24 |

57 3 0
                                    

Gin dan Asuna berbicara sebelum yang laki-laki kemudian keluar dari ruang rawat.

Gin meninggalkan Asuna yang kini tengah terduduk di brangkar sambil meremas kuat-kuat ujung selimutnya. Ia menunduk dan air matanya terjatuh. Tetes demi tetes. Hingga akhirnya pipinya pun basah. Asuna terisak. Dalam gelapnya ruang rawatnya.

"Kau butuh pendonor. Demi hidupmu, demi orang-orang terdekat yang menyanyanyimu, aku mohon beritahukanlah penyakitmu pada orang tuamu. Aku memohon."

Asuna semakin terisak.

Mau berapa kali pun ia mencoba, ia tak akan bisa memberitahu orangtuanya. Asuna tak akan sanggup. Tidak akan pernah sanggup.

Apakah penyakitnya ini sudah terlalu parah, sampai-sampai Gin pun memohon padanya?

Sepertinya, iya.

Pintu terbuka, menampilkan figur Hinata yang tampak kacau. Hati Asuna seperti tercubit. Inilah yang Asuna benci.

Asuna memaksakan senyumnya untuk mengembang. Tanpa menghapus air matanya, Asuna melambaikan tangannya pada Hinata. "Hai."

Tangis Hinata pecah. Ia berlari mendekati Asuna dan memeluknya dengan erat. Asuna tertawa renyah. Dengan hati yang terasa seperti diremas, Asuna membalas pelukan Hinata. "Aku tidak apa-apa. Aku sudah tidak apa-apa."

Hinata semakin mengeratkan pelukannya. "Asuna... maaf!"

"Buat apa?"

"Ini pasti karena aku mengusirmu dengan Kirito," isak Hinata. "Aku sungguh minta maaf. Semua ini salahku!"

Asuna menguraikan pelukannya. "Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu. Jangan menyalahkan diri sendiri."

"Tapi.."

"Aku senang kau datang, Hinata."

Hinata menatap manik mata Asuna. Dan detik berikutnya, ia pun mencoba untuk tersenyum. Lalu memeluk Asuna dengan singkat.

***

Semenjak kejadian Gin dan Hinata memberitahu penyakit Asuna di Jembatan Koi, Sugu tak bisa berhenti menangis. Merasa dirinya orang paling jahat. Kirito selalu ada di sampingnya, menenangkannya.

"A-Aku ingin menjenguk Asuna, Kirito! Biarkan aku menjenguknya!" Sugu merengek seperti sebelum-sebelumnya. Kirito yang melihatnya hanya bisa menghela napas berat karena lelah. Ia mengusap-ngusap rambut Sugu lembut.

"Kita akan menjenguknya," kata Kirito. "Tapi nanti."

Tangis Sugu semakin kencang. "Aku. Ingin. Menjenguknya. Sekarang!"

"Sugu..."

"Jenguk atau kita putus!"

Mata Kirito melebar. "Jangan mengancam!"

"Itu bukan ancaman, aku hanya memberimu pilihan!"

Kirito menghela napas. "Nanti saja Sugu. Kau tidak dengar apa mereka? Kita tidak boleh menjenguknnya dulu. Asuna butuh waktu untuk sendiri. Aku janji, jika Asuna sudah merasa lebih baik, kita akan menjenguknya. Aku berjanji."

Sugu menatap Kirito lama, mencari kepastian. Sugu menarik ingusnya, lalu menarik ujung baju Kirito. "Sungguh?"

Kirito mengangguk mantap. "Iya, aku janji."

***

"Bagaimana?"

Kaneki bertanya resah ketika Hinata keluar dari ruang Asuna. Hinata menatap Kaneki sekilas sebelum menghela napas panjang.

"Dia terlihat kacau dan lebih banyak diam," kata Hinata. Tenggorokannya tercekat. "Dia hanya butuh seseorang untuk menjadi topangan saat ini."

Hinata kembali menatap Kaneki.

Walaupun hati Kaneki hancur, karena dia ingin menjadi orang yang dimaksud oleh Hinata, Kaneki pun akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.

"Hubungi dia."

////

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now