39 |

36 1 0
                                    

  "Sebaiknya kau masuk ke tribun. Habis ini giliran Asuna." Kirito terkesiap saat suara Keiko terdengar. Kirito menoleh padanya, lalu mengangguk singkat. Ia mulai melangkah setelah pamit pada Keiko.

  Di sela-sela langkahnya, Kirito berhenti, sekadar untuk mengirimi perempuan itu pesan singkat. Usai itu, Kirito kembali melangkah. Dengan hati yang entah kenapa diselimuti perasaan gelisah.

***

Pintu ruangan Gin terketuk. Gin yang sedang membaca rekam medis Asuna pun lantas mengerjap lalu menyrih si pengetuk masuk. Selanjutnya, seorang suster pun terlihat di pandangannya. Namanya Mayu.

  "Ada apa, Mayu?"

  Mayu tersenyum kecil terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan sang dokter berambut putih itu. "Sebentar lagi jadwalmu untuk memeriksa Asuna-san," jeda. "Dokter, apa kau sudah menemukan pendonornya?"

  Gin menatap sekilas rekam medis milik Asuna kemudian menghela napas. "Sayangnya belum. Mencari pendonor itu cukup sulit. Jika pun ada, Asuna terlalu terlambat. Persetujuannya saja baru ditandatangani seminggu yang lalu. Terdengar sangat mustahil."

  Mayu meringis. "Aku tahu itu. Tapi, entah kenapa, aku merasa ingin Asuna-san sembuh dari penyakit ini. Aku menyukainya."

   Gin ternsenyum simpul. "Begitu pula denganku, Mayu."

***

   Asuna berkali-kali mengembuskan napasnya sekadar mengusir perasaan gugup dari dirinya. Tangan kanannya memegang gagang biola dengan erat. Tubuhnya lemas, namun Asuna harus melakukan instrumentalnya. Dan dengan pikiran itu, Asuna pun mengambil langkah memasuki panggung.

  Dia disambut dengan tepuk tangan riuh oleh penonton. Jantungnya berdegup. Asuna belum terbiasa dengan suasana tepuk tangan yang mendukungnya. Asuna mengulas senyum tipis. Seperti biasa, matanya menyapu tribun, mencari seseorang.

  Sayangnya, maniknya tak menemukannya. Ribuan orang menyulitkan pandangannya untuk mencari.

  Tidak apa-apa. Tenang saja. Angkat biolamu, dan mulai lah bermain. Ini instrumental terakhirmu yang kau persiapkan khusus untuknya. Kau tidak boleh mengacaukannya!

  Asuna menarik napas panjang sebelum mengembuskannya. Matanya tertutup kala ia mengangkat biolanya. Dadanya diserang sesak kala ia mulai mengambil nada.

  Dan penonton langsung terkesiap di tempat. Membeku. Merinding.

  Karena bahkan di nada pertama pun, sudah sangat menyayat hati mereka.

  "Pilihan lagunya selalu tidak terduga," Kirito mencuri dengar ketika seorang pria bergumam dengan teman di sampingnya. "Setelah Contradanza yang enerjik, dia kini memilih Ballade in G minor Op.23, instrumental yang sangat menyayat hati." Kemudian pria itu tersenyum. "Dia sepertinya sangat pandai mempermainkan penonton, ya?"

  Kirito diam. Memang benar apa yang dikatakan pria itu. Pilihan instrumental Asuna kali ini terdengar sangat menyayat hati. Kirito bisa merasakannya. Hal itu dilihat dari dirinya yang merinding dan hatinya yang terasa sakit setiap Asuna memainkan setiap nadanya.

Sekarang, ada dua pertanyaan yang hinggap di pikiran Kirito. Kenapa Asuna memilih instrumental ini? Sebenarnya, apa yang sedang Asuna pikirkan sekarang?

Mata Kirito menatap intens Asuna yang berkutat dengan biolanya di ujung sana. Keringat mulai mengalir dari pelipisnya. Asuna sangat menghayati apa yang sedang ia mainkan.

  Entah kenapa, Kirito tiba-tiba mengingat apa-apa kalimat yang Asuna katakan padanya.

  Terimakasih, Kirito.

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang