06 |

82 7 7
                                    

Asuna sampai di rumah pukul delapan diantar oleh Kirito dan dia langsung mendapati seorang perempuan berambut hitam pendek sedang bersadar di depan pagar.

"Sampai jumpa besok!" Kirito berucap, lalu melajukan kembali motor—tanpa repot-repot menyapa sosok yang sudah menatapnya tajam dalam jarak tujuh langkah darinya.

Asuna lantas berbalik, segera mendekati perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Hinata.

"Kau dari mana saja?" Hinata terlihat marah. "Aku sudah menunggumu! Asal kau tahu, aku mungkin akan mati bila kau terlambat semenit saja!"

Asuna menggigit bibir bawahnya. Merasa begitu tak enak hati pada gadis bermarga Uzumaki terkait sehingga ia memutuskan untuk melakukan ojigi. "Ma-maafkan aku, Hinata!"

Hinata menatap Asuna lama, dia memang jengkel dengan Asuna, namun ia sangat tidak ingin melihat seseorang membungkukkan badan untuknya.

"Ka-kau tidak boleh melakukannya lagi. Jika itu terjadi, aku tidak akan segan-segan menghajar Kirito!"

Asuna menegakkan kembali tubuhnya kala mendengar kalimat terakhir. "Kirito?"

Dengusan meluncur begitu saja. "Soalnya dia yang menyebabkan pulang selama ini."

Mengerjap, Asuna merasakan pipinya menghangat. "A-Aku mengerti!" Ia kemudian membuka gerbang dan pintu rumah, lalu mempersilakan Hinata untuk masuk.

"Orangtuamu belum pulang?" tanya Hinata ketika mendapati rumah Asuna sangat sepi.

"Mereka orangtua bodoh, kautahu? Aku juga tidak menginginkan keberadaan mereka," balas Asuna, berbanding terbalik dengan keinginan isi hatinya yang sangat menginginkan keberadaan orangtuanya di rumah ini.

Asuna merasa sendiri, dan Asuna benci kesepian.

Hinata hanya mengangkat alisnya satu, tidak berniat mengomentari Asuna lebih. Ia sangat tahu dengan kehidupan Asuna, dan terkadang merasa kasihan padanya.

"Jadi, kau akan membawakan lagu apa di kontes nanti?" tanya Hinata penasaran, karena setahunya Asuna belum menentukan hal itu. Ia membuka pintu kamar Asuna, lalu seketika mendecak pelan. "Kebiasaan yang buruk! Kau selalu saja seperti ini!" omelnya sembari menyalakan penghangat ruangan Asuna.

"Ah, aku lupa untuk menyalakannya," gumam Asuna sambil menutup pintu kamar dan mengeluarkan biola dari tas yang ia bawa seharian penuh. "Dan, aku belum menentukan lagu yang akan kubawakan besok."

"Jadi ini alasanmu menyuruhku ke rumahmu? Asuna! Apa kau memang berniat dengan kontes ini?"

"Aku niat, sungguh." Asuna menaruh biola di lehernya, dan memainkannya sebentar. "Lagipula aku memang membutuhkanmu untuk memilih lagu. Karena setahuku, seorang Hinata Uzumaki memiliki selera musik yang hebat."

Mendengarnya, Hinata menatap Asuna lama. Lalu, di detik kelimabelas, ia membuang napas. "Baiklah, aku menerima itu sebagai pujian. Dan aku, aku ingin kau memainkan musik milik ..." Hinata terdiam sejenak, berpikir. Sejurus kemudian, Hinata menjentikkan jarinya, membuat Asuna yang tengah memainkan iseng biola sontak terkejut. "Ah! Aku ingin kau memainkan .., sini kubisikkan padamu." Hinata membuat gestur agar Asuna mendekatkan telinganya.

Ragu, Asuna pun mengikuti. Dan ketika Hinata membisikkan sesuatu, Asuna sontak membulatkan matanya. Ia menjauh dan menatap Hinata dengan tatapan tak percaya.

Asuna menautkan kedua alis cokelat miliknya, memandang Hinata agak ragu. "Kau yakin?"

Dengan mantap, Hinata mengangguk. "Percaya padaku, Asuna. Aku yakin seratus persen!"

Asuna membuang napas. "Berarti kita harus begadang, ya?" tanyanya lesu.

"Kenapa? Kau tidak mau?!" balas Hinata galak.

Asuna meringis. "Siapa bilang? Tentu saja aku mau! Mohon bantuannya ya, Hinata!"

Hinata tersenyum lebar. "Dengan senang hati, Asuna."

glosarium:

ojigi: membukukkan badan untuk mengepresikan perasaan hormat, terima kasih, meminta maaf, memberi salam, dsb.

////

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now