BLL | 32

17.7K 1.7K 22
                                    

Ares mengerjapkan matanya beberapa kali

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Ares mengerjapkan matanya beberapa kali. Kesadarannya baru terkumpul separuh, saat ia merasakan pening hebat di kepalanya. Laki-laki itu mengerang pelan. Begitu kesadarannya terkumpul sempurna, Ares langsung mengedarkan pandangan, mencari keberadaan seseorang.

Sebuah senyum miris tersungging di bibirnya, saat ia tak menemukan siapa-siapa di sana. Gue pasti mimpi, batinnya. Padahal tadinya ia begitu yakin, gadis itu benar-benar di sini, semalam. Bahkan ia ingat saat ia memeluk lengan gadis itu, tak memperbolehkannya pulang. Merasakan usapan lembut gadis itu di kepalanya.

Kemudian, Ares mendengar seseorang membuka pintu kamarnya. Tubuhnya membeku saat melihat Bianca datang dengan membawa nampan berisi sarapan dan obat. Begitu melihat kedua mata Ares terbuka, Bianca buru-buru menghampiri Ares, meletakkan nampan di atas nakas, menyingkirkan handuk basah di dahi laki-laki itu, dan menempelkan punggung tangannya di sana.

"Panasnya udah turun," Bianca berjalan menuju lemari, mengambil kaus baru, lalu memberikannya pada Ares. "Ganti baju dulu, baju kamu basah."

Ares— yang masih tak percaya, hanya bisa menatap Bianca dalam diam. Kesadarannya seolah tersedot begitu saja karena kehadiran gadis itu. Mulutnya setengah terbuka, napas dan tenggorokannya tercekat.

"Kamu kenapa? Masih ada yang sakit? Masih pusing?" Bianca terlihat khawatir. Gadis itu kembali meletakkan punggung tangannya di dahi Ares. "Udah nggak panas, kok," gumamnya.

"Kamu beneran di sini?" tanya Ares. Bianca mengerutkan keningnya sejenak, sebelum tersenyum. Gadis itu mengangguk.

Detik itu juga, senyum Ares mengembang. Ia terduduk di kasurnya, menarik Bianca kedalam pelukannya secara tiba-tiba hingga gadis itu memekik kaget. Ares menghirup aroma rambut Bianca dalam-dalam.

"Aku minta maaf, aku salah. Aku bohong sama kalian. Aku nyakitin kamu. Kamu boleh mukul aku, kamu boleh maki-maki aku. Tapi tolong, jangan pergi lagi. Tiga minggu tanpa kamu, aku rasanya mau mati," ucap Ares bersungguh-sungguh. Ia bahkan tak bisa lagi menahan air matanya.

Mendengar isakan pelan Ares, Bianca mendongak. Matanya ikut berkaca-kaca saat melihat laki-laki itu menangis. Dua tahun lebih ia mengenal Ares, tak pernah sama sekali ia melihat air mata keluar dari kedua mata abu-abu itu.

Ya, Ares dan Arsa memiliki warna mata yang berbeda. Mata Arsa berwarna cokelat gelap, sedangkan milik Ares berwarna abu-abu terang. Selama ini, Ares menggunakan lensa kontak untuk menyempurnakan penampilannya sebagai Arsa. Ia baru tahu semalam.

Bianca mengangkat tangannya, memegang pipi Ares yang berkeringat karena demamnya. "Aku juga minta maaf, aku nggak pernah mau denger penjelasan kamu dulu. Kamu nggak salah. Kamu ngelakuin itu karena terpaksa, kan?"

Ares tercengang. "Kamu tau?"

Bianca mengangguk. "Ayo kita mulai semuanya dari awal. Apapun yang terjadi nanti, kita hadapi bareng-bareng. Kamu mau?"

Senyum Ares kembali merekah dari bibir pucatnya. Ia mengangguk cepat layaknya anak kecil, membuat Bianca terkekeh.

Bianca melepaskan pelukan Ares, membuat laki-laki itu langsung merasa kehilangan. Wajahnya berubah sendu. Kedua matanya terus memperhatikan Bianca yang berjalan ke pintu keluar. Detik itu juga, Ares langsung berteriak panik.

"Jangan keluar!" ucapnya. Mengabaikan rasa pusing yang menderanya, Ares bangkit, berjalan cepat menuju Bianca, lalu memeluk gadis itu erat, menuntunnya kembali ke kasur. Ares mengunci pergerakan Bianca. Kedua tangannya melingkari perut dan lengan gadis itu, kedua kakinya ia gunakan untuk mengunci kedua kaki Bianca agar tidak kabur.

"Jangan keluar, aku nggak mau kamu pergi lagi," ucapnya manja. Bianca sampai tercengang mendengar nada merajuk dari seorang Ares. Namun setelahnya, Bianca terkekeh.

"Kamu kan mau ganti baju. Baju kamu udah basah kena keringet," ucap Bianca. Ares menggeleng cepat.

"Kamu tetep di sini. Kan cuma ganti baju. Jangan pergi lagi, please."

Mau tak mau, Bianca mengangguk. "Lepasin dulu."

Dengan berat hati, Ares melepas Bianca. Ia mengganti bajunya dengan cepat, matanya tak lepas dari Bianca yang sedang berdiri memunggunginya.

"Udah," ucap Ares, membuang kausnya sembarangan. Bajunya benar-benar sudah basah kuyup. Sebenarnya Ares ingin sekali mandi, tapi ia takut Bianca pergi saat ia mandi nanti. Jadinya, ia hanya mengganti bajunya saja.

Bianca balik badan, lalu mengambil semangkuk bubur yang tadi dibawanya. "Makan dulu, setelah itu minum obat. Biar cepet sembuh."

"Suapin," ucap Ares. Bianca hanya bisa geleng-geleng kepala, lalu dengan telaten menyuapi laki-laki itu.

***

Satu hari sebelumnya...

Saat mobil yang dikemudikan Fajar tiba di rumah besar milik Govan, Bianca langsung melompat turun, dan bergegas naik ke lantai dua, menuju kamar Ares. Dengan gerakan pelan, Bianca membuka pintu, berusaha tak mengeluarkan suara.

Bianca berjalan mendekati kasur. Hatinya mencelos saat melihat Ares yang terbaring tak berdaya. Laki-laki itu menggigil, keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya. Bibir laki-laki itu bergetar. Ares juga bergumam tak jelas.

Mata Bianca menangkap makanan dan obat di nakas yang masih utuh. Gadis itu mengambil mangkuk berisi sup ayam dan sepiring nasi, lalu menuju dapur, untuk memanaskannya. Tak lama, Bianca kembali, lalu membangunkan Ares.

"Ares, bangun dulu, yuk. Kamu belum makan," ucap Bianca. Perlahan, mata Ares terbuka. Bianca begitu kaget saat melihat warna mata Ares yang bukan cokelat gelap, melainkan abu-abu.

"Bianca?" panggil Ares. Bianca mengangguk. "Kata Pak Fajar kamu belum minum obat. Sekarang makan, ya? Aku suapin."

Ares menurut. Bianca membantu Ares duduk, lalu menyuapi Ares dalam diam. Mata sayu Ares terus menatap Bianca, seolah tak percaya gadis itu berada di hadapannya sekarang. Ares sungguh berharap semua ini benar-benar nyata. Ia bahkan tak peduli rasa pahit di lidahnya setiap ia mengunyah makanan.

"Sekarang minum obat," Bianca menyodorkan obat dan air putih. Lagi-lagi, Ares tak menolak seperti kemarin-kemarin. Bianca memang membawa pengaruh besar untuknya.

Setelah itu, Ares kembali berbaring. Laki-laki itu memeluk lengan Bianca, sambil memejamkan mata.

"Jangan pergi. Jangan tinggalin aku lagi."

Bianca mengangguk. Ia kembali duduk, menyandarkan punggungnya di kepala kasur. Ares hendak protes saat tangan Bianca terlepas dari pelukannya, namun ia kembali tenang saat merasakan usapan lembut di rambutnya. Sebagai gantinya, Ares melingkarkan lengannya di perut Bianca.

Bianca mengamati wajah Ares lamat-lamat. Laki-laki ini menyimpan begitu banyak luka sejak ia kecil. Kehilangan sosok ibu, tinggal di panti asuhan, terpaksa hidup sebagai orang lain dengan harapan akan mendapat kasih sayang dari seorang ayah. Sayangnya, Gunadi lebih mementingkan reputasi dan uang daripada anaknya sendiri.

Tangan Bianca menyentuh lebam samar di wajah Ares. Cairan bening mulai membasahi pipi Bianca. Fajar memang sudah memberitahu Bianca tentang asal lebam di wajah itu. Ia tak menyangka, seorang Gunadi Govan tega memukuli darah dagingnya sendiri.

Tak butuh waktu lama, hingga Bianca dapat mendengar deru napas teratur laki-laki itu. Gadis itu mengusap air matanya, berusaha melepaskan pelukan Ares. Sebelum pulang, Bianca mencium kening Ares lama.

"Cepat sembuh, Ares," ucapnya. Ia akan kembali lagi besok pagi, merawat Ares hingga sembuh total.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora