BLL | 50

16K 1.4K 58
                                    

"M-Mama?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"M-Mama?"

Ares membeku di tempat, menatap wanita yang berdiri tepat di depan pintu apartemennya. Wanita itu tersenyum mendengar gumaman Ares.

"Boleh saya masuk?"

Seketika, Ares tersadar. Ia menggeser tubuhnya, mengisyaratkan wanita itu untuk masuk. Mata Ares tak lepas dari wanita itu. Wajahnya... benar-benar mirip Adelia, Mamanya.

"S-silahkan duduk," ucap Ares, terbata. Wanita itu duduk di sofa, matanya memindai kondisi apartemen yang ditinggali laki-laki itu.

"Mau minum sesuatu?" tanya Ares.

"Air putih, boleh."

Ares mengangguk, mengambil segelas air di dapur, lalu meletakkannya di meja yang ada di depan sofa, lalu ikut duduk di samping wanita itu.

"Sebelumnya perkenalkan, saya Marina, saudara kembar Mamamu," ucap wanita itu lembut. Senyumnya masih belum pudar. "Ini pertama kali kita bertemu, ya?"

Ares mengangguk kaku. Ada sedikit rasa kecewa, menyadari wanita di hadapannya ini bukanlah Mamanya.

"Saya nggak tau Mama punya saudara kembar," ucap Ares formal. Ia menatap wanita di hadapannya intens. Ada sarat kerinduan di mata Ares.

"Saya akan menjelaskan semuanya," Marina menjeda. "Tapi tolong, jangan disela selama saya menjelaskan."

Ares diam, tak menjawab.

"Sejak dulu, keluarga kami tinggal di Kanada. Seharusnya kamu tahu, kalau Mama kamu bukan orang Indonesia. Dulu, saat remaja, Adelia termasuk anak yang bebas. Ia suka pergi ke klub malam. Hingga akhirnya, sembilan belas tahun yang lalu, Mama kamu hamil."

"Saat itu, Adelia frustrasi karena ia tidak tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung, karena semuanya terjadi saat ia mabuk di klub malam. Dua minggu setelah ia mengetahui tentang kehamilannya, ia bertemu dengan Gunadi, orang yang kamu panggil papa."

Napas Ares tercekat. Ia berusaha mengusir pikiran negatif di otaknya.

"Gunadi menawarkan diri untuk bertanggung jawab atas kehamilan Adelia. Tanpa berpikir panjang, Adelia langsung mengiyakan karena hanya Gunadi yang bersedia menolongnya saat itu. Mendiang Papa saya adalah orang yang keras. Adelia takut Papa saya akan menyuruhnya menggugurkan kandungannya, menggugurkan kalian karena tidak jelas siapa ayahnya."

"Hingga akhirnya, Adelia dan Gunadi menikah. Gunadi membawa Adelia ke Indonesia. Sejak itulah, penderitaan Adelia dimulai. Gunadi tak sebaik yang ia kira. Dua tahun setelah kalian lahir, Gunadi menjual Adelia ke pejabat demi kelancaran izin usaha. Karena itu juga, Mamamu terkena penyakit HIV/AIDS yang akhirnya berhasil merenggut nyawanya."

Air mata Marina mulai menggenang, begitu juga Ares. "Lalu, Adelia menggugat cerai Gunadi. Entah bagaimana caranya hingga Gunadi berhasil mendapatkan hak asuh Arsa, saudara kembarmu. Lalu, sisanya kamu tahu."

Ares tak kuasa lagi menahan air matanya. Kedua tangannya terkepal kuat. Ia terus mengutuki Gunadi dalam hatinya, menyumpahi pria itu agar berakhir di neraka. Sungguh, Ares ingin membunuh Gunadi saat ini juga.

"Kenapa baru sekarang?" tanya Ares pelan— nyaris tanpa suara.

"Sebenarnya, saya sudah mengetahui keberadaan kamu sejak kamu pindah ke Jakarta," ucapnya. "Saya ingin cepat-cepat mengunjungi kamu, tapi Daddy kamu menahan saya. Ia ingin melihat seberapa kuat kamu bertahan melawan pria brengsek itu."

"Daddy?" beo Ares.

Marina mengangguk. "Sebentar lagi ia akan datang menyusul. Yang saya tahu, dia baru saja mendarat setengah jam yang lalu."

Pikiran Ares kosong. Ia tak menyangka, jalan hidupnya akan se-drama ini. Selama ini, ia menahan diri untuk tak membunuh Gunadi, karena berpikir pria itu adalah papa kandungnya. Ternyata, si keparat itu hanyalah pria brengsek yang menghancurkan hidupnya, Arsa, dan mamanya.

Tiba-tiba, suara bel terdengar. Ares dan Marina sama-sama menoleh ke arah pintu.

"Itu pasti dia," ucap Marina. "Bukakan pintu untuk Daddymu, Nak."

Ares diam sejenak, ia masih merasa ragu. Lagi-lagi, semuanya terasa begitu tiba-tiba. Ia menoleh ke arah Marina. Begitu mendapat anggukan dari wanita itu, barulah Ares bergerak.

Jantung Ares berdebar kencang saat melihat sesosok pria paruh baya berdiri di depan pintunya. Seketika, ia lupa caranya bernapas.

"Nice to meet you, son."

***

Saat ini, Ares sedang duduk berhadapan dengan pria yang mengaku sebagai ayahnya. Marina meninggalkan apartemen begitu pria ini datang, dengan alasan ingin memberikan waktu mereka untuk bicara empat mata.

Pria ini memiliki mata cokelat gelap seperti milik Ares. Matanya tajam, hidung mancung. Pria ini benar-benar mirip dengan dirinya dan Arsa.

Sejak tadi, mereka berdua hanya saling diam. Ares tak tahu harus berbicara apa, begitu juga pria di hadapannya.

"Bagaimana kabarmu?"

"Mengapa baru sekarang?"

Kedua kalimat itu terlontar secara bersamaan dari mulut masing-masing. Pria itu menghela napas, memutuskan untuk menjawab duluan.

"Maaf. Dad terlambat. Dad sudah berusaha mencarimu, Arsa, dan Mamamu sejak lama, namun tak pernah ketemu. Dad baru berhasil melacak keberadaanmu tiga tahun lalu. Saat itu, Dad ingin sekali menjemputmu, membawamu ke Kanada. Namun Dad berpikir untuk membiarkanmu terlibat dalam permainan licik Gunadi. Dad yakin, kamu pasti menang. Dan sekarang, keyakinan Dad terbukti."

Ares mengepalkan tangannya, emosi mendengar penuturan pria itu. "Anda senang melihat saya menderita? Anda senang melihat saya kehilangan begitu banyak? Selama ini, saya selalu mengidam-idamkan sosok seorang ayah. Selama tiga tahun, saya membiarkan orang itu berlaku semena-mena terhadap saya, berharap dia akan memberikan kasih sayangnya. Bertahun-tahun saya terus berusaha meyakinkan diri saya sendiri, bahwa saya layak untuk dicintai. Bertahun-tahun saya harus merasa hancur. Saya harus berjuang sendiri untuk hidup. Tinggal di panti asuhan, menjadi boneka dari orang itu, kehilangan Mama, kehilangan Arsa. Anda puas?!"

Ares tak bisa lagi menahan semua uneg-unegnya. Air mata akhirnya luruh, meskipun ia mati-matian menahannya. Ares lelah jika harus terus berpura-pura kuat. Ares lelah harus mendapat harapan palsu lagi. Ares lelah hidup dalam kebohongan!

"Maaf," ucap pria itu. "Dad tahu, Dad salah. Dad lakukan semua ini agar kamu—"

"Pergi," desis Ares. Matanya menatap tajam pria di hadapannya.

"Ares, Da—"

"PERGI!" bentak Ares keras.

Sudah cukup. Ia tak mau lagi dibodohi oleh iming-iming kasih sayang dari orang yang mengaku sebagai ayahnya. Entah pria ini ayah kandungnya atau bukan, Ares tak ingin memikirkannya sekarang.

Pria itu mengangguk tenang. "Mungkin kamu perlu waktu untuk berpikir. Dad akan beri waktu," ucapnya. Ia menyerahkan sebuah kartu nama. "Ini milik Dad. Kalau kamu sudah siap, kamu bisa telepon Dad kapan saja. I'll be waiting."

Ares tak menjawab, membiarkan pria itu keluar dari apartemennya tanpa repot-repot mengantar. Tatapan Ares tak lepas dari kartu nama yang terletak di atas meja.

Fransisco Williams, nama pria itu.






Guys mau tanya dong, kalian lebih suka pake cowok & cewek atau gadis & laki-laki?

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang