BLL | 4

35.6K 3.3K 165
                                    

"Sa, boleh ya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sa, boleh ya?"

"Nggak!"

"Pleeeaseeeeeee."

"Nggak, Ica. Nanti sakit!"

"Sekali aja. Aku udah lama nggak hujan-hujanan."

"Nggak boleh! Jangan bandel!"

"Dulu padahal kita sering hujan-hujanan bareng lho, Sa. Kenapa sekarang kamu nggak mau? Nyebelin, nggak asyik!"

Arsa diam, tak menanggapi. Laki-laki itu fokus pada ponselnya, membaca untaian kalimat yang dikirimkan Fajar, anak buah papanya yang bertugas membereskan masalah yang dibuat Arsa. Baru saja ia mendapat kabar, bahwa orang tua Ovan tak mempermasalahkan insiden di sekolah tadi setelah diberi satu milyar.

Kalau kalian bertanya-tanya, mengapa Arsa tak pernah dikeluarkan atau masuk penjara, sekarang kalian sudah tahu jawabannya. Dengan uang, semua beres. Ia tak masalah harus mengeluarkan uang sebanyak apapun, asal tak ada yang berani menyentuh Bianca. Karena bagi Arsa, Bianca adalah dunianya.

"Arsaaaaaaaaa...."

Arsa meletakkan ponselnya di meja, lalu meraih Bianca ke dalam rengkuhannya. Ia mengunci pergerakan Bianca yang sibuk meronta karena kungkungan Arsa yang begitu kuat. Arsa terkekeh melihat Bianca yang tak berdaya.

"Arsa, nggak bisa napas! Ih! Lepassssss kamu nyebelin aku nggak mau deket-deket! Minggir minggir minggiiiiirrrrrrrr!!!!"

"Nggak mau. Kamu bandel, minta main hujan. Nanti kamu sakit."

"Nggak bakal sakit, ih! Ayo, kamu temenin aku! Eh tapi lepasin dulu ini, astaga. Engep, Arsa! Zoooooo!!!!! Tolongin Icaaaaa!!!!" Zoo yang dipanggil, masih sibuk bergelung di atas tempat tidurnya, menikmati hujan dan mimpi indah.

"Zoo aja males nolongin kamu. Dia juga takut kamu sakit. Nurut, Ica," ucap Arsa. Ia masih mempertahankan kunciannya pada Bianca.

"Oke, oke. Tapi lepasin dulu ini! Nggak bisa napas!"

Arsa akhirnya menurut. Ia melepaskan Bianca yang wajahnya sudah merah padam karena kesal. Untuk tiga detik pertama, Arsa masih tersenyum. Namun selanjutnya, ia dibuat panik setengah mati karena Bianca tiba-tiba berlari keluar, berdiri di tengah hujan.

"BIANCA!"

***

Bianca baru saja keluar dari kamar mandi. Senyum lebar tak berhenti tersungging di bibir gadis itu. Apalagi, saat melihat raut kesal Arsa. Meskipun menyeramkan, Bianca bisa merasakan Arsa sedang tidak dalam mode bahaya.

Laki-laki itu baru saja mandi di kamar mandi lain. Untung saja, ada beberapa potong baju Arsa yang ditinggalkannya di rumah Bianca. Tetesan air yang jatuh dari rambut Arsa, membuat laki-laki itu seribu kali lebih tampan dan seksi. Betapa beruntungnya Bianca, yang sudah beberapa kali melihat pemandangan indah itu. Hanya eksklusif untuk Bianca, tidak perempuan lain!

"Ganteng banget temen aku udah mandi," goda Bianca. Arsa mendengus kesal.

Tadi, saat ia menyusul Bianca keluar rumah, gadis itu langsung menariknya hujan-hujanan. Sebenarnya bisa saja Arsa menggotong Bianca masuk secara paksa. Namun melihat wajah antusias gadis itu, Arsa mengurungkan niatnya.

Berdoa saja semoga Bianca tak sakit.

Bianca mencolokkan kabel hair dryer, hendak mengeringkan rambut. Namun Arsa sudah lebih dulu mengambil alih.

"Duduk," ucap Arsa. Bianca menurut, duduk di kursi meja rias. Setelah itu, Arsa dengan telaten mengeringkan rambut Bianca. Setelah kering, ia mengaplikasikan serum pada rambut gadis itu, memijatnya perlahan, lalu menyisirnya dengan hati-hati. Bisa ia pastikan, tak ada satupun rambut Bianca yang nyangkut di sisir.

"Udah kering, sekarang gantian!" ucap Bianca. Ia berdiri, lalu menyuruh Arsa untuk duduk. Setelah itu, ia melakukan hal yang sama pada Bianca.

"Kalo Arsa baik hati gini kan enak, akunya nggak takut. Jangan sering marah-marah ya, Sa. Capek tau nangis mulu," ucap Bianca. Arsa tersenyum tipis mendengar ocehan gadis bersurai hitam itu.

I'm sorry, Ca. Aku nggak akan setengah-setengah, kalau risikonya adalah kehilangan kamu.

***

Arsa menapakkan kakinya di rumah, setelah berjam-jam ia habiskan di rumah Bianca. Ia mendengus kasar saat melihat mobil hitam sang papa terparkir manis di halaman rumah. Dengan malas, Arsa melangkah masuk.

PLAK!

Baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, sebuah tamparan keras mendarat di pipi Arsa. Saking kerasnya, Arsa sampai hampir tersungkur, kalau kakinya tak cepat bertindak mengambil tumpuan.

"Berapa kali Papa bilang, stop berbuat ulah!"

Baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya selama tiga bulan, Gunadi harus menerima laporan bertubi-tubi dari Fajar tentang kelakuan anaknya sepanjang kepergiannya. Empat orang kena imbas kemarahan Arsa. Yang pertama Gio yang patah tulang, karena menembak Bianca. Lalu ada Joe, yang harus koma dua hari karena tak sengaja menyenggol Bianca hingga jatuh. Ada juga Pak Halim, yang dipecat karena menghukum Bianca lari sepuluh kali keliling lapangan. Dan yang terbaru, Ovan. Dihajar habis-habisan hingga harus diopname empat hari. Jangan lupakan mentalnya yang sedikit terguncang.

Arsa hanya diam, memegang pipinya yang berdenyut nyeri. Tamparan Gunadi memang begitu dahsyat.

"Tinggal bayar kompensasi, Papa nggak akan jatuh miskin," jawabnya enteng.

"Ini bukan masalah uang, tapi akhlak kamu! Nol! Memalukan! Kamu bahkan tidak sama dengan dia!"

Arsa mengepalkan tangannya kuat, saat Gunadi menyebut dia. Dadanya naik turun, napasnya tak teratur. Arsa marah, sangat marah!

"Aku udah berusaha, tapi sulit. Berhenti banding-bandingin kita!" ucapnya lantang, sebelum meninggalkan Gunadi menuju kamarnya di lantai dua.














DOUBLE UP!

Kira-kira, siapa dia?

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang