28 |

43 2 0
                                    

  Asuna semakin gugup. Asuna tidak pernah segugup ini selama hidupnya. Arima telah selesai, penampilannya sukses membuat semua penonton bertepuk tangan, sementara juri membanjiri laki-laki itu dengan pujian.

   Dan peserta kedua pun sudah mulai bermain di panggung yang didesain lumayan luas oleh pemilik Gedung Nomania.

  "Nagisa. Peserta paling berambisi yang pernah kulihat." Suara Keiko muncul kembali di telinga Asuna. Asuna menoleh. Hinata sedang tidak ada di sini. Dia sedang ke kamar mandi untuk buang air kecil.

  "Tidak ada peserta yang tidak ambisi di kontes ini, Keiko-san," balas Asuna, matanya kemudian menatap kembali TV berukuran lumayan lebar itu.

  "Ah, kau berambisi juga ternyata," goda Keiko menyenggol lengan Asuna pelan.

  Asuna tersenyum dan mengangguk. "Tapi aku tidak berambisi untuk menang hanya karena uang dari hasil kontes ini. Aku bahkan tidak tertarik dengan itu. Aku ingin menang, karena tak ingin mengecewakan orang terdekatku," jawab Asuna dengan mantap. Ia terdiam sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. "Selain itu juga, agar orangtuaku bangga kepadaku."

  Keiko terdiam mendengarnya. Seolah tidak percaya dengan apa yang Asuna ucapkan. Baru kali ini Keiko mendapat alasan yang sangat menarik untuk memenangkan kontes ini. Selama dia bekerja di sini, tiap tahun pesertanya hanya ingin menang karena uang dan mobil mewah.

   "Kau memang sangat pantas untuk menang." Entah kenapa, ada kebanggaan terdendiri karena menjadi teman Asuna.

   "Terimakasih, Keiko-san."

    Selepas itu, Hinata datang dengan menggumamkan kata lega. Asuna segera menoleh dan tersenyum pada Hinata. Hinata hanya membalasnya dengan alis yang terangkat satu. "Apa?" Kemudian, mata Hinata beralih menatap Keiko. "Dia membicarakanku, ya?!"

   Keiko melotot. "Enak saja! Aku masih punya banyak hal menarik untuk diceritakan pada Asuna-chan, daripada harus menceritakanmu. Lagi pula, aku bukan tipe orang yang seperti itu!"

   Hinata manggut-manggut. "Maaf. Soalnya wajahmu mengatakan hal yang sebaliknya, sih."

    "Hei!"

    "CUKUP!" Asuna memekik. "Aku lelah mendengar kalian berteriak!" omelnya. Asuna menatap Hinata. "Giliranku sebentar lagi. Lebih baik Hinata menyusul Kirito dan Kaneki-kun di tribun. Mereka sepertinya sudah menunggumu untuk menjelaskan instrumen apa yang akan kubawakan."

    Hinata mendengus. "Baiklah. Awas kalau tidak menang! Aku tidak segan untuk membunuhmu, Asuna. Ingat, kau juga membawa nama sekolah musik kita. Cukup mainkan benda sialan itu dengan jiwamu. Mengerti?"

    Berbeda dengan Keiko yang bergidik mendengar ancaman Hinata, Asuna justru tersenyum dan memberikan jempolnya. "Aku sangat mengerti itu, Hinata!"

   Kemudian, Hinata pun berbalik pergi.

***

   "Kenapa lama sekali?" Kaneki bertanya pada Hinata yang baru saja duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya.

    Hinata membuang napasnya perlahan. "Asuna sangat gugup, jadi aku harus menenangkannya terlebih dahulu."

   Kirito mencuri dengar. Sebenarnya ia ingin bertanya juga pada Hinata tentang Asuna, namun urung ketika sadar bahwa hubungannya dengan Hinata dan Kaneki sedang tidak baik. Maka dari itu, Kirito mengeluarkan ponsel dari sakunya. Tanpa menghiraukan panggilan tidak terjawab dari Sugu yang sudah lebih sepuluh kali meneleponnya, Kirito membuka kolom percakapannya dengan Asuna dan menuliskan sederet kalimat, kemudian mengirimkannya.

   To: Asuna
    Jangan gugup. Semangat. Ada aku yang menontonmu.

***

  Nagisa telah selesai dengan juri yang memberikannya sedikit komentar karena melakukan kesalahan nada saat bermain. Walau begitu, banyak penonton yang bertepuk tangan untuknya.

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang