BLL | 11

25.5K 2.4K 25
                                    

Bianca mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya lampu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bianca mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya lampu. Gadis itu meringis saat merasa kepalanya pening. Matanya membulat kaget saat menemukan Arsa duduk di sebelah brankarnya. Gadis itu langsung terduduk, membuat Arsa ikut terperanjat kaget karena pergerakan tiba-tiba dari Bianca.

"Masih pusing?" tanya Arsa datar. Laki-laki itu menyodorkan segelas air putih yang disiapkan petugas PMR, sebelum ia diusir Arsa keluar. Gadis itu menenggak airnya hingga tandas, lalu mengangguk gugup. Ia yakin, sekarang Arsa sedang marah. Ia juga harus siap bila Arsa melarangnya ikut olahraga lagi setelah ini.

Mata elang Arsa tak berhenti menatap tajam Bianca. Merasa terintimidasi, Bianca hanya bisa menunduk.

"Kamu marah, ya?" cicit Bianca akhirnya. Sesekali ia mendongak, berharap ekspresi wajah Arsa sudah berubah. Aura mengerikan yang mengelilingi Arsa membuat Bianca ciut.

"Masih mau ikut olahraga lagi minggu depan?" Bianca buru-buru menggeleng. Ia ingin sebenarnya, namun gadis itu langsung teringat akan kejadian tadi. Austin pasti

"Daripada temen-temen aku bonyok semua dihajar kamu," gumam Bianca tanpa sadar. Arsa mati-matian menahan senyumnya melihat wajah menggemaskan Bianca. Gadis itu terlihat jengkel dan takut di saat yang sama.

Arsa menarik Bianca kedalam pelukannya, saat melihat mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Perlahan ia mengelus rambut Bianca lembut, menenangkan.

"Jangan nangis," ucap Arsa melembut. Bukannya mereda, tangisan Bianca malah semakin kencang. Sekali lagi, Bianca merutuki dirinya yang cengeng.

"Kamu sih serem, marah-marah mulu... hiks," Arsa tertawa kecil, mencium puncak kepala kekasihnya.

"Kamu sih nggak nurut. Ini salah satu alasan aku ngelarang kamu," Bianca mengangguk saja. Padahal dulu bukan sekali dua kali ia tertimpuk bola. Tapi mengingat watak Arsa yang tak sama lagi,  Bianca memilih tak membantah.

"Sekarang makan ya, aku suapin," ucap Arsa. Bianca kembali mengangguk pasrah. Arsa mengambil kotak makan yang diantarkan Fajar tadi dari rumah, dengan telaten menyuapi Bianca.

"Kamu gimana di ruang kepsek tadi?" tanya Bianca. Tadi, ia sempat samar-samar mendengar Pak Rolan menyuruh Arsa ke ruang kepala sekolah.

"Disidang," ucapnya. "Sama Pak Rizal, Pak Romlan, sama Pak Rolan."

"Dihukum, nggak?" Arsa menggeleng. Ketiga guru itu memang belum menjatuhkan hukuman apapun untuk Arsa, selain surat panggilan untuk orang tua. Pak Rizal dan Pak Romlan sudah jengah dengan Arsa yang tak pernah kapok meskipun berkali-kali dijatuhi hukuman.

"Terus?"

"Ntar Fajar yang ngurus," ucapnya. Bianca hanya mengangguk paham. Ia paham betul bahwa hubungan Arsa dan Gunadi kurang baik. Dari dulu, setiap Arsa berbuat ulah, pasti Fajar yang muncul. Gunadi hanya sibuk mengembangkan bisnisnya di dalam maupun luar negeri. Tak jauh berbeda dengan Bianca, hanya saja hubungan Bianca dan kedua orang tuanya begitu harmonis.

Sebenarnya, lima tahun yang lalu orang tua Bianca juga mengajaknya untuk pindah sekolah ke Korea. Namun gadis itu menolak tegas. Ia tak ingin meninggalkan Arsa. Dua remaja SMP itu bahkan sepakat untuk mogok makan demi tak dipisahkan. Akhirnya orang tua Bianca mengalah, dan membiarkan Bianca tinggal sendiri di Indonesia bersama Bi Irma.

"Hei, kok melamun?"

Suara Arsa membuyarkan lamunan Bianca. Gadis itu menunjukkan cengirannya, membuka mulutnya menerima suapan dari Arsa.

***

Mobil Arsa berhenti di depan rumah Bianca. Gadis itu masih merenggut sebal, karena Arsa tak mengizinkannya kembali ke kelas hingga pulang sekolah. Hanya dua pilihan yang diberikan Arsa, langsung pulang atau tetap di UKS hingga jam pulang sekolah. Akhirnya, Bianca memilih untuk tinggal di UKS, asal Arsa setuju untuk kembali ke kelas dan belajar. Laki-laki itu mengiyakan, meskipun setiap lima belas menit sekali ia pergi melihat keadaan kekasihnya.

"Mobil siapa itu?" tanya Arsa. Bianca mengikuti arah pandang Arsa, mengernyit. Sebuah mobil putih terparkir di halaman rumah Bianca. Gadis itu merasa sama sekali tak asing, mobil itu seperti milik...

"BANG ARIAL!"

Tanpa aba-aba, Bianca langsung melompat turun dari mobil, meninggalkan Arsa yang uring-uringan. Bianca baru saja pingsan beberapa jam yang lalu, dan sekarang gadis itu seenaknya berlari masuk ke dalam rumah.

"BIANCA, BERHENTI!" teriak Arsa penuh penekanan. Bianca langsung menghentikan langkahnya, berbalik, dan mendapati Arsa yang menatapnya tajam. Sangat tajam.

"Heheheh, maaf," Bianca menyengir. Gadis itu menghampiri Arsa, lalu bergelayut manja di lengan kekasihnya. "Jangan marah. Nanti gantengnya ilang."

"Nggak usah ngerayu," balas Arsa malas. Ia marah, khawatir, dan kesal karena Bianca pergi begitu saja meninggalkannya demi Arial. Lari-lari pula!

Tak kehabisan akal, Bianca menyandarkan kepalanya manja di lengan Arsa. "Pacar Ica yang ganteng, jangan marah, ya? Ica minta maaf deh kalo salah. Sekarang ayo masuk! Ica kangen Bang Arial."

Baru saja mood Arsa membaik karena dipuji Bianca, mood-nya langsung kembali anjlok.

"Sa?" panggil Bianca. Arsa menoleh malas. Sebelum Bianca sempat bersuara lagi, seseorang memanggil Bianca.

"BIANCA SAYAAANGGGG!"

"BANG ARIALLLLLL!" Bianca hendak berlari lagi, namun lengannya langsung dicekal Arsa. Laki-laki itu menatap tajam Bianca, membuat gadis itu kembali ciut.

"Jalan pelan-pelan," ucapnya penuh penekanan. Bianca mengangguk patuh. Sebal namun tak bisa melawan, Bianca sengaja menekan setiap langkahnya kuat-kuat ke tanah, seolah ia benar-benar berhati-hati dalam melangkah. Gadis itu merentangkan kedua tangannya seperti sedang menjaga keseimbangan, matanya terus menatap ke bawah, takut salah melangkah. Arsa mendengus mengetahui maksud Bianca.

"Kamu kenapa jalan kayak gitu, Ca?" tanya Arial bingung.

"Kata Arsa, Ica harus jalan pelan-pelan. Ini Ica lagi jalan pelan-pelan," ucapnya, sok polos. Arial berusaha menahan tawanya, apalagi saat melihat wajah masam Arsa.

Tiba-tiba saja, Bianca merasa tubuhnya terangkat. Arsa menggendongnya bak karung beras, membuat gadis itu memukuli punggung Arsa bertubi-tubi.

"ARSAAAA!!!! IYA-IYA AMPUN NGGAK GITU LAGI!!!!!! ARSA TURUNIN!!!"

Arsa menulikan pendengarannya. Ia baru menurunkan Bianca di sofa ruang tamu.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now