36 |

38 2 0
                                    

Itu tawaran yang diberikan Kirito kepadanya. Entah harus bagaimana menanggapinya. Ia bahagia, tetapi juga sedikit kesal. Asuna menghela napas. Untuk apa juga ia memikirkan hal itu? Sudah jelas-jelas ia tak akan berhenti menyukai Kirito.

Ruangannya masih sepi. Asuna masih ingin beristirahat dengan tenang, tak lupa memikirkan instrumental apa yang akan ia bawakan besoknya.

Instrumental. Memikirkannya saja sudah membuat hati Asuna menjadi bahagia. Besok adalah semi final. Entah kenapa Asuna tidak merasakan gelisah akan penampilannya nanti.

Asuna meraba nakas, mencari ponselnya. Namun tidak ada tanda-tanda keberadaan benda tersebut. Hingga Asuna tersadar. Ponselnya ada di rumah.

"Ah!" keluh Asuna. Kenapa harus pingsan segala? Jadi dia harus bagaimana? Tidak mungkin ia meminta Hinata.

Pintu diketuk. Membuat Asuna menghela napas dan mempersilakan si pengetuk untuk masuk. Ternyata ibunya. Asuna meringis dalam hati. Hubungan keduanya memang cukup membaik, tapi Asuna tidak bisa menampik bahwa hubungan mereka masih diselumuti kecanggungan yang luar biasa.

"Kamu sudah baikan?"

"Em."

Ko duduk di kursi tepat di samping brangkar Asuna. Ko lalu menggenggam tangan Asuna. Asuna terkejut dengan perlakuan tersebut lantas segera menarik tangannya menjauh. Detik berikutnya ia meminta maaf. Asuna... masih belum terbiasa dengan sikap lembut Ko padanya.

Ko mencoba tersenyum. "Tak apa."

Asuna menunduk. Ia tidak suka situasi ini. "Bu..."

"Ya? Ada apa? Kamu butuh sesuatu?" tanya Ko beruntun.

Asuna menggeleng. "Tidak apa-apa. Hanya saja..." Asuna menggantungkan kalimatnya. Otaknya kembali bekerja. Apakah ia harus memberitahu Ko atau tidak perihal semi final Festival Biola Tokyo 2016? Asuna menatap mata Ko yang penasaran dengan kelanjutan kalimatnya. Asuna menelan ludahnya. "Tidak apa-apa."

Sepertinya tidak. Cukup antara dirinya, Kirito dan Tuhan saja yang tahu.

***

Sugu mengusap air matanya. Ia meraih ponselnya dan segera mencari kontak seseorang. Lama dia berpikir sebelum mendial nomor tersebut. Namun, ketika menempelkan ponsel ke telinganya, bukan suara Asuna yang ia dengar, melainkan suara operator yang memberitahu bahwa Asuna sedang sibuk.

Dengan itu, air mata Sugu mengalir semakin deras.

"Asuna.... maafff......"

***

Hinata sedang mengunyah roti isi cokelatnya ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Hinata merogoh sakunya dan mengeluarkan benda tersebut. Ia memandangi layarnya lama, membuat orang yang tak jauh darinya memusatkan seluruh perhatian padanya.

"Siapa?" tanya laki-laki berambut putih itu, Kaneki.

Hinata berdecak. "Bukan urusanmu!"

"Hinata!"

"Iya, iya!" Hinata merengut. "Sugu menelepon."

"Oh," Kaneki menyeruput kopinya. "Angkat saja."

"Kau yakin?"

"Kenapa tidak?"

Hinata mendengus pendek. Lalu mengusap layar ponselnya, menjawab panggilang Sugu.

"Halo?"

"Hinataaa!!!! Aku minta maafff!!!"

Hinata tersedak ketika mendengar suara melengking penuh rengekan Sugu. Meminum air mineralnya, Hinata pun membalas, "Ada apa?"

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now