37 |

33 2 0
                                    

Satu jam setelah Kirito dan Sugu pergi untuk berbicara tentang sesuatu saat itu, mereka kembali, namun dengan berbeda arah. Kirito kembali ke ruangan Asuna, sementara Sugu kembali ke rumahnya dengan perasaan tak karuan serta air mata yang tak henti-hentinya mengalir.

    Asuna ingin mengajukan pertanyaan, akan tetapi pertanyaan tersebut harus ia telan kembali karena melihat raut wajah Kirito.

  Asuna memang tak tahu apa yang terjadi, tapi ia yakin, semuanya tidak baik-baik saja. Hal itu dapat dijelaskan dengan Sugu yang pulang tanpa pamit.

  Asuna senang bila hubungan mereka memburuk, namun Asuna juga merasa dirinya adalah manusia terburuk yang pernah ada. Asuna tidak tahu perasaan ini datang darimana. Asuna tak ingin seperti ini. Asuna ingin... semuanya kembali seperti dulu. Seperti saat mereka pertama kali bertemu.

   Hati Asuna mendadak sesak. Asuna benci pada dirinya yang sekarang. Dialah penyebab hubungan persahabatan ini rusak dan hancur.

   Asuna... ingin memperbaikinya.

   Tapi bagaimana caranya?

   Asuna menatap Kirito yang berwajah murung. Asuna tersenyum getir.

   "Maafkan aku, Kirito-kun."

   Dan Kirito hanya terdiam mematung.

***

  Asuna meremas selimut tebalnya. Matanya bergerak kesana-kemari, gelisah. Menghela napas, ia mengambil ponsel dan untuk kesekian kalinya, ia melihat tanggal di layar tersebut.

Sabtu, 13 Desember 2016.

  Asuna mengesah pelan. Otaknya telah dipenuhi oleh partitur. Menghabiskan waktu bermalam-malam untuk menghapal partitur itu sangatlah menyusahkan. Tanpa adanya biola, Asuna merasa semua hapalannya akan sia-sia.

  Pintu ruangannya terbuka. Asuna mendongakkan kepalanya. Tidak sesuai dengan harapannya. Gin mendekat dengan senyuman ramah.

"Bagaimana perasaanmu?"

  Selalu itu. Pertanyaan yang dilomtarkannya selalu sama setiap memeriksa keadaan Asuna.

  "Lebih baik dari kemarin," jawab Asuna. Sepenuhnya berbohong. Nyatanya ia merasa tubuhnya masih lemas.

  "Begitukah? Baguslah." Gin mengganti air infus yang kebetulan sudah mau habis.

  "Gin," panggil Asuna. "Kapan aku bisa pulang? Aku tidak betah di sini."

  Gin terdiam. Detik berikutnya ia tersenyum kecil. "Hingga keadaanmu sepenuhnya membaik. Ada apa? Hari ini kau kelihatan gelisah. Jika kau menginginkan sesuatu, beritahu saja aku."

  "Aku baik-baik saja. Tak perlu mencemaskan diriku," Asuna melihat tanggal dan waktu di layar ponselnya, lagi.

  Gin menaikkan salah satu alisnya. "Kau melihat tanggal terus," komentarnya.

  Asuna terkesiap. "Eh? B-Bukan apa-apa, kok."

  Gin selesai dengan pekerjaannya. Ia menatap Asuna dengan mata menyipit. "Kau... Kau tidak mencoba untuk kabur lagi, kan? Beberapa hari yang lalu kau juga melakukan hal yang sama. Mengecek jam di ponselmu."

  Asuna merapatkan bibirnya.

  Gin menghela napas. Ia menatap Asuna. "Aku tahu perasaanmu. Kau pasti kecewa ya hari ini? Maafkan aku."

  Asuna segera menoleh. "Eh? Kenapa meminta maaf?"

  Gin tertawa hambar. "Bila saja kau tidak mengalah demi anakku, kau mungkin sudah menjadi bintang sejak beberapa tahun lalu. Aku terlalu egois saat itu."

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang