42. putus?

58.7K 5K 1.9K
                                    


Woy, Anjing, Babi, Asu! Kalau elu baca cerita gua cuma mau buat Plagiat, mending jauh-jauh! Atau mau baku hantam aja kita? Punya otak dipakai! Gua santet mampus lu!

.
.
.

Revan meneguk segelas air dari dalam gelasnya. Ekor matanya melirik sang ayah yang tengah mengeluarkan dompet. Revan langsung menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut Tasya ketika Rafa meliriknya tajam. Hampir saja jantung Revan lompat dari tempatnya. Entah kenapa ia baru sadar bahwa tatapan ayahnya itu mematikan. Selama ini, Revan kemana saja?!

"Ayamnya, Bang!" Tasya yang berada dalam pangkuan Revan menunjuk ayam sambal yang terletak cukup jauh darinya.

"Ck, kamu kecil makannya banyak banget, Sya. Udah habis tiga paha masih nambah juga."

Revan mendumel, tapi masih tetap menuruti kata adiknya. Kurang baik apalagi dia sebagai abang? Makan sambil memangku dan menyuapi adiknya yang gila karena cogan.

"Ini uang saku kamu."Revan meletakkan satu lembar uang berwarna merah di atas meja membuat Revan menghela napas kecewa.

"Masa cuma seratus ribu sih, Yah? Serius dong! Nggak cukup kalo cuma segitu."

Febi yang melihat Revan hampir tertawa. Bagiamana pun jika memberikan hukuman, antara Febi dan Rafa masih mending Febi dari pada Rafa.

"Cukup, emang kamu mau beli apa? Lagian nanti sekolah pulangnya juga cepat, nggak sampai jam 12."

"Nggak cukup, Yah." Revan mengacak rambutnya frustrasi.

"Vani adikmu saja cukup."

"Diakan perempuan, kebutuhannya sedikit."

Mata Febi dan Rafa melotot. Sepertinya otak Revan terbalik. Jelas-jelas kebutuhan perempuan itu lebih banyak dari pada laki-laki.

"IQ kamu kayaknya udah mulai turun." Rafa bangkit dari duduknya. Langkah lebarnya membawa Rafa menuju ruang kerja.

"Bun ...." Revan merengek meminta bantuan, ia merasa bahwa uang seratus ribu tak akan cukup untuknya.

Sebenarnya Revan ini negatif thinking saja, padahal ia juga tak ingin membeli apa-apa. Untuk jajan di kantin pun, uang itu sisah-sisah.

"Ini kamu kasihkan ke Geby, buat ganti ponselnya yang kamu lempar di tengah jalan."

Rafa kembali bersama dengan satu Tote bag berisi sebuah ponsel untuk mengganti ponsel Geby, ia letakkan ponsel itu di hadapan Revan membuat Revan menatap ayahnya penuh selidik.

"Ayah masih nyuruh orang buat ngikutin Revan? Revan kan udah bilang, Revan udah besar dan nggak perlu yang namanya bodyguard!"

Rafa mendengus, tanganya meraih sang anak bungsunya untuk digendong. "Terserah ayah, lagi pula ayah yang bayar mereka, bukan kamu."

"Kok ayah jadi ngeselin sih?!"

"Udah, udah! Kok malah berantem. Kamu berangkat gih, udah siang ni. Nanti telat." Febi datang sembari membawa sebuah dasi yang kata anaknya tadi tidak ada.

"Loh, kok ada? Tadi Revan cari-cari nggak ada. Bunda sembunyiin ya? Bunda mah, gitu. Revan udah nyari-nyari jugak, kok malah disembunyiin?!"

Febi hanya diam tak menyahuti. Tangannya dengan cekatan mulai memakaikan dasi itu di kerah baju Revan. Revan saja yang kalau mencari sesuatu tidak pernah serius, jelas-jelas dasi itu menggantung di lemari, ia bilang tidak ada. Ingin mengumpat tapi anak sendiri, jadi umpatannya untuk Rafa saja yang menjadi semua sumber sifat buruk Revan.

Revan melirik Rafa melalui ekor matanya. Dalam hati ia tersenyum miring, balas dendam pada ayahnya yang paling mempan adalah melalui bundanya. Lihat saja, akan ia buat ayahnya itu kesal pagi ini.

REVANO [END] |SEGERA TERBIT|Where stories live. Discover now