07 |

81 3 0
                                    

Gedung Nomania lokasi Kontes Festival Biola Tokyo 2016 digelar tampak sangat ramai ketika Asuna dan Hinata melangkah masuk melewati pintu kaca yang dapat terbuka secara otomatis.

Bibir Asuna menghela napas. Butiran-butiran salju hari ini sudah mulai sedikit dibanding kemarin. Dan karena alasan itu, Asuna memilih untuk hanya memakai jaket tebal saja, tanpa syal. Tangan kiri Asuna bergerak memperbaiki letak tas biola yang ia sampirkan di bahu kanannya.

Baru saja Asuna dan Hinata hendak berjalan menuju tangga yang akan menghubungkan mereka ke ruangan ganti di lantai dua, sebuah suara terdengar, membuat kepala keduanya tertoleh. Satu mendengus. Satu tersenyum lebar.

"Asuna!"

Teriakan itu berasal dari Sugu. Di belakang perempuan berambut hitam terkait, ada dua laki-laki yang membuat hati Asuna—entah kenapa—menjadi hangat dan perasaan lega langsung hinggap.

"Aku kira kalian akan terlambat," ucap Asuna. Lalu, matanya menatap Sugu. "Ah! Aku merindukanmu, Sugu!" gumamnya sambil memeluk gadis berambut bob itu singkat.

Sugu tersenyum, manis sekali. "Aku juga, Asuna." Sugu kemudian memandang secara bergantian Kirito dan Kaneki yang masih di belakangnya. "Mungkin sebenarnya kita terlambat. Namun, aku terus memaksa Kaneki untuk menghentikan pekerjaannya hari ini. Dan, yah, kami singgah di rumah Hachiya untuk membeli bunga."

"Bunga?" Asuna menautkan kedua alisnya, lantas menatap Kaneki. Detik berikutnya Asuna pun tersadar bila laki-laki yang mengenakan celana jins dan baju kaus berlengan pendek itu tengah memegang sebuket bunga lili.

"Eh?" Kaneki seketika gugup. Semua mata terpusat ke arahnya, ke bunga, lalu ke arahnya lagi. Mata Kaneki menatap kesal Sugu. Niatnya, ia ingin memberikan bunga ini setelah Asuna selasai bermain. Namun, ia terlupa akan Sugu dan sejuta kepolosan perempuan itu. Dengan berat hati pun, Kaneki menghela napas, menetralkan detak jantung yang kini tengah berdegup kencang dan tak beraturan.

Perlahan, Kaneki mendekat dan mengulurkan tangannya yang memegang sebuket bunga pada Asuna. "Ini untukmu. Semoga kau bermain dengan hebat, dan membuat semua juri menatapmu kagum. Tolong ... terimalah!"

Pipi Asuna mendadak memerah. Dia menggerakkan bibir, hendak mengucapkan sesuatu. Namun, hal itu harus tertunda akibat Hinata tiba-tiba menerobos di antara mereka dan mengambil bunga tersebut. "Aku mewakili Asuna untuk mengambil bunga ini," ucapnya lantang, dan juga santai. Tanpa mempedulikan Kirito, Sugu, dan Asuna yang terperangah akan sikap tidak sopannya itu.

"Maafkan aku, semuanya. Tetapi, aku dan Asuna harus buru-buru menyiapkan segalanya. Kontes sudah akan dimulai." Senyum Hinata dipaksa tertarik. Ia kemudian berbalik dan menggiring tubuh Asuna untuk menaiki anak tangga. Namun, di anak tangga yang ketiga, Hinata berhenti, lalu menatap Sugu, Kirito dan Kaneki kembali. "Tunggu aku di tribun C, ya!"

***

"Kau terlalu berlebihan, Hinata." Asuna menegur halus ketika masuk ke dalam ruang ganti. Hinata yang ada di belakangnya, masih setia memegang buket bunga lili pemberian Kaneki, sesekali menghirup wanginya.

"Aku hanya melakukan apa yang disuruh oleh naluriku, Asuna. Kau terlalu lama mengambilnya. Kautahu, aku sangat iri dengan wajah si Kaneki sialan itu," balas Hinata, membela diri, sambil meletakkan bunga tersebut di atas meja rias.

"Ya, ya, ya. Kau selalu seperti itu, dasar tsundere," sindir Asuna, duduk di kursi, setelah menyimpan tas biolanya di atas sofa.

Mendengarnya, Hinata mengeryit tidak suka. Kesal dengan dengan sindiran telak Asuna. Ia memilih duduk di sofa sambil melipat kedua tangannya di depan dada, bersedekap. Asuna melirik Hinata dari ekor matanya, lalu menghela napas berat.

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan cantik dengan rambut yang disanggul membuka pintu ruang ganti Asuna dan masuk dengan sebuah manekin yang memakai sebuah gaun yang Asuna tebak akan dipakainya.

"Yuuki Asuna?" Perempuan itu bertanya, memastikan nama Asuna.

Asuna mengangguk pelan. Matanya masih memandang gaun yang dibawa oleh perempuan itu dengan kagum. Asuna sama sekali tidak tahu bila gaun yang akan dikenakannya akan seanggun ini. Karena seumur hidupnya, kontes-kontes sebelumnya hanya mensponsori para peserta dengan gaun yang sederhana. Bukannya Asuna ingin membanding-bandingkan, tapi, yah, sekarang Asuna melakukannya.

"Ini gaun milik Anda. Anda akan tampil tiga puluh menit lagi." Perempuan itu memberitahu. Asuna masih terdiam di tempat. "Kalau begitu, saya permisi," lanjutnya, lalu keluar dari ruang ganti Asuna.

Menyadari hal itu, Asuna buru-buru bangkit dari tempatnya dan mengejar perempuan bermata biru gunmetal itu.

"Hei! Maksudku, Kak!" teriaknya.

Perempuan yang dipanggil lantas menghentikan langkahnya dan berbalik. Melihat itu, Asuna segera mendekat.

"Ada apa, Nona?"

Asuna menggigit bibir bawahnya. "Apa kau yakin gaun itu untuk kupakai?"

Perempuan itu mengangguk, terlihat bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan Asuna.

"Tapi, apa kau yakin menyuruhku memakai gaun tersebut di saat suhu udara sangat dingin?"

Sebuah senyuman hangat Asuna dapatkan. "Tenang saja, Nona," katanya. "Penghangat ruangan akan dinyalakan."

"O-Oh, begitu?" Asuna manggut-manggut. "Terima kasih, Kak."

"Tidak apa-apa, Nona," balasnya, lalu berbalik pergi.

Sepeninggalan perempuan berwajah anggun itu, Asuna segera kembali ke ruangannya dan tersenyum lebar melihat gaun elegan yang akan ia kenakan.

"Gaunnya sangat cantik," komentar Hinata, membuat Asuna menolehkan kepalanya, terkejut. "Kenapa? Kau kira aku sudah pergi?"

"Tidak seperti itu, Hinata," ujar Asuna.

"Terserah." Hinata berdiri dari duduknya, mendekat ke arah Asuna, lalu berucap, "Berkonsentrasilah, dan mainkan biolamu dengan melibatkan hatimu. Aku jamin, para juri akan memenangkanmu."

Kemudian, Hinata pun keluar dari ruangan. Meninggalkan Asuna seorang diri yang akhirnya menarik senyum simpul.

"Terima kasih, Hinata."

////

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now