BLL | 12

23.2K 2.3K 7
                                    

"Ca, si Arsa emang sekarang jadi aneh gitu, ya?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ca, si Arsa emang sekarang jadi aneh gitu, ya?"

Arial duduk di tepi kasur Bianca. Pandangan gadis itu yang awalnya terpaku pada novel barunya, langsung mendongak.

"Aneh banget, ya?"

Arial mengangguk. "Padahal dulu dia berisik banget kalo sama Abang. Sekarang? Dari kalian turun mobil sampe dia pulang, dia natap Abang kayak pingin bunuh gitu. Emang kamu nggak ngerasa dia berubah?"

"Ngerasa sih," balas Bianca. Gadis itu menegakkan duduknya, menutup novelnya setelah ia beri pembatas. "Tapi... dia nggak ngapa-ngapain Abang, kan?"

"Nggak," Arial memicingkan matanya, curiga. "Emang dia pernah ngelakuin apa ke orang lain? Dari wajah kamu, kayaknya ada yang mau kamu omongin ke Abang. Cerita aja, Abang siap dengerin."

Bianca menghela napas, menimbang-nimbang. Akhirnya, ia setuju untuk bercerita. Arial mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Bianca dengan seksama. Dahi Arial mengerut, bingung.

"Aneh," gumamnya. "Arsa yang Abang kenal bukan kayak gini. Masa iya, dua tahun nggak ketemu bisa berubah sedrastis itu?"

Bianca tak menjawab.

"Terus, gimana ceritanya kalian jadian?" tanya Arial lagi.

Bianca menelan ludahnya susah payah. Ia tak mungkin bilang pada Arial kalau dirinya diancam oleh Arsa dengan nyawa orang lain. Bisa-bisa, Arial mengamuk dan menjauhkan Bianca dari Arsa.

"Takdir mungkin," jawab Bianca akhirnya.

Arial memandang wajah adik sepupunya itu lamat-lamat, lalu mengangguk tanpa membalas lagi. Ia tahu, ada yang disembunyikan Bianca darinya. Soal Arsa. Arial tak ingin menekan Bianca untuk mengatakan semuanya. Ia hanya berharap, Bianca memilih jalan yang tepat.

***

"Ca, nanti ada adiknya temen Abang nganter barang. Tolong kamu terima, ya? Abang mau beli makan bentar. Nggak papa, kan?"

"Oke Bang. Hati-hati, jangan lupa beliin Ica!" jawab Bianca. Arial mengangguk, mengacak rambut Bianca, lalu pergi. Gadis itu ikut mengantarkan Arial sampai di depan pintu. Saat mobil Arial sudah menghilang dari pandangan, Bianca baru masuk ke dalam.

Gadis itu memilih untuk kembali ke kamar, bermain ponsel. Ada beberapa pesan yang dikirimkan oleh Arsa. Daripada membalas satu persatu, Bianca memilih untuk menelepon. Tak butuh waktu lama hingga suara bariton Arsa terdengar. Mereka mengobrol selama hampir satu jam, sebelum suara bel rumah terdengar.

"Sa, aku bukain pintu dulu. Ada orang," ucap Bianca.

"Bi Irma kemana? Minta tolong Bi Irma aja, aku masih pingin denger suara kamu."

"Bi Irma kayaknya lagi istirahat. Lagi sakit, kasian kalo aku bangunin. Ntar aku telepon lagi."

Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Ya udah. Kalo cowok, jangan lama-lama. Besok aku jemput ke sekolah."

"Iya," ucap Bianca, lalu terkekeh. "Udah ya, kasian nunggu orangnya. Byeee!"

Tanpa menunggu jawaban Arsa, Bianca segera keluar dari kamar, membukakan pintu. Ia terbelalak saat melihat siapa yang berada tepat di depannya saat ini.

"Bara?"

"Hai," sapa Bara. "Gue mau nganterin titipan abang gue. Ini bener rumahnya Bang Arial, kan?"

Bianca terpaku beberapa saat, sebelum mengangguk. Bara menyerahkan dua paper bag pada Bianca.

"Makasih," jawab Bianca. Gadis itu seketika teringat akan ancaman Arsa saat itu. Pandangannya turun ke tangan Bara yang di gips. Seketika, perasaan khawatir muncul dalam dirinya.

"Itu...?"

Bara mengikuti arah pandang Bianca, lalu tersenyum penuh arti. "Patah, waktu main basket," ucapnya. "Gue jadi nggak bisa main basket sementara, gara-gara ini. Paling taun depan baru bisa lagi."

Bianca menghela napas, lega. "Cepet sembuh, ya."

"Thanks," balas Bara. "Oh iya, itu yang paper bag kecil, buat lo. Tadi Nyokap gue bikin kue, jadi gue bawain juga sekalian. Semoga lo suka. Gue balik dulu. Bang Arial lagi nggak ada, ya?"

"Iya, lagi pergi," jawab Bianca. "Hati-hati, Bar. Makasih kuenya."

Sepeninggal Bara, Bianca menggelengkan kepalanya cepat. Dadanya bergemuruh, kepanikan menyerangnya secara tiba-tiba. Gadis itu sampai memegang dadanya, merasakan jantungnya yang berdegup cepat.

"Nggak mungkin, Ca. Pasti bukan. Bara bilang dia patah tulang gara-gara basket. Bara nggak mungkin bohong," gumam Bianca pada dirinya sendiri.

Tak ingin kembali berpikir yang aneh-aneh, Bianca memilih untuk ke dapur, membuka kue pemberian Bara.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now