27 |

48 2 1
                                    

   "KALIAN SUDAH GILA?! KENAPA MELAKUKAN TINDAKAN SENEKAD ITU PADA ASUNA?!" Gin berteriak murka pada Hinata dan Kaneki. Sejak mendapat telepon dari suster yang mengatakan Asuna hilang, Gin seratus persen yakin bahwa dua orang yang kini sedang duduk di sofa hitam miliknya terlibat.

   "Ini mimpi Asuna," gumam Hinata pelan, namun bisa didengar oleh Gin yang sudah frustrasi. Hinata mendongak, menatap Gin dengan tajam. "Dan aku tentu saja tidak terima mimpinya pupus hanya karena penyakit ini! Bagi seseorang yang sangat ingin menjadi seorang biolis, hal itu sangat menyakitkan! Kau tidak tahu bagaimana Asuna selama ini berusaha untuk masuk ke dalam kompetitisi ini! Kau tak akan pernah tahu, Gin!"

   Air mata Hinata kembali merembes keluar. "Aku hanya tak ingin Asuna merasa kalau usahanya selama ini tidak sia-sia. Itu saja."

   Tangan Kaneki bergerak menepuk pundak Hinata pelan, berharap dengan cara itu dapat menenangkan Hinata.

   "Aku tahu perasaanmu, Hinata," Gin mencoba untuk tenang juga. "Tapi kondisi Asuna masih terlalu lelah untuk mengikuti kompetitisi itu. Kau juga tak mau hanya karena ingin mimpinya terwujud, tapi kau malah akan kehilangan dia untuk selamanya, kan?" Gin tahu, tak seharusnya ia mengatakan itu.

   Karena lihat saja Hinata, ia kini mengepalkan tangannya dan menggerak meja kayu rendah yang ada di antara mereka. "Jangan mengatakan itu! Itu suatu hal yang sangat mustahil!"

   "Hinata!" Gin hanya tidak ingin sepupunya terjebak dalam imajinasi.

   Hinata terisak. Membuat Gin menghela napss. Watak Hinata sangatlah keras. Dia tidak mau mendengarkan perkataan atau nasihat orang lain sekali pun.

   "Bawa Asuna kembali."

   Hinata menggeleng cepat. "Tidak! Sebelum dia mulai bermain biolanya!"

   "Hinata, aku mohon!"

   "Aku juga memohon!"

   Gin membuang napas. "Hinata jangan keras kepala!"

   "Hinata..." kali ini bukan suara Gin, melainkan Kaneki. Ia meremas pelan pundak Hinata berharap perempuan itu mendengar.

   Hinata menyentak tangan Kaneki dari pundaknya. Memandang kesal cowok itu. "Jika kau berpihak dengan Asuna, kau seharusnya membelaku, bodoh! Ini bukan kemauanku! Tapi kemauan Asuna! Dia yang membuat rencana bodoh ini!" teriak Hinata geram.

   Keduanya terdiam dan terkejut. Terlebih pada Kaneki. Dia memang tahu rencana ini, tapi tidak dengan Asuna yang ternyata membuat rencana tersebut. Ia pikir, Hinata yang membuatnya.

   "Asuna," gumam Gin tidak percaya. Kau memang bersungguh-sungguh, ya? Kau pasien yang nakal!

   "Baiklah," hela Gin. "Jika terjadi apa-apa dengan Asuna, aku tak akan segan untuk memarahi kalian. Mengerti?"

   Hinata tersenyum kecil. Ia menatap terimakasih pada Gin. Lalu beralih menatap Kaneki dan menganggukan kepalanya, memberi kode agar segera menyusul ke gedung Nomania.

***

   Sugu ingin menangis. Ia kesal pada Kirito. Kekasihnya itu sungguh menyebalkan. Kemarin-kemarin, dia adalah orang yang paling semangat untuk melihat Sugu tampil di acara ini. Namun, sekarang? Kirito sudah pintar untuk berbicara omong kosong.

   Sebanyak apa pun Sugu berdoa untuk kedatangan Kirito, tapi sampai saat ini batang hidung Kirito tak terlihat. Bahkan, pesan yang ia kirim pagi tadi tidak dibalas oleh Kirito.

   Apa laki-laki itu tertidur? Tidak mungkin! Seharusnya ia memasang alarm karena sudah berjanji untuk melihat penampilannya.

   "Sugu?" Akemi tahu-tahu datang menghampirinya dengan wajah angkuh yang demi apa pun, Sugu benci untuk melihatnya.

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now