30 |

89 3 1
                                    

   "Terima kasih untuk hari ini, Kirito." Asuna tersenyum sangat lebar ketika Kirito baru saja menurunkannya dari gendongan karena keduanya telah sampai di depan rumah Asuna.

   Kirito balas tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku juga senang. Melihatmu menjadi bintang hari ini, membuatku sedikit bangga menjadi sahabatmu."

   Asuna memincingkan matanya. Wajahnya berubah murung. "Sedikit?" ulangnya, meminta penjelasan Kirito.

   Yang laki-laki meringis. "Baik, baik. Aku sangat bangga menjadi sahabatmu."

   Senyum kembali mengembang di wajah Asuna. "Anak pintar," pujinya sambil menepuk-nepuk pelan kepala Kirito.

   "Asuna!" pekik Kirito tertahan. "Sebaiknya kau masuklah. Saljunya sudah semakin banyak. Suhu udara juga semakin dingin."

   "Tapi..." Asuna masih ingin bersama Kirito. Lebih lama lagi.

    "Asuna," Kirito melembutkan suaranya. "Kau bisa sakit."

    Pipi Asuna memerah. Ah, Asuna semakin ingin Kirito menjadi miliknya! Namun, secepat mungkin, ia mengusir jauh-jauh pikiran itu dari pikirannya. Asuna tidak ingin terlalu berharap. "B-Baiklah," katanya.

    Asuna pun membuka pagar dan melangkah masuk. Bukannya segera masuk, Asuna berhenti sambil tangannya memegang pintu pagar. Ia menatap Kirito dengan tatapan memelas. Berharap laki-laki bernetra abu-abu itu lebih lama lagi di rumahnya, bersamanya.

    Kirito menghela napasnya. "Masuklah. Aku ingin pulang. Ini sudah larut."

    Wajah Asuna cemberut. Dengan setengah hati, Asuna menutup pagar dan segera masuk ke dalam rumah setelah membalas pamitan Kirito.

    Asuna mengerutkan pelipisnya ketika mendengar suara TV yang dinyalakan. Jantung Asuna berdegup kencang, mulai berpikir aneh. Asuna menelan ludahnya. Dengan hati-hati, ia mulai melangkah dengan pelan menuju ruang tengah. Matanya melotot ruangan yang sangat berantakan itu, disusul suara tuangan air di gelas dari dapur.

    Asuna masih mematung, ketika seseorang melangkah dari dapur. Asuna mendongak, penasaran dengan siapa yang berada di rumahnya. Jantungnya yang tadi berdegup dengan cepat, kini seperti berhenti.

     "Kau sudah pulang?"

     Sepuluh langkah dari tempat Asuna berpijak, Ko ada di sana, sambil meminum jus jeruk.

***

    Emosi Asuna campur aduk kala melihat perempuan yang tak jauh dari hadapannya. Dadanya bergemuruh. Masih teringat dengan jelas saat ibunya membawa masuk pria hidung belang ke rumah ini.

     Asuna mengepalkan tangannya di samping sisi badan. Matanya menatap datar ibunya. Sekuat tenaga. Airmatanya ia tahan sekuat tenaga.

    "S-Sedang apa di sini?" tanya Asuna pelan.

    Ko menghabiskan jusnya lantas menaruh gelas yang telah kosong di atas meja yang dekat dari jangkauannya. "T-Tentu saja untuk melihat perkembangan anakku." Ko mencoba tersenyum.

    Mendegar hal itu, Asuna terbahak dalam hati. Perkembangan? Melihat? Astaga. Apa ibunya sedang bercanda saat ini? Sunggu lucu. Asuna tersenyum miris. "Ibu sudah melihatnya. Sekarang...." Jangan menangis, Asuna! "Bisakah ibu keluar dari rumah ini?"

    Bisa Asuna lihat, Ko terkejut dengan ucapannya barusan. Bagaimana tidak? Asuna baru saja mengusir ibunya sendiri dari rumah secara halus!

    "Asuna!" Ko terlihat tidak suka.

    "Setelah yang ibu perbuat, apakah masih pantas datang ke sini hanya sekadar untuk melihatku?" Asuna tertawa gamang.

     "Jika ibu ingin tahu, aku tidak butuh ibu! Aku tidak butuh kalian! Aku tidak mau melihat wajah ibu!" Cukup. Asuna sudah tidak menahannya lagi. Air matanya luruh. Menatap Ko tepat di manik matanya. Berharap Asuna bisa menyampaikan rasa sakit dan tertekannya dia selama ini. Asuna... sedang mengadu pada Ko saat ini.

An Instrument In DecemberWhere stories live. Discover now