Part26

66.4K 4.9K 184
                                    

Geby mengerjakan matanya, menatap sekelilingnya dengan pandangan memburam. Ia mendongak menatap langit-langit kamarnya untuk mengumpulkan seluruh kesadarannya yang masih berceceran. Geby ketiduran karena terlalu lelah menangis. Setelah kesadarannya telah terkumpul, ia merubah posisi menjadi duduk dan bersandar pada kepala ranjang.

"Udah jam tujuh aja," gumannya ketika melihat jam telah menunjukan pukul 19.02. Tangannya bergerak mengusap pipinya yang masih terdapat bekas menangis.Ia tersenyum miris, kenapa ia menangis? Sedangkan ayahnya telah bahagia dengan keluarga barunya. Tetesan demi tetesan kembali keluar dari pelupuk matanya, hatinya sakit seperti tercabik-cabik kala mendengar suara gelak tawa ayah dan juga keluarga barunya.

"Kenapa harus sesakit ini?" Ia mendongak, membiarkan air mata mengalir di pelipisnya. Ia butuh abangnya, hanya pada abangnyalah ia terbuka, menceritakan semua keluh kesah tanpa ditutup-tutupi, dan mungkin juga Alga, tapi itu sudah lama, sudah bertahun-tahun lamanya. Apa keadaannya akan sama seperti dulu, saat ia punya pacar yang possessive-nya tingkat dewa seperti Revan, apa ia masih bebas bercerita dan memeluk Alga seperti dulu. Rasanya gak mungkin.

Geby jadi teringat Alga, bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang? Apa sudah membaik? Akh, rasanya ia ingin menjenguk pemuda itu tapi apa boleh buat, Revan melarangnya. Ingin rasanya ia pergi diam-diam tapi ancaman Revan membuatnya takut. Laki-laki itu selalu punya banyak ancaman untuk membuat Geby diam tak berkutik.

Geby sedikit mengukir senyum kala mengingat Alga, ia begitu dekat dengan laki-laki itu sewaktu kecil. Bahkan, menginap di rumahnya Alga pun ia sering.

Lamunan Geby ambyar ketika ponselnya yang berada di ujung kasur berdering, menandakan sebuah panggilan masuk. Ia menghapus air matanya, menjilat bibirnya yang terasa kering. Dengan sedikit malas ia mengambil benda pipih kesayangannya yang terus saja berdering itu dengan menggunakan kaki jenjangnya.

"Mati gua, singa bangun lagi nih." Geby menelan ludah, nama "Sayang" terpampang jelas pada layar gadget-nya. Oh, astaga! Geby lupa memberi Revan kabar karena terlalu lelah menangis dan berakhir masuk ke dalam dunia mimpi.

Geby meringis melihat lima ratus pesan dari Revan dan 250 panggilan tak terjawab. Geby dengan cepat ia segera menggeser tombol berwarna hijau lalu mendekatkan ponselnya ke daun telinga. Mencoba mengatur detak jantungnya yang serasa ingin melompat. Gila, laki-laki itu hanya dengan menelponnya saja sudah membuatnya gelisah, apalagi ketika berada di dekatnya.

"Hal--" Geby mengumpat dalam hati ketika mendengar Revan yang tengah marah-marah di sebrang sana. Sepertinya laki-laki itu masih belum sadar jika panggilannya telah tersambung.

"Kamu kemana aja?! Kenapa baru diangkat?! Udah dari tadi aku telpon kenapa nggak di jawab?!"

Geby langsung menjauhkan ponselnya ketika Revan bertanya dengan membentak, walau terselip nada kekhawatiran di sana. Geby tau itu.

"Jangan-jangan kamu lagi deket-deket sama Reza ya?! Jawab!"

Dasar laki-laki itu, kenapa tak bisa lembut sedikit saja. Tapi jika dipikir-pikir, bagaimana Revan bisa menghubunginya. Bukanya Geby telah memblokir nomor Revan tadi siang?

Geby kembali mendekatkan ponselnya ke daun telinga, karena menurutnya tak baik jika terlalu lama mendiamkan Revan, itu akan menjadi masalah besar nantinya. Jika singa sudah mengamuk itu sangat berbahaya.

"Gebyta!"

"Iya-iya, iya!" Geby mengusap dadanya sabar. Ingin rasanya ia menenggelamkan Revan di Segitiga Bermuda agar tak bisa kembali lagi. "Aku ketiduran tadi." Geby menjawab jujur bukan? Dan semoga Revan percaya, karena jika tidak pasti tamat riwayatnya.

"Hm."

"Hm doang?!" Geby kesal ketika respon Revan hanya satu kata dua huruf.

"Terus maunya apa? Mau aku marah-marah?" Revan bertanya santai dari sebrang sana, sepertinya rasa kesal dan marah laki-laki itu telah sirna.

REVANO [END] |SEGERA TERBIT|Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin