BLL | 44

12.1K 1.1K 13
                                    

"KAMU PUNYA TELINGA, NGGAK?!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"KAMU PUNYA TELINGA, NGGAK?!"

"KALO AKU TERLAMBAT TADI GIMANA?! HAH?"

"DEMI TUHAN CA, KAMU HAMPIR KETABRAK!"

Ares terus mengoceh sembari membentak Bianca, tak peduli pandangan kosong gadis itu. Ia kalut melihat Bianca hampir saja tertabrak motor. Untung saja dirinya cepat menarik gadis itu, meski tubuh mereka harus menghantam mobil yang terparkir di depan kedai, hingga menimbulkan suara keras.

BUG!

Ares memukul keras kemudinya. "CA, JAWAB!"

Akhirnya, air mata Bianca lolos. Gadis itu masih shock, ditambah lagi memori dua tahun lalu yang sudah ia kubur susah payah, kembali muncul. Semakin lama, air mata Bianca mengalir semakin deras. Isakan mulai terdengar dari bibir mungilnya.

"Hiks..."

Ares menoleh saat mendengar isakan Bianca. Ketika itu juga, ia sadar dirinya terlalu keras tadi. Rasa bersalah langsung menyelimuti Ares. Tatapannya kembali melembut. Laki-laki itu menarik Bianca ke dalam pelukannya, membelai kepala Bianca lembut.

"Maaf udah bentak kamu," kata Ares. "Aku takut banget Ca ngeliat kamu hampir ketabrak tadi. Aku khawatir."

Bianca tak menjawab, gadis itu masih terus saja terisak dalam pelukan Ares. Ares membiarkan Bianca mencengkram seragamnya kuat-kuat, menyalurkan rasa takut yang melandanya.

"Hiks..."

"Maaf, maaf," Ares mengecup puncak kepala Bianca.

Cukup lama mereka berpelukan. Untungnya, Ares dan Bianca sudah berada di dalam mobil. Begitu berhasil menarik Bianca, ia bangkit, lalu menyeret Bianca ke dalam mobil, dan memarahi gadis itu habis-habisan.

Ares mencoba melepas pelukan mereka saat napas teratur Bianca terdengar. Ia membaringkan tubuh Bianca perlahan, menurunkan sandaran jok, memasangkan sabuk dengan hati-hati. Setelah memastikan Bianca aman, barulah Ares melajukan mobilnya, ke rumah Bianca.

***

"Ini masih permulaan. Saya akan benar-benar mencelakai gadis itu, bila kamu masih terus menolak Angel."

"Sampai kapan pun, aku nggak akan terima perjodohan itu. Lebih baik Papa cari cara lain untuk menyelamatkan perusahaan, jangan usik kebahagiaan aku dan Bianca karena ulah Papa sendiri."

TUTT!

Ares membanting ponselnya ke sofa. Laki-laki itu ingin sekali memaki-maki Gunadi di telepon tadi, namun ia sadar, ia tak boleh terpancing. Ia harus tetap terlihat tenang, agar Gunadi tak merasa menang.

Ares menghela napasnya kasar. Ia rindu kehidupannya di Surabaya bersama mamanya. Bayang-bayang wajah cantik nan pucat sang mama kembali terngiang di otaknya.

"Mamaaa!"

Ares kecil menangis keras saat mendapati tubuh mamanya terbujur kaku. Anak itu menggoyang-goyangkan tubuh kurus mamanya, berharap sang mama akan kembali membuka mata.

"Ma, nilai Matematika Ares dapet seratus. Mama udah janji mau bawa Ares jalan-jalan, kan? Mama harus bangun. Mama harus tepatin janji."

"Ares janji, Ares akan sering bantuin Mama masak. Ares akan jadi anak yang baik, Ares nggak akan nakal lagi. Ares mau jadi anak baik, Ma. Asal Mama bangun."

"Mama, Mama nggak sayang sama Ares lagi?"

"Mama cuma bobok, kan? Mama pasti bangun lagi. Iya kan, Ma?"

"Suster, Mama pasti bangun, kan? Mama nggak akan ninggalin Ares sendirian. Ares cuma punya Mama, Suster. Ares nggak punya siapa-siapa lagi. Tolong bangunin Mama, Sus."

"Maaf, Dik. Adik harus ikhlas, ya? Biar Mama tenang di sana."

"Di sana? Di mana, Sus? Ares nggak mau pisah sama Mama. Ares mau ikut kalo Mama pergi. Tolong bangunin Mama, biar Mama bantuin Ares beresin baju buat pergi. Ares belum bisa packing sendiri."

"Dik—"

"Sus, tolong bangunin Mama..."

"Maaf..."

"NGGAK, SUSTER NGGAK USAH MINTA MAAF. ARES MAU SUSTER BANGUNIN MAMA, BUKAN MINTA MAAF!"

Ares kecil terus histeris di samping mayat Adelia, mamanya. Saat itu ia belum tahu kalau sang mama meninggal karena penyakit mematikan yang menggerogoti tubuhnya. Adelia meninggal karena HIV/AIDS. Setiap hari, ia terus berpura-pura baik-baik saja di depan Ares. Hingga akhirnya, wanita itu tak kuat lagi. Adelia menghembuskan napas terakhirnya di umur dua puluh delapan tahun, saat Ares masih berumur delapan tahun.

"Ares..."

Suara lembut Bianca membuat Ares menoleh. Bianca tertegun melihat mata Ares yang memerah.

"Udah bangun?" tanya Ares. Bianca mengangguk. Ia berjalan mendekat, menangkup wajah Ares dengan kedua tangan mungilnya.

"Kamu habis nangis?" tanya Bianca.

Ares menggeleng cepat. Ia melepas tangkupan Bianca, lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

"Maafin aku udah bentak kamu tadi," ucap Ares. Ia bisa merasakan Bianca mengusap punggungnya, membuat laki-laki itu semakin menyembunyikan wajah di ceruk leher Bianca.

"Aku juga minta maaf, nggak dengerin kamu," balas Bianca.

Ares melepas pelukannya. Tatapannya langsung tertuju pada bibir pink Bianca yang tak terpoles apapun.

"Boleh?" tanya Ares. Bianca mengerutkan keningnya bingung.

"Maaf, nanti kamu boleh pukul aku," balas Ares, tak tahan lagi. Detik selanjutnya, Ares sudah menyatukan bibir mereka.

***

Angel mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, bibirnya mengerucut sebal. Ia bertekad akan menjambak rambut Rivaldo saat laki-laki itu tiba nanti!

"Maaf, gue terlambat— aw!"

Sesuai niatnya, Angel benar-benar menjambak rambut Rivaldo keras. "Berani-beraninya lo bikin gue nunggu! Lo pikir lo siapa, hah?! Lo terlambat dua jam, monyet!"

"Aduh, lepasin dong, cantik. Malu diliatin orang-orang, nih," Angel langsung melepaskan jambakannya, lalu menatap sekitar. Benar, semua orang di cafe ini sedang melihat mereka dengan tatapan terganggu.

"Duduk!"

Rivaldo menurut. Ia mengumpat berkali-kali, karena rambutnya yang sudah ia tata rapi, harus berantakan gara-gara Angel.

"Cepetan jelasin! Kalo rencana lo nggak jelas, abis lo di tangan gue!" kata Angel.

"Bentar, kali. Gue mau pese—"

"CEPETAN!"

Rivaldo meringis. "Iya, iya. Marah-marah mulu, keriput lo ntar," balas Rivaldo. Laki-laki itu menegakkan duduknya, lalu mulai menceritakan rencana yang sudah disusunnya.

Senyum licik Angel mengembang saat mendengar rencana brilian Rivaldo.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now