14 |

52 2 0
                                    

"Ajarkan aku tentang cinta,
  Dan bawalah aku terbang bersamamu,
  Mengitari dunia,
  Yang katanya tak seburuk di pikiranku."

Sugu tersenyum lebar. Satu puisi telah berhasil ia taklukan. Sugu menyukai puisi seperti dia menyukai Kirito. Harus Sugu akui, mereka berdua memiliki sebuah persamaan. Sama-sama berarti bagi Sugu.

Sugu sebenarnya tidak tertarik sama sekali dengan dunia puisi, sastra, dan lainnya. Namun, ketika mendengar Asuna akan melanjutkan pendidikan di sekolah musik dan menjadi seorang biolis, Sugu menjadi tertantang untuk masuk ke dunia puisi.

Sugu iri.

Ia iri pada Asuna.

Dan Sugu tidak suka dikalahkan!

Maka dengan tekad yang kuat, Sugu terus belajar mendalami puisi. Bagaimana cara membacanya, dan bagamaina cara agar pembaca dapat menangkap makna yang tersirat dalam puisi tersebut. Sugu berusaha keras. Hingga beberapa minggu lalu, Sugu mencoba mengikuti perlombaan puisi. Tanpa diduga, Sugu menang!

Sugu duduk di kursi panjang yang sudah lengkap dengan keberadaan Kirito. Ia lalu menyenderkan kepalanya di dada Kirito yang berbalut kaus oblong bewarna hitam. Sugu menarik napas dan membuangnya secara perlahan.

"Bagaimana?"

Kirito menuduk sedikit, memperhatikan wajah putih Sugu. Ia tersenyum simpul. "Hebat. Kau pasti menjadi bintang besar suatu saat nanti."

Sama. Kalimat yang ia lontarkan barusan, sama persis seperti yang ia katakan pada Asuna seminggu yang lalu. Kalimat yang membuat Asuna tersipu, serta-merta kalimat yang tanpa sadar menjadi beban bagi Asuna agar tidak mengecawakan Kirito.

Sugu menjauhkan tubuhnya dan menatap Kirito dengan binar di matanya. "Benarkah?!"

Kirito mengangguk.

Sugu menghela napas. "Baguslah," gumamnya. Detik berikut, Sugu mengulum bibirnya. "Kirito," Ia memanggil pelan. Kirito menatapnya dengan alis terangkat satu, menunggu. "Jangan mengatarkanku pulang besok."

Alis Kirito kini tertaut. "K-Kenapa?"

Sugu menggigit bibir bawah, pelan. "Ayah besok pulang. Kautahu, Ayah sangat ketat dengan penjagaan. Membuatku terkadang muak dan lelah. Maaf ya, Kirito."

"Tak perlu meminta maaf." Tanpa aba-aba Kirito mengecup pipi Sugu. Membuat wajah perempuan itu memerah sepenuhnya dengan mata yang membesar karena kaget. "Kau tak salah apa pun."

***

Asuna bangkit dari kasurnya yang empuk. Keringat diri membasahi wajahnya. Mendadak jantungnya berpacu dengan cepat dan terasa sangat nyeri. Asuna benci ini! Dengan gemetar, Asuna melangkah menuju meja rias dan mengambil botol obat. Tangan kanannya membuka tutup botol, sementara tangan satunya bertugas menekan dada, menahan rasa sakit yang menyerang.

Air mata mulai menetes. Dua buah kapsul bewarna putih segera ia masukkan ke dalam mulut kemudian ditelannya dengan cepat. Setelah itu, beberapa menit kemudian, rasa nyerinya pun berangsur hilang.

Asuna mengepalkan tangannya. Penyakit ini membuatnya menderita. Walaupun begitu, Asuna tak penah memberitahu perihal penyakit terkait kepada siapa pun, bahkan kepada orangtuanya sekali pun. Buat apa memberitahu? Toh, mereka juga tak akan mempedulikannya.

Mata Asuna tanpa sadar melirik tas biola yang ia gantung di pintu lemari. Asuna meneguk ludah susah payah. Hatinya mendadak perih. Biola. Satu-satunya benda mati yang mengerti penderitaannya. Satu-satunya benda yang tidak dapat membuatnya sakit. Satu-satunya benda mati yang dapat menenangkannya.

Fokus Asuna teralihkan ketika ponselnya berdering, menandakan telepon masuk. Diambilnya barang tersebut yang ada di meja rias dan melihat ID Caller-nya.

Hinata.

Dahi Asuna mengerut. Namun tak urung ia pun mengangkat telepon tersebut dan menempelkan ponsel ke telinga kiri.

"Halo?"

Namun anehnya, bisu. Hanya kesunyian. Membuat Asuna menjauhkan ponselnya untuk memastikan kembali siapa yang meneleponnya. Nama Hinata masih terpampang dengan jelas di layar. Asuna kemudia menempelkan barang tersebut ke telinga.

"Halo? Hinata? Hinata! Apa kau di sana?!"

"O-Oh, halo, Asuna! Apa kau baik-baik saja?"

Akhirnya suara Hinata terdengar. Membuat Asuna tanpa sadar menghela napas lega.

"Hah? Tentu saja aku baik-baik saja. Memangnya ada apa?" tanya Asuna.

Di tempat lain, Hinata mengembuskan napasnya sembari menutup mata. Jawaban yang penuh dengan kebohongan.

"Baguslah. Jika kau memiliki masalah, ceritalah padaku. Jangan membuatku cemas. Mengerti? Kautahu, sahabat musik harus saling terbuka dan berbagi."

Hinata berkata demikian dengan tenggorokan yang tercekat. Ingatannya kembali melayang pada percakapan kemarin siang. Ketika mendengar suara Asuna yang seperti putus asa.

"Ba-Baiklah," suara Asuna terdengar.

"Bagus. Kalau begitu kututup, ya?"

"Hm!"

Dan sambungan pun terputus. Asuna menjauhkan ponselnya dan memandangi benda tersebut dengan alis yang berkerut.

Hinata aneh.

Suaranya pelan, tidak seperti biasanya. Dia terlihat khawatir ... dan juga sedih.

Kautahu, sahabat musik harus saling terbuka dan berbagi.

Mata Asuna tertutup. Kepala ia tundukkan.

Maaf, aku masih belum bisa. Kau pasti akan sedih. Cukup aku saja.

Asuna kemudian melirik jam dinding. Ia membuang napas. Ternyata sudah pukul delapan. Sebaiknya ia tidur agar tidak kesiangan esok hari.

maaf sangad kalau cringe.
ini buku yang saya tulis saat
kelas 10 jalan 11. wtf. jijik.

ini saya cuman perbaiki
sedikit tanda baca. jika masih
ada yang keliru, feel free to tell
me. i'd like to fix it ASAP!

////

An Instrument In DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang