21 |

62 2 0
                                    

Tak ada yang lebih mengagetkan ketika bel rumah Hinata berbunyi dan menampakkan sosok Kirito dengan wajah cemasnya.

"Kirito?" Hinata bingung. Tumben sekali Kirito datang ke rumahnya. "Ada apa?"

Kirito menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Ia hanya gugup. "Engg... Apa Asuna ada?" Tanyanya pelan.

Hinata mengernyitkan keningnya. "Untuk apa? Asuna sedang latihan bersamaku."

"Aku hanya sebentar. Ada yang perlu kubicarakan dengannya," bujuk Kirito dengan wajah memelas.

Membuat Hinata menghela napas.

"Tunggu sebentar. Akan kupanggilkan dia." Hinata berbalik, ingin menemui Asuna, namun Kirito dengan cepat menahan tangannya. Tindakan itu membuat Hinata terkejut dan segera menepiskan tangan Kirito dengan refleks. Hinata tak suka disentuh oleh laki-laki. "K-Kenapa? Kau mengejutkanku!"

"Maaf," ucap Kirito. "Tapi jangan mengatakan bahwa aku yang akan menemui Asuna."

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan!"

Hinata memutar bola matanya. "Baiklah, baiklah."

Ketika punggung Hinata menghilang dari pandangannya, Kirito langsung menghela napas. Entah kenapa perasaannya menjadi lega. Tidak menunggu waktu yang lama, seseorang turun dari tangga. Membuat Kirito kembali gugup. Itu Asuna. Tanpa Hinata di belakangnya.

Namun Asuna belum menyadari kehadirannya. Barulah saat Asuna menginjakkan kaki di dasar lantai, Asuna membeku. Asuna ingin membalikkan badannya dan berlari kembali menuju kamar Hinata. Namun, ketika suara Kirito memanggilnya, Asuna mengurungkan niat pengecutnya itu.

Asuna berjalan keluar pintu dan menemui Kirito dengan degup jantung yang masih berdebar. Sial. Kenapa perasaan ini tak mau berubah? Ini... Menyakitkan!

"Ada apa?" Asuna bertanya, menundukkan kepalanya, enggan menatap wajah Kirito.

"Asuna..." panggil Kirito dengan lembut.

Asuna rasanya seperti ingin berteriak dan menutup kedua telinganya. Asuna tidak ingin Kirito memanggil namanya dengan seperti itu. Sebab suara lembut Kirito saat mengucapkan namanya selalu membuat Asuna semakin berharap. Semakin berharap jika Kirito akan membalas perasaannya.

"Aku tidak punya banyak waktu, Kirito. Aku harus latihan. Perlombaannya semakin dekat dan permainanku masih kacau," kata Asuna, ia seberusaha mungkin membuat suaranya menjadi datar.

"Asuna..." Kirito menelan ludahnya. "Maafkan aku."

Asuna berdecak. "Kau sudah mengatakannya ke—" Asuna mendongakkan kepalanya dan kalimatnya terhenti karena melihat pipi Kirito yang bewarna ungu. "Kirito! Ada apa dengan wajahmu?!" tanya Asuna cemas. Kekesalannya seakan langsung hilang hanya karena melihat lebam itu. Asuna dengan refleks menyentuh pipi Kirito. Membuat Kirito meringis.

"M-Maafkan aku!" Asuna menjauhkan tangannya. Namun Kirito segera menangkap tangan Asuna. Membuat Asuna terkejut. Ia melihat tangannya yang dipegang oleh Kirito dengan pipi yang memerah serta degup jantung yang sudah tidak dapat ia kontrol ritmenya.

Asuna tidak menepis tangan Kirito. Asuna masih terdiam. Detik berikutnya, pandangannya ia alihkan ke mata Kirito, dan Asuna langsung menyesal telah melakukan itu. Ia kembali terjebak ke dalam mata hitam Kirito. Asuna meneguk ludah susah payah. Tanpa sadar, Asuna menahan napasnya selama beberapa saat.

"Aku salah," Kirito kembali bersuara. Asuna mengerjapkan matanya. "Dan aku ke sini ingin meminta maaf padamu," lanjutnya.

Asuna menggigit bibir bawahnya. Payah! Selalu seperti ini. Selalu saja Asuna luluh pada Kirito beserta tatapan mata laki-laki itu. Hingga detik ini pun, Asuna tidak dapat marah dengan Kirito. Bahkan saat cowok itu tidak mengucapkan kata maaf, Asuna sudah memaafkan Kirito dengan senang hati. Asuna tahu itu bodoh, tapi Asuna suka dengan kebodohan yang ia lakukan.

An Instrument In DecemberOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz