BLL | 10

28.6K 2.5K 32
                                    

Nela menghentak-hentakkan kakinya kesal memasuki kelas

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Nela menghentak-hentakkan kakinya kesal memasuki kelas. Raut wajahnya terlihat tak bersahabat sama sekali. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di bangku, membuat Bianca mengernyit bingung.

"Kenapa, La?" tanya Bianca akhirnya. Bianca yang asyik mengerjakan tugas, langsung menghentikan kegiatannya melihat tingkah aneh Nela.

"Tuh, Bu Andien! Pagi-pagi udah bikin bete aja. Lo tau, Bi? Gara-gara gue Fisika jelek banget, dia ngasih gue tutor buat ngajarin gue. Lo tau siapa orangnya?!" cerocos Nela. Bianca menggeleng.

"Brian si kampret! Aduh, ngebayanginnya aja udah gila gue! Gimana kalo gue beneran harus belajar sama dia tiga kali seminggu?!" omel Nela. Bianca hanya terkekeh. Nela dan Brian adalah dua lawan jenis yang tidak boleh disatukan.

"Ya udah, damai aja gih sana," usul Bianca. Nela malah menatap Bianca tajam. Belum sempat ia membantah, suara Brian lebih dulu menginterupsi.

"Eh, Nenek Lampir. Kenapa lo kusut gitu? Harusnya wajah lo tuh happy. Bersyukur dapet tutor seganteng gue! Eksklusif lho, Nek. Cuma lo doang yang gue iyain. Padahal Bu Andien udah lama nawarin gue jadi tutor."

"Happy mbah-mu! Udah sana! Jangan ganggu gue sekarang! Nggak mood gue liat wajah lo!" usir Nela. Brian tertawa puas, lalu pergi meninggalkan bangku Nela dan Bianca.

"Duh, coba yang jenius Fisika tuh si Mars. Tujuh kali seminggu juga gue iya-in! Kenapa harus si Brian, sih!"

"Ati-ati lho, La. Benci sama cinta tuh bedanya tipis," peringat Bianca.

"Amit-amit! Nggak bakal gue jatuh cinta sama titisan setan!" ucapan Nela membuat Bianca terbahak-bahak.

***

Bianca menoleh kekanan dan kiri, berusaha mencari tanda-tanda sosok Arsa. Saat dirasa aman, barulah gadis itu keluar dari ruang ganti. Namun belum dua langkah, sosok yang paling dihindarinya tiba-tiba muncul tepat dihadapannya.

"Eh, Arsa," Bianca menunjukkan cengiran manisnya. Laki-laki itu menatap Bianca tajam, saat mendapati kekasihnya keluar dari ruang ganti dengan baju olahraga.

"Sa, a—"

"Nggak boleh!"

Bianca mengerucutkan bibirnya sebal. "Sekali doang, Sa."

"Nggak."

"Pleaseee..."

"Jangan ngebantah!"

"Kali ini doang, janji nggak bakal lari-lari," mohon Bianca. Lagi-lagi ia harus kecewa melihat gelengan Arsa.

"Ih, kenapa, sih! Kaki aku kan udah nggak papa!" gerutu Bianca.

"Siapa yang tau? Pokoknya nggak boleh ya nggak boleh! Sana ganti!" Arsa masih kekeh dengan larangannya. Ia hanya tak ingin kaki Bianca kenapa-napa, mengingat kejadian dua tahun lalu.

"Sayang..."

Shit, batin Arsa. Baru saja Bianca memanggilnya 'sayang', lengkap dengan puppy-eyes. Mati-matian Arsa bertahan agar tidak luluh. Namun melihat ekspresi menggemaskan Bianca, akhirnya laki-laki itu mengangguk juga.

"Yes!" Bianca bersorak girang. Gadis itu hendak melangkah pergi, namun ditahan oleh Arsa.

"Aku temenin," ucapnya.

"Nggak usah, kamu masuk kelas aja. Udah kelas dua belas, jangan bolos mulu! Janji, nggak akan lari-lari."

"Aku temenin, atau nggak usah olahraga sekalian?!"

Bianca menghela napas, sebelum akhirnya mengangguk pasrah.

***

Tiga puluh menit berlalu, Arsa belum sedikitpun mengalihkan pandangannya dari Bianca. Gadis itu terlihat bahagia karena akhirnya, Arsa memperbolehkannya ikut olahraga lagi. Meskipun Bianca hanya bisa ikut pemanasan.

Dulunya, Bianca adalah tipe orang yang tidak bisa diam. Olahraga adalah salah satu mata pelajaran favoritnya. Saat masih SMP, Bianca sempat tergabung dengan tim basket sekolahnya. Namun sejak masuk SMA, Arsa melarang keras. Arsa tak ingin terjadi apa-apa pada kaki Bianca, mengingat kejadian dua tahun lalu.

Arsa terkekeh kecil saat melihat wajah murung Bianca melihat teman-temannya bermain basket. Ingin sekali ia memeluk gadis itu sekarang. Namun, tadi Bianca bilang tak ingin Arsa terlalu dekat dengannya. Ia ingin bersama teman-temannya, bukan Arsa. Setelah perdebatan panjang, akhirnya Arsa mengalah, dan memilih duduk di bawah pohon yang berada tak jauh dari lapangan.

Rahang Arsa mengeras saat tiba-tiba, bola basket menghantam keras kening Bianca. Gadis itu bahkan sempat oleng, untuk saja Nela dan Irene dengan sigap menopang. Tanpa menunggu lagi, Arsa melangkah mendekati kekasihnya, memeriksa keadaan Bianca.

"Kamu nggak papa?" tanya Arsa khawatir. Bianca menggeleng lemah. Kepalanya sangat pening sekarang. Gadis itu bahkan tak bisa menahan Arsa yang sudah berjalan menjauh dan  mendekati Austin, sang pelaku. Austin hanya bisa pasrah saat Arsa datang mendekat, dan mendaratkan sebuah pukulan telak di rahangnya.

BUG! BUG! BUG!

Satu pukulan, disusul pukulan-pukulan lainnya. Brian dan Mars serta Pak Rolan, guru olahraga langsung mendekati Arsa dan Austin.

"Sialan lo! Lo buta, hah?! Sampe cewek gue kenapa-napa, gue bunuh lo!"

Brian dan Mars berusaha menarik sahabatnya itu menjauh, dan Pak Rolan langsung meminta tolong siswa-siswanya untuk membopong Austin yang sudah tak berdaya menuju UKS.

"Nela, Irene, tolong bawa Bianca ke UKS. Dan kamu Arsa, ikut saya ke ruang kepala sekolah, sekarang!"

"Biar gue yang bawa Bianca," ucap Arsa. Pak Rolan yang hendak membantah, langsung menelan kembali kata-katanya saat melihat tatapan tajam Arsa.

Arsa menggendong Bianca ala bridal style, menuju UKS.

"Gue titip Nel, kalo ada apa-apa kasih tau gue," ucap Arsa pada Nela usai membaringkan gadis itu di brankar. Setelah merasa Biancanya aman, ia mencium kening Bianca, lalu melangkah pergi menuju ruang kepala sekolah, menyelesaikan urusannya.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora