10 |

63 2 0
                                    

Teriknya matahari yang menembus horden jendela kamar Asuna, membuat perempuan yang sedang tertidur pulas itu terpaksa membuka matanya karena merasa silau.

"Kau sudah terbangun ternyata."

Asuna mengerjapkan matanya, bermaksud memperjelas penglihatan agar dapat melihat siapa yang sedang berbicara padanya.

"Hinata," gumamnya, setengah sadar. Detik berikutnya, Asuna lantas melotot. "Hinata!" serunya, terkejut dengan kehadiran perempuan dengan wajah polos, namun berbanding terbalik dengan kelakuannya yang sangat dingin, cuek, dan kasar.

Asuna turun dari kasur dan berlari kecil ke arah Hinata untuk memeluk gadis bernetra lavender terkait.

"Maafkan aku ...," lirihnya.

Hinata mematung. Terkejut bukan main dengan tindakan Asuna. Akan tetapi, di detik selanjutnya, ia bisa tersadar dan membalas pelukan Asuna singkat, lalu mengurai pelukan tersebut.

"Aku tidak membutuhkan kata itu darimu," balasnya. Kemudian, senyumnya mengembang. "Dan bagaimana dengan kemarin?"

Asuna mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

Hinata memutar bola mata. Ia bangkit berdiri dari sofa empuk putihnya, lalu berdiri tepat di hadapan Asuna. "Jangan berpura-pura tidak tahu! Ceritakan padaku tentang kebersamaan-mu dengan Kirito. Kautahu, dari semalam kau sibuk menyebut namanya sambil tersenyum dengan wajah memerah, membuatku sangat penasaran!"

"Hinata!"

"Aku bercanda, Asuna," kekeh Hinata, mencubit pipi Asuna. "Jangan memerah! Kau terlalu kentara," gumamnya sembari menjauhkan tangannya dan berjalan membuka pintu kamar Asuna. "Dah! Aku akan menyiapkan sarapan untuk kita."

"Hinata!" panggil Asana tepat ketika Hinata menutup pintu kamar bercat cokelat muda. "Apa maksudmu?!" serunya.

Namun tak ada sahutan.

Asuna berdecak, lalu melangkah menuju tempat tidur, mencari ponselnya yang semalam ia lempar sembarangan karena terlalu lelah. Ketika telah mendapatkannya, Asuna segera mengecek benda persegi itu.

Satu pesan masuk.

Segera, Asuna menggeser layar ponselnya, membuat pesan terkait dalam sekejap terlihat oleh mata.

From: Kirito
Semoga tidurmu nyenyak.

Seulas senyum lantas mengembang. Dengan gemas, Asuna memeluk benda tersebut. "Kirito...."

  ***

Ketika Asuna turun dari tangga menuju ruang makan dengan keadaan yang segar sehabis mandi, Asuna langsung mendapati Hinata yang tengah menyendokkan nasi ke atas piring sambil matanya menatap televisi yang menayangkan berita cuaca yang hari ini cerah. Kemudian, salah satu presenter melanjutkan, bahwa salju akan berlanjut di bulan Desember nanti.

Gerakan tangan Hinata terhenti, lalu menatap Asuna dengan alis yang terangkat satu. "Wow, aku tidak menyangka Asuna akan mandi sepagi ini."

Asuna mendengus, duduk di kursi makan. Tangannya mengambil piring yang disodorkan oleh Hinata. "Aku memasukkan itu ke daftar terpujiku. Terima kasih, Hinata."

Hinata tertawa kecil. Ia pun menyendokkan sesuap nasi beserta sayur ke dalam mulut, mengunyahnya hingga hancur, lalu kemudian menelannya.

"Aku bingung, sungguh," celetuk Asuna, masih sibuk mengunyah. "Bagaimana bisa kau masuk ke dalam rumah? Setahuku, aku mengunci pintu semalam."

"Oh, soal itu." Hinata menghela napas. "Ayahmu mengirimiku pesan, menyuruhku untuk ke rumah untuk menjagamu karena mereka masih tidak bisa pulang. Dan, yah, dia memberitahuku letak kunci serep yang ia simpan di bawah pot bunga," jelasnya.

Seketika, Asuna tersedak makanan sendiri. Dengan cekatan, Hinata menuang air putih ke dalam gelas dan menyerahkannya pada Asuna.

"Pelan-pelan!" tegurnya, khawatir.

Asuna meminum air tersebut, lalu mengatur napasnya. Ia kemudian menatap sebal Hinata. "Sudah kuberitahu, jika mereka meneleponmu, jangan pernah menjawabnya!"

"Kau tidak boleh begitu, Asuna. Mereka tetap orangtuamu. Aku yakin, jauh di lubuk hati mereka, mereka masih mengkhawatirkanmu," balas Hinata santai. "Lagipula, aku bisa menghilangkan imej sopanku jika aku melakukan apa yang kau suruh."

"Hinata, kau tidak tahu kehidupanku," tandas Asuna, mendengus. "Kekhawatiran mereka hanya sebagai keformalan semata bahwa mereka masih ingat jika memiliki keluarga dan anak."

"Terserah padamu, Asuna," sahut Hinata malas. "Aku tidak ingin membahas masalah pribadimu di sini. Itu sangat tidak penting!"

Asuna tahu, bahwa mulut Hinata tak bisa dikontrol.

Asuna tahu, bahwa sifat Hinata memang seperti itu.

Asuna tahu, bahwa Hinata cenderung cuek dengan perasaan orang lain.

Asuna tahu betul.

Namun, mendengar Hinata mengatakan bahwa masalah keluarga Asuna sangat tidak penting, entah kenapa, membuat hati Asuna seperti terlilit.

Asuna tertawa hambar, menyuapkan makanannya dengan tidak nafsu, sambil bergumam, "Yah, itu sangat tidak penting."

***

"Aku pulang dulu, ya!"

Seruan Hinata dari pagar rumah hanya ditanggapi Asuna dengan senyuman kecil. Melambaikan tangan sembari memperingati Hinata untuk berhati-hati.

Kemudian, Hinata pun pergi bersama dengan sepeda gunungnya.

Asuna menghela napas panjang, lega dengan kepergian Hinata. Selang beberapa detik, Asuna segera menutup pintu rumah, lalu kembali ke kamarnya. Asuna duduk di kursi meja rias yang terletak di ujung ruangan, menatap lamat pantulan wajahnya yang pucat di cermin.

Tanpa sadar, Asuna menggigit bibir bawahnya. Tangannya membuka laci meja belajar, mengambil botol obat berupa kapsul yang selalu ia sembunyikan di antara barang-barang kecil serta kumpulan kertas.

Asuna membuka botol berukuran mini itu, mengambil dua kapsul bewarna putih dari dalam. Membuang napas, Asuna pun memasukkan dua kapsul tersebut ke dalam mulutnya sekaligus, kemudian menelannya. Setelahnya, Asuna meraih gelas kaca yang selalu ada di meja rias, dan meneguknya hingga tersisa seperempatnya saja.

Asuna tidak merasakan apa-apa.

Lidahnya seperti sudah mati rasa dengan pahitnya obat terkait.

Obat yang selama ini membantu mempertahankan hidupnya hingga saat ini.

////

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now