lakuna, senja, dan ia yang raib

288 28 2
                                    


baskara sebentar lagi pulang pada dekapan sang ancala, dan bumantara kini pun telah di dominasi oleh sang jingga. Sudah waktu senja, kata mereka.

Damai sekali ya rasanya, tatkala penat menjelma rehat, dan bising menjelma senyap. Kepala-kepala yang tersara-bara pun kini pulang selepas di tunggangi problematik yang luar biasa pelik.

Senja memang agaknya selalu sedamai ini, pun rasa-rasanya setiap senja datang menyapa, segala risau dan beban menguar bersama awan yang berarak lamban.

Namun, seperti ada yang kosong di balik damainya senja. Seperti ada lakuna yang menganga lebar namun di samarkan oleh rasa yang entah apa namanya.

Kalau boleh menerka-nerka, apa memang benar raibnya eksistensimu adalah penyebab lahirnya lakuna tersebut?

Ah agaknya benar. Sebab hastawara telah berlalu selepas raibnya kamu tanpa kabar. Yang dahulu senja selalu datang menyapa, dengan hadirmu di sisiku sebagai pelengkap, absolut buatku tak pernah merasa sepenuh ini.

Pun selepas semuanya berubah, tentangmu, dan senja selepas hari dimana kamu memilih raib. Kekosongan dan kehampaan seperti inilah yang selalu berumah pada hati yang porak-porandak.

Tragis sekali agaknya, tatkala aku yang belum sepenuhnya lapang dan kerap terombang-ambing akan kepastian yang abu-abu, pun masih berharap mimpi buruk seperti ini tidaklah menjelma realita.

Tapi mau bagaimana lagi, mimpi buruk ini nyatanya memang realita yang kerap menampar tatkala aku membuka mata tiap paginya.

Hei, untukmu yang kini tengah berkelana ke antah-berantah, aku cuman ingin bercerita jikalau renjana masih sering mampir mengisi lakuna yang menganga lebar. Terlampau sering mampir laiknya keluarga pasien yang kerap menjenguk kerabatnya yang sakit. Kadangkala aku risih tatkala lagi-lagi harus tenggelam pada lautan lara, tapi mau bagaimana lagi? Nestapa yang kau kirim lengkara untuk ku tolak eksistensinya.

Tapi tidak apa-apa, kau mungkin agaknya berani memasungku dengan nestapa hingga buatku samsara luar biasa hebatnya. Tetapi tolong ingat, kamu berhutang budi akan tabahnya atmaku yang tak gentar di terpa badaimu. Jikalau sewaktu-waktu kau pulang dan tak bersua apa-apa, izinku tak akan lagi ku beri padamu yang tak tahu diri.

Sila berumah pada lain hati. Rumahku sudah hancur porak-porandak, akan ku rekonstruksi teruntuk tuan yang baru, bukan untukmu. Tolong tanamkan baik-baik dalam kepalamu ya.

(senja, lakuna, dan ia yang raib)

nemu ini dinotes, lupa klo prnah nulis ini, lol.

dikekang nestapaWhere stories live. Discover now