BLL | 51

16.6K 1.4K 24
                                    

Gerimis tak menghentikan niat Ares untuk mengunjungi makam Arsa hari ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Gerimis tak menghentikan niat Ares untuk mengunjungi makam Arsa hari ini. Setelah semalaman ia tak bisa tidur karena pertemuannya dengan Marina dan Fransisco terlalu membebani, Ares memutuskan untuk tak masuk sekolah dan mengobrol dengan mendiang saudara kembarnya.

Begitu sampai di makam Arsa, Ares duduk di tepi makam, menatap nisan itu lama. Ia menghela napas keras.

"Gue nggak bawain lo bunga, ntar dikira homo," celetuknya. "Gue kesini mau marah-marah. Lo ngeselin banget, njing. Bisa-bisanya ninggalin gue masalah seberat ini."

Ares mengetuk nisan Arsa, seolah menjitak.

"Lo tau? Si bangsat yang selama ini ngerawat lo, dia bukan bokap kita. Dia cuma manfaatin kita, dan ngebunuh Mama secara nggak langsung. Lo tau rasanya waktu gue tau kebenarannya? Gue pingin bunuh tuh orang saat itu juga."

"Gue nggak tau gimana caranya dia ngerawat lo hingga lo bertahan lima belas tahun. Apa dia baik sama lo? Atau kelakuan dia emang udah kayak babi dari dulu? Sampe lo milih buat pergi ninggalin dunia kayak gini?"

Hening sesaat.

"Kita emang nggak pernah ngobrol langsung, Sa. Tapi yang ada di otak gue pertama kali waktu denger penjelasan Tante kita kemarin, gue langsung kepikiran sama lo," Ares berdecak. "Bangsat."

Ares tak tahu mengapa ia bisa berbicara sebanyak ini di depan makam Arsa. Ia hanya merasa begitu dekat dengan mendiang saudaranya, meskipun mereka tak pernah bertemu. Ares merasa lebih tenang sekarang.

"Gue berjuang demi hidup gue, juga buat ngelindungin Bianca. Dan jujur, gue nggak kuat."

Ares berusaha mencegah air matanya jatuh. "Menurut lo, gue harus gimana? Gue nggak mau jatuh ke lubang yang sama lagi. Udah cukup sekali, dan itu menyakitkan banget buat gue."

"Nyatanya, gue nggak sekuat itu. Gue capek."

"Menurut lo, si Fransisco beneran bokap kita, bukan?"

"Please, kali ini bantu gue. Gue udah nggak kuat berdiri sendiri."

Lalu, keheningan kembali mendominasi, Ares hanya duduk diam tanpa kata, membiarkan rintik hujan membasahi tubuhnya. Sampai hujan dirasa semakin deras, barulah Ares bangkit.

"Gue balik dulu, mau mandi terus jemput Bianca. Kapan-kapan gue kesini lagi," pamitnya. Ia menatap nisan Arsa sekali lagi, lalu beranjak dari sana, menuju apartemen.

***

"Kamu ada masalah, ya?"

Mata Bianca menyipit, menatap Ares curiga. Pasalnya sejak masuk mobil, Ares hanya diam. Padahal biasanya laki-laki itu hobi sekali memeluk atau mencium pipi Bianca. Ares juga tak masuk sekolah hari ini. Setelah mengantarkan Bianca, Ares pergi entah kemana.

"Ares," Bianca mengerucutkan bibirnya sebal karena Ares tak kunjung menjawab. "Pinggirin mobilnya."

"Ares, pinggirin mobilnya!" Bianca menaikkan suaranya, hingga Ares tersentak. Buru-buru Ares meminggirkan mobilnya, lalu menatap Bianca tajam.

"Kamu apa-apaan, sih?!" tanya Ares tak suka.

"Kamu yang kenapa!" balas Bianca tak kalah sengit. "Kamu nyetir sambil melamun, kalo nabrak gimana?!"

Seketika, tatapan Ares melunak. Ia yang salah di sini. Ia menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata guna menenangkan diri. Melihat itu, Bianca menarik napas, lalu menyentuh lengan kekar Ares.

"Kamu kenapa?" tanyanya lembut. "Ada masalah? Sini cerita."

Bianca tersentak saat Ares menariknya dalam pelukan. Ia menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di ceruk leher Bianca, menghirup aroma strawberry dari tubuh gadis itu.

"Ares?" panggil Bianca.

"Biarin kayak gini dulu," gumam Ares tak jelas. Bianca mengangguk samar, menepuk-nepuk punggung Ares bak seorang ibu yang menenangkan anaknya.

Lama mereka diam, hingga akhirnya Ares melepaskan pelukan. Bianca menangkup wajah Ares, dan mendapati guratan lelah di wajah itu.

"Kalo kamu mau cerita, aku siap dengerin. Kalo nggak juga nggak papa, aku nggak maksa. Satu hal yang kamu tau, aku bakal selalu ada buat kamu," kata Bianca bijak. Entah apa yang merasuki gadis itu hingga bisa berbicara sebiijak ini.

Ares tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Makasih," gumamnya. Ia menggenggam tangan kanan Bianca, lalu kembali menjalankan mobilnya. Berkali-kali ia mengecup punggung tangan gadis itu, membuat Bianca tersipu sendiri.

***

Mata Bianca berkaca-kaca mendengar cerita Ares. Ya, sesampainya di rumah Bianca, Ares menceritakan semuanya. Ia tak menyangka kehidupan Ares akan serumit ini.

BRUK!

Tanpa mengatakan apa-apa, Bianca menghambur ke pelukan Ares. Gadis itu mulai menangis tersedu, membuat senyum Ares kembali terbit. Dirinya yang dilanda masalah, Bianca yang menangis sesenggukan.

"Kok kamu yang nangis?" tanya Ares geli.

"Nggak tau!" jawab Bianca sembari terisak. "Sedih banget, huaaaa..."

"Cup cup cup." Ares menepuk-nepuk punggung Bianca. "Jangan nangis lagi."

Tangisan Bianca membuat beban Ares sedikit terangkat. Laki-laki itu terkekeh lucu melihat tingkah kekasihnya yang cengeng dan aneh. Ia malah sibuk menenangkan Bianca alih-alih sebaliknya.

Saat dirasa sudah tenang, Bianca melepas pelukannya. Gadis itu menghapus air matanya, lalu menunduk malu ditatap Ares begitu intens.

"Jangan liatin aku kayak gitu," cicitnya. Ares langsung memalingkan wajah sembari tersenyum geli.

Bianca menyandarkan punggungnya di lengan Ares. Lama terdiam, akhirnya Bianca bersuara.

"Mau dengerin pendapat aku, nggak?" tanyanya.

Ares mengangguk. "Mau."

"Menurut aku, kamu harus ketemu sama Papa kamu," ucapnya. "Dengan pikiran yang jernih. Kalo kemarin, kamu pasti masih kaget. Jadi kamu emosi. Di pertemuan kedua, kamu harus dateng dengan kepala dingin. Jangan liat pake mata, tapi liat pake hati kamu. Kamu pasti bisa liat dia sungguh-sungguh atau nggak."

Ares meresapi kata demi kata yang keluar dari mulut Bianca. Ia tak mengiyakan atau menolak, karena hatinya sendiri masih bimbang. Haruskah ia bertemu lagi dengan Fransisco? Bagaimana kalau pria itu berbohong?

"Ares?" panggil Bianca. Ia sudah memutar tubuhnya, duduk bersila menghadap Ares. "Jangan khawatir. Semuanya bakal baik-baik aja."

Ares menatap Bianca lama, lalu tersenyum tipis.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now