17 |

65 2 0
                                    

Mata Asuna menatap ke luar jendela, memperhatikan beberapa pohon pulm yang tumbuh di pinggiran lapangan sekolah. Wajahnya hari ini, entah kenapa, berseri-seri. Senyumnya juga tak bisa ia hilangkan semenjak tadi malam.

Gila. Asuna sudah benar-benar gila.

Dan Asuna seratus persen menyalahkan Kirito akibat kegilaannya.

"Hoi! Yang di sana!"

Bahkan, saking otaknya terus memikirkan Kirito, Asuna tidak mengindahkan teriakan teguran yang diberikan guru.

Semua kepala yang ada di kelas langsung tertoleh pada Asuna.

"Hoi! Yuuki Asuna!"

Dan barulah saat namanya dipanggil, Asuna tersadar dari lamunannya dan mendongakkan kepalanya, terkejut.

"Tolong jangan melamun di saat jam pelajaran saya. Mengerti?" kata guru tersebut sambil mengatur posisi kacamatanya.

Wajah Asuna memerah, malu. Ia menundukkan kepalanya. "M-Maafkan aku, Sensei! Ini tidak akan terjadi lagi!"

Sang Guru menghela napas. Kemudian melanjutkan pelajarannya. Kali ini, Asuna mencoba lebih fokus terhadap pelajarannya.

***

"Sepertinya ada yang sedang bahagia," sindir Hinata telak sambil tangannya sibuk membuka tempat makannya. Ditatapnya Asuna dengan lekat serta senyuman aneh yang menghiasi wajah pucatnya. "Ceritakan padaku? Siapa pelakunya? Si brengsek Kaneki? Atau Si Tampan Kirito?" desaknya.

Asuna memerah. Seketika menjadi gugup ditanyai seperti itu oleh Hinata. Payah. Tidak seharusnya ia seperti ini.

"Ah. Jangan bicara yang tidak-tidak, Hinata," sangkal Asuna gugup.

Hinata memincingkan matanya. "Yang kubicarakan pasti fakta. Dan, yah, kutebak, pasti si Tampan Kirito. Karena si Brengsek Kaneki pasti akan langsung merecokiku semalaman jika kau adalah korban gombalnya."

"Ah," Asuna semakin memerah. Tebakan Hinata selalu benar. Namun, detik berikutnya, ia mencoba mencari topik lain agar Hinata tidak mengorek lebih banyak informasi tentang pelaku-korban-bahagia ini. Ditatapnya dengan jahil Hinata yang sudah mulai mengunyah makan siangnya. "Ngomong-ngomong, kau dan si Brengsek Kaneki-kun semalam habis berkencan, ya?"

Dan..

CRUT!

Kunyahan Hinata menyembur ke wajah Asuna. Menyadari hal itu, Asuna mematung di tempat, terkejut bukan main. Segitu hebatkah pertanyaan Asuna hingga Hinata memberikan respon segila ini? Ah, mencurigakan!

Dengan perlahan, Asuna mengambil beberapa lembar tisu dan mengelap wajahnya.

"Ah! Maafkan aku Asuna!" Kentara sekali Hinata merasa bersalah. "Ini semua salahku—ah, tidak, tidak, tidak! Ini semua salahmu!"

Alis Asuna menyatu. "Salahku?"

Hinata mengangguk dengan berapi-rapi. Menatap Asuna seolah-olah ia adalah tersangka kriminal yang harus dipenjarakan. "Kau berbicara yang tidak-tidak tentangku dengan si Brengsek Kaneki! Kami? Berkencan? Sialan! Itu tak akan pernah terjadi!"

Asuna terkekeh. "Jangan seperti itu. Memangnya siapa kemarin yang merampas bunga lili pemberian Kaneki-kun di Gedung Nomania dan mengatakan bahwa ia sangat mencintai pria berwajah tampan seperti Kaneki-kun?" Baru kali ini Asuna merasa menang terhadap Hinata. Entah kenapa, ia bangga dengan hal tersebut.

"A-Asuna!" sentaknya. Asuna tertawa melihat Hinata yang memerah. Ini kali pertama Asuna melihat Hinata salah tingkah. Menggemaskan! "I-Itu kan sudah lama! Jangan diingat lagi! Sial! Iya, memang seharusnya kau melupakannya! Hal itu sangat tidak penting!"

"Tidak Hinata," balas Asuna, menahan senyum. "Itu penting."

"Kau gila. Penting dari segi mananya?!"

"Itu penting dari segi percintaanmu, Hinata." Kata Asuna dengan wajah yang menurut Hinata sangat mengerikan.

"ASUNA!!!"

Yang diteriaki hanya tertawa lepas. Hinata memerah, namun tak dapat dielak, entah kenapa hatinya terasa senang. Aneh, seharusnya Hinata tidak merasa seperti ini, sebab dia tidak menyukai Kaneki. Kaneki penggangu. Itu merupakan kesan pertama yang Hinata dapatkan saat kali pertama bertemu dengan laki-laki berambut abu-abu itu. Namun, tak bisa dipungkiri, di saat yang bersamaan, Hinata merasa Kaneki memiliki wajah manis dan tampan.

Matanya melirik Asuna yang masih tertawa—tidak selepas tujuh detik yang lalu, dan bersuara. "Eng.., Asuna?"

Asuna berhenti tertawa. Ia menatap Hinata dengan alis yang terangkat satu.

"Kau menyukai Kirito, ya?"

Deg!

Tepat sasaran.

Pertanyaan itu sukses membuat Asuna mematung di tempat. Waktu seolah berhenti. Kenapa Hinata bertanya seperti itu? Bibir Asuna mendadak kelu. Ingin membantah, namun itu sia-sia, sebab lawan bicaranya ini adalah Hinata Uzumaki. Perempuan dengan kejeniusannya. Perempuan yang sangat susah dibohongi.

Suara helaan terdengar. Membuat Asuna menunduk. Tangannya tanpa disadari meremas ujung roknya.

"Sudah kuduga," Hinata menghela napas lagi. "Tapi Asuna, kau harus ingat, ada Sugu. Orang yang berada di sisi Kirito saat ini," katanya pelan, namun tegas.

Hati Asuna seperti terjatuh ke dalam jurang mendengar kalimat Hinata. Badannya bergemetar dengan bibir yang ia gigit keras-keras. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Asuna sudah sangat tahu perihal itu. Kenapa Hinata mengingatkannya? Kenapa? Apa sahabatnya itu tidak bisa membiarkan dirinya bahagia, walau hanya sesaat? Kenapa ia harus menyadarkannya tentang kenyataan yang pahit itu?

Menyesakkan.

"Terimakasih atas makanannya!" Hinata bergumam, lalu menutup tempat bekalnya. Bangkit, ia pun menatap Asuna sekilas. "Aku duluan ya, Asuna."

Namun Asuna hanya diam, tidak membalas.

Dan dengan itu, Hinata pergi dari kantin.

Tanpa mempedulikan perasaan Asuna yang saat ini berantakan.

Getar ponsel membuatnya tersadar dari rasa sakitnya. Dengan gerakan cepat, tangan Asuna mengambil ponselnya yang ia taruh di saku seragamnya. Embusan napas meluncur indah melalui mulut tipisnya.

Latihan untuk hari ini kubatalkan. Kau dan Kirito sebentar akan pergi, kan? Semoga lancar! Aku mendukung kencan kalian. Sebagai gantinya, kau harus ke rumahku Jumat pagi ini pukul 5 pagi. Aku tidak mau tahu! Apa pun yang terjadi kau harus sampai di rumahku pukul itu. Tak ada kata terlambat! Profesionalah!

Pesan yang tak bisa dikatakan singkat itu membuat Asuna bingung dengan sahabatnya yang satu itu. Ah, Asuna baru ingat. Selain susah dibohongi, Hinata juga susah untuk ditebak. Karena pesan singkat itu juga, Asuna hampir melupakan sesuatu. Ia hampir lupa dengan posisinya sekarang yang sudah menjadi peserta dalam kontes biola ternama di Tokyo.

YAK, KONFLIK SUDAH AKAN DIMULAI😏

///

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now