    "Apa tidak apa-apa? Kau... eng..."

    "Aku tidak apa-apa. Sungguh. Aku hanya ingin kami saling intropeksi diri untuk sementara waktu. Itu saja."

    Asuna meneguk ludahnya. "Jadi... kalian tidak benar-benar putus?"

   Suara helaan napas berat terdengar. "Entahlah. Aku masih sangat sayang padanya." Jeda beberapa saat. "Maaf, Asuna."

    Hilang sudahlah rasa bahagia Asuna. Asuna tertawa dalam hati. Menertawakan betapa menyedihkan dirinya. Dewa memang adil—atau malah sebaliknya. Memberikan Asuna kebahagiaan, namun beberapa detik kemudian, merampas dan menghilangkan kebahagiaan itu dengan cepat.

     "Asuna?" Nada bicara Kirito terdengar khawatir.

    Asuna tersadar dan cepat-cepat membasahi bibirnya yang sempat kering. "Eh? Iya, tidak apa-apa. Kenapa meminta maaf? Kau tidak salah. Ah, sepertinya aku harus mengakhiri panggilan ini, aku ada janji dengan Kaneki. Selamat tinggal!" Segera saja Asuna mematikan sambungan dan mulai meneteskan air mata.

    Hebat. Kirito berhasil membuat hati dua orang perempuan sakit sekaligus hanya dalam sehari.

  ***

   "Bagaimana? Salah satu dari kalian sudah memberitahunya?"

    Kaneki dan Hinata tertunduk. Membuat Gin berdecak. Ia menatap kedua orang di depannya dengan kesal. "Kukira kalian yang paling sibuk ingin Asuna segera dioperasi?"

   "Maaf," kata Hinata pelan.

   "Aku harap kalian bisa segera memberitahukannya. Kondisi Asuna semakin hari semakin memburuk. Obat yang kuberikan pun perlahan tidak akan mempan padanya."

   Hinata berdecak. "Aku tahu!"

   Gin hanya mendengus. Lalu menatap Kaneki. "Ya sudah. Bawa perempuan aneh ini dari ruanganku sekarang juga!"

   Hinata melotot. "Apa maksudmu?!!!"

   Gin mengangkat bahunya. Dan memerintahkan Kaneki untuk segera melakukan apa yang ia suruh.

***

    Ko membuka pintu kamar Asuna dan mendapatkan anaknya sedang berbaring di bawah selimut tebal.

    "Asuna?" panggil Ko lembut.

   Tak ada jawaban.

   "Asuna?" Ko mendekat.

    "Makan siang sudah jadi Asuna." Ko mencoba menyibakkan selimut Asuna, dan beberapa detik berikutnya ia melotot, panik. "Asuna! Astaga! Asuna ada apa denganmu?!"

    Asuna tidak menjawab. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering. Ia pingsan.

   Tak Asuna tahu bahwa obat yang ia minum beberapa menit lalu sudah tidak mempan lagi dengan penyakitnya. Jantung Asuna sempat kambuh karena terlalu banyak berpikir. Namun, Asuna berpikir obatnya pasti akan membuat rasa sakitnya mereda, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Asuna juga sempat heran kenapa penyakitnya dapat kambuh padahal sudah meminum obat. Mencoba tidak mempedulikannya, Asuna lebih memlih untuk berbaring.

   Ko tidak bisa berpikir apa-apa. Ia segera menghubungi teman Asuna yang namanya terbesit di otaknya.

    "Halo?"

   "Kirito-kun! Tolong Asuna! Dia pingsan!"

////

Jangan lupa divote untuk menukung pempublis dan penulis^^

An Instrument In DecemberTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon