BLL | 8

28.2K 2.5K 41
                                    

Berita tentang status baru Arsa dan Bianca sudah menyebar luas di SMA Taruna

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Berita tentang status baru Arsa dan Bianca sudah menyebar luas di SMA Taruna. Bagaimana tidak, pagi-pagi saat mengantarkan Bianca ke kelas, Arsa mencium kening gadis itu tepat di tengah-tengah koridor. Sontak, semua yang melihat langsung terpekik kaget.

"Sayang, mau makan apa?" tanya Arsa, kelewat lembut. Ia menatap Bianca penuh cinta.

"Apa aja," jawab Bianca pelan. Sejak pagi, ia sama sekali tak bersemangat. Seharian kemarin ia habiskan untuk menangis, dan menangis. Gadis itu baru tertidur tengah malam.

"Kamu sakit? Ke UKS aja, gimana? Atau pulang?" Arsa terlihat begitu khawatir. Bianca tak banyak bicara hari ini.

"Nggak, cuma laper," balas Bianca. Arsa mengepalkan kedua tangannya, berusaha mati-matian untuk tak meninggikan nada bicaranya. Ia menghembuskan napas dalam, sebelum kembali tersenyum. Arsa menghentikan seorang laki-laki berkaca mata yang kebetulan lewat meja mereka.

"Beliin gue mie ayam dua, es teh dua. Ini duitnya, kembaliannya buat lo. Nggak pake lama, cewek gue laper!" perintahnya. Laki-laki itu mengangguk, mengambil selembar uang seratus ribuan yang disodorkan Arsa, lalu pergi.

"Sa, kebiasaan suka nyuruh-nyuruh!" gerutu Bianca kesal. Bukannya merasa bersalah, Arsa malah tersenyum makin lebar. Senyum yang hanya ia tunjukkan pada Biancanya.

"Akhirnya, kamu mau ngomong lebih dari tiga kata sama aku."

Bianca mendengus. Dalam hati, ia berharap teman-temannya yang lain bisa segera datang. Dan untungnya, doa Bianca terkabul.

"Eh, ada pasangan baru. Bos, traktir, dong! Pajak jadian," Brian menaik-turunkan alis tebalnya.

"Halah! Sok-sok an pajak jadian. Hampir tiap hari juga lo minta traktir," cibir Mars. Brian nyengir. "Kalo gitu hari ini spesial. Batagor gue dua porsi, ya?"

Tanpa berkata apapun, Arsa mengeluarkan dompet hitamnya dari saku, melemparnya ke meja. Brian langsung menyambar dompet mahal Arsa, lalu melompat dari bangkunya. Tak lupa ia menyeret Mars.

"Gan, lo mau nitip apa?" tanya Brian pada Reagan.

"Terserah," jawab Reagan singkat. Di antara keempat laki-laki itu, Reagan-lah yang paling dingin.

"Nenek Lampir?"

"PANGGIL GUE NENEK LAMPIR LAGI, GUE TENDANG LO KE NERAKA!" bentak Nela kesal. Brian tertawa puas melihat wajah Nela yang sudah merah padam. Ia yakin, Nela pasti sedang berusaha menahan diri untuk tak mengumpat. Ada Arsa, bahaya.

"Lo mau apa, La?" kali ini, Mars yang bersuara. Dari dulu, Brian dan Mars memang seperti kembar tak terpisahkan. Brian yang berbuat ulah, Mars yang selalu memadamkan amarah para korban Mars. Seperti Nela, contohnya.

"Apa aja, Mars," jawab Nela lembut. Tak ada yang tahu, kalau Nela menaruh hati pada Mars. Ia hanya pernah mengatakannya pada Bianca. Setiap habis emosi karena Brian, amarah Nela memang selalu padam bila Mars sudah bersuara.

"Cih, kalo sama Mars aja lo baik-baik. Sekali-kali lo ngomong lembut gitu dong sama gue, kali aja gue bisa suka balik sama lo."

"GUE NGGAK SUKA SAMA LO, NJING!"

PLETAK!

Arsa menyentil mulut Nela yang keceplosan mengumpat di depan Bianca. Nela mengusap bibirnya yang memerah. Sentilan Arsa sangat menyakitkan.

"Jangan bicara kasar di depan Ica!" ucapnya, menatap tajam Nela. Nela meringis. "Maap, keceplosan. Temen lo, tuh!" Nela menunjuk Brian yang sudah menjauh sambil tertawa puas.

"Sayang, jangan di dengerin, ya. Nggak baik ngomong gitu. Okay?"

"Aku bukan anak kecil lagi, Arsa," ucap Bianca kesal. Arsa selalu memperlakukannya seperti anak kecil.

Arsa hanya terkekeh, mencium pelipis Bianca penuh sayang. Tak lupa, tangan Arsa yang bertengger manis di pundak Bianca.

"YA ELAH, BANG! NGGAK KUAT GUE DI SINI! Kalo kata Brenda, gue tuh uwuphobia!" Brian yang baru saja kembali langsung protes.

"Lo sih, bisa-bisanya kalah sama adik sendiri. Brenda aja masih SMP udah punya gandengan. Lah lo?" cibir Nela.

"Gue juga ada, kok," ucap Brian percaya diri.

"Siapa coba?"

"Mars."

"Bangsat! Nggak usah deket-deket gue lagi lo!"

PLETAK!

Kali ini, Mars yang mendapat sentilan maut Arsa.

***

"Bi, nggak ada yang mau lo sampein gitu ke gue? Atau lo mau cerita barang kali," bisik Nela pada Bianca. Matanya tetap awas, takut-takut Bu Andien yang sedang mengajar di depan memergokinya sedang ngobrol.

"Cerita apa?" tanya Bianca.

"Lo keliatan lagi stres banget, tau. Baru jadian, tapi wajah lo kayak orang baru putus tau nggak."

"Nggak papa, emang lagi kurang tidur aja," balas Bianca. Gadis itu belum ingin menceritakan yang sebenarnya terjadi pada Nela. Bagaimana pun juga, Arsa adalah sahabat terbaiknya. Ia tak ingin membuat perspektif Nela terhadap Arsa jadi buruk.

"Huh, oke deh. Kalo lo mau cerita, gue siap dengerin, kok.  Tapi, lo nggak dipaksa Arsa buat pacaran, kan?"

Bianca menggeleng lemah, terpaksa berbohong. Kemarin, ia menjadi penentu hidup dan mati seseorang. Untuk gadis berhati lembut seperti Bianca, hal itu sangat membebaninya.

"Sip. G—"

"VANELA! NGOBROL TERUS YA KAMU! SINI MAJU, KERJAKAN SOAL DI DEPAN! KALAU NGGAK BISA, NGGAK BOLEH PULANG! "

"Mampus," gumam Nela, sebelum melangkah ke depan kelas. Belum maju saja, Nela sudah menyerah. Bu Andien memang terkenal dengan soal-soalnya yang sulit. Apalagi, ini pelajaran Fisika. Pelajaran yang belum masuk, sudah mental duluan dari otak Nela.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant