20 |

72 3 30
                                    

"Ah! Selamat datang Desember!"

Hinata berucap dengan senyum di wajahnya. Hari ini, hari Selasa. Dan sekolah musik libur karena sebuah kegiatan. Hinata turun dari kasur, lalu ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu, ia pun turun ke bawah untuk sarapan bersama orang tuanya.

Namun, ketika baru menginjak lantai bawah, matanya melotot. Di antara Mama dan Papa duduk, di sana ada Asuna. Sekali lagi, Asuna. Hinata mengucek matanya, ragu jika yang dilihatnya bukan kenyataan. Bukan apa-apa. Tapi Asuna sangat anti ke rumah Hinata dengan alasan takut dengan Papanya yang berstatus seorang anggota militer.

"Hinata-chan! Akhirnya kau bangun juga! Ini sudah jam delapan!" Suara Mama menarik kembali Hinata ke dalam alam sadarnya. Dengan ragu, ia pun mendekat dan duduk di kursi makan.

"Asuna? Sejak kapan kau di sini?" tanya Hinata, tidak menghiraukan teguran Mama.

Bukannya Asuna yang menjawab, Papa justru membuka suara di selingi decakan. "Ck! Kau yang membuat janji menyuruh Asuna-san untuk datang jam lima pagi, namun lihat sekarang! Kau malah bangun jam delapan. Benar-benar." Papa meminum air mineralnya, lalu melanjutkan. "Lain kali jangan seperti Hinata, kau membuat Asuna repot."

Hinata meringis. Bagaimana bisa ia melupakan janjinya? Sial! Hinata pun meminta maaf kepada Asuna yang ditanggapi langsung dengan senyuman dan ucapan tidak apa-apa.

Kemudian, Hinata pun mengambil piring yang ada di tepi meja, mengambil nasi dan seekor ikan yang telah digoreng. Hinata lalu menempelkan kedua telapak tangannya di depan wajah, dan bergumam, "Selamat makan!"

***

"Bagaimana? Bagaimana? Kemarin mengasyikkan, ya?"

Hinata bertanya antusias dengan tangan yang sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut.

Asuna yang tengah mengeluarkan biolanya, menoleh dan menatap bingung Hinata yang sedang bersender di dinding kamar.

"Apa maksudmu?"

Hinata memutar bola matanya. "Jangan pura-pura bodoh. Kau mengerti jelas dengan apa yang kumaksud."

Asuna berdecak. "Tapi memang itu kenyataannya. Aku benar-bebar tidak tahu apa yang kau maksud."

"Ck! Ini tentang kencanmu—tunggu apa ini memang bisa disebut dengan kencan atau bukan, ah persetan!—dengan Kirito kemarin," jelas Hinata pada akhirnya.

Sukses membuat Asuna yang sedang mengecek biolanya terdiam. Tentang itu lagi. Asuna sedang tidak ingin membalasnya. Namun melihat mata Hinata yang berbinar, Asuna menghela napas. "Cukup menyenangkan."

"Benarkah?!"

Asuna hanya berdeham.

"Dasar! Kalian benar-benar selingkuh ya di belakang Sugu?" ceplos Hinata, tanpa peduli dengan ekspresi wajah Asuna yang berubah drastis.

Asuna kemudian menghela napas kembali. Menatap Hinata dengan kesal. "Jangan membahas ini. Tujuanku ke rumahmu untuk latihan. Jangan mengacaukan rencanaku, oke?"

Hinata memutar bola matanya. "Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Memangnya kau ingin membawakan instrumen apa?"

Mendengar itu, Asuna menampilkan cengirannya. Membuat Hinata mendengus. "Sampai kapan kau bergantung denganku?"

"Tidak selamanya pastinya. Mungkin sekitar satu bulan atau dua bulan? Aku juga tidak tahu."

Hinata memincingkan matanya. Menatap Asuna dengan was-was. Perkataan Asuna sangat ambigu di telinga Hinata. "Apa maksudmu?"

"Bukan apa-apa. Aku hanya asal bicara. Ayo, carikan saja aku instrumen yang tepat untuk kubawakan Sabtu ini!"

Hinata mengangkat alisnya satu, merasa belum puas dengan balasan Asuna. Saat Asuna meliriknya dan bertanya ada apa, Hinata hanya menggeleng dan menghela napas. "Baiklah. Tunggu dulu. Akan kucarikan."

Dan Asuna hanya tersenyum.

***

Nyatanya, hari ini Asuna tidak bisa konsen untuk latihan. Nada dalam permainannya selalu salah membuat Hinata sesekali menghela napas, mendengus, hingga mengomelinya. Asuna hanya menggigit bibir bawahnya. Mencoba membuang jauh-jauh pikirannya tentang perkataan Dokter Gin semalam.

"Kau harus memberitahu orangtuamu tentang penyakit ini." Gin menatap Asuna sedih. "Penyakitmu akan bertambah parah, Asuna. Sudah kubilang, jangan menyembunyikan masalahmu sendiri. Orang lain berhak untuk tahu." Ia berhenti, menghela napas. "Ini juga demi kesehatanmu."

Asuna sebenarnya sangat enggan untuk menemui Gin kemarin malam, karena ia tahu, jika ia pergi, akan selalu ada kabar buruk dan menyedihkan yang membuat hatinya sakit. Asuna hanya terpaksa. Semalam penyakitnya kambuh lagi. Jantungnya terasa seperti ingin copot. Tidak seperti biasa, kali ini ia seperti ingin mati. Terlalu sakit. Makanya, setelah meminum obat dan rasa sakitnya mereda, Asuna segera menemui Gin di rumah sakit. Dan dia langsung diceramahi Gin perihal penyakitnya yang ia sembunyikan. Lalu, Gin memberinya resep obat yang baru.

"Asuna! Konsentrasilah!"

Bentakkan Hinata membuat Asuna terkesiap. Asuna menghentikan permainannya. Dan menatap Hinata dengan pandangan yang Hinata tak mengerti.

"Hinata... apa sebaiknya aku keluar? Aku... Aku sepertinya tidak bisa. Entah apa yang terjadi, tetapi aku merasa aku sangat sulit untuk berkonsentrasi." Asuna menunduk dalam. Enggan menatap Hinata yang kini tengah terkejut dengan pernyataan Asuna barusan.

"Bodoh! Bodoh! Asuna bodoh!" Hinata tentu marah. Asuna sudah memprediksinya. "Asuna! Ada apa dengan dirimu?!"

Plak!

Tanpa Asuna sangka-sangka, Hinata menampar pipinya. Keras. Hingga dapat membuat sudut bibir Asuna berdarah. Asuna terkesiap. Hinata... Asuna mendongak, menatap Hinata. Belum sempat ia protes, Asuna langsung tertegun ketika melihat manik mata Hinata.

Tenggorokannya mendadak tercekat. Hinata kecewa padanya.

"Asuna... apa yang membuatmu berpikiran bodoh seperti ini?! Mana dengan mimpimu yang ingin menjadi biolis terkenal?! Mana impian bodohmu itu? Apa kau sudah melupakannya, huh?! Jangan sampai perkataanku yang selama ini aku ucapkan, menjadi kenyataan! Kau masih ingat, kan, apa yang selalu aku katakan? Bahwa itu adalah suatu hal yang mustahil!" Hinata mengambil napas. "Sejak kapan kau menjadi pesimis seperti ini?! Yuuki Asuna tidak seperti ini!" Ia kemudian menatap Asuna lekat. "Apa ini karena Kirito atau siapa pun itu?"

Asuna menggeleng cepat. Ini tak hubungannya dengan siapa pun. "Bukan seperti itu..."

"Jadi karena apa? Karena penyakitmu, iya?!" bentak Hinata, tanpa sadar menanyakan hal itu.

Asuna kembali tertegun. Bentakkan Hinata mampu membuat seluruh tubuhnya menegang. Matanya membesar. Atsmofer yang ada di kamar Hinata mendadak berubah drastis.

"Hinata..."

"Aku tahu itu, Asuna! Aku tahu! Aku tahu semuanya, Asuna! Aku tahu tentang penyakit sialan itu yang kini membuatmu pesimis!" Tanpa sadar, air mata telah menetes dan membanjiri pipi Hinata. Sekali lagi, melihat itu, tenggorokan Asuna tercekat. "Jadi karena itu juga, ya, kau mengatakan kalimat ambigu seperti tadi? Satu bulan? Dua bulan? Omong kosong! Kau tidak akan mati! Kau... Kau akan menjadi biolis terhebat, Asuna!"

Asuna memegang biolanya kuat-kuat. Air matanya juga telah menetes sejak Hinata menamparnya.

"Maafkan aku..."

"Jangan meminta maaf!" teriak Hinata frustrasi. Detik berikutnya Hinata menatap Asuna. Lembut, tidak seperti sebelumnya. "Ada satu hal yang dapat membuat konsentrasimu kembali; selama memainkan biola, lupakan seluruh beban dan penyakitmu. Dan percayalah, kau akan menyatu dengan musik."

"Hinata..." Diraihnya Hinata ke dalam pelukannya. "T-Terimakasih banyak! M-Maaf aku menyembunyikan rahasia besar ini padamu," katanya dengan perasaan bersalah yang amat besar.

Hinata mengangguk.

Asuna mengurai pelukan.

"Tapi... darimana kau tahu hal ini?" Tanya Asuna dengan suara pelan.

Hinata mengelap air mata dengan punggung tangannya. "K-Kau tidak tahu?"

Masih dengan suara pelan, Asuna kembali bertanya, "Apa?"

"Gin. Doktermu. Ia adalah sepupuku."

////

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now