BLL | 3

37.3K 3.7K 52
                                    

"ARSA!"

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

"ARSA!"

Bianca terpekik kaget saat Arsa tiba-tiba masuk dan melayangkan pukulan ke rahang Ovan. Tak hanya sekali. Arsa memukuli Ovan bertubi-tubi, seperti orang kesetanan.

"Astaga, Arsa, berhenti!" teriak Bianca lagi. Pak Imron, guru Matematika yang berada di kelas langsung berdiri, menghampiri Arsa dan Ovan. Brian dan Mars juga tak tinggal diam. Mereka berdua berusaha menarik Arsa menjauh dari Ovan, namun sia-sia karena badan Arsa yang besar dan tenaganya yang kuat.

Kalau Arsa sudah marah, tenaganya kayak banteng ngamuk.

"ARSA DYLLANO GOVAN!" teriakkan Pak Imron juga tak mampu menghentikan Arsa. Seisi kelas sudah mulai mengerubungi Arsa dan Ovan, namun tak ada satupun yang berani maju untuk memisahkan mereka. Hanya Brian dan Mars, namun keduanya gagal.

"Bangsat! Lo ngapain pegang-pegang Bianca, HAH?!" ucap Arsa. Sekali lagi, ia melayangkan sebuah pukulan di pipi Ovan.

"G-gue ngg—"

BUG!

Belum selesai Ovan berbicara, Arsa sudah kembali memukulnya.

"Arsa, berhenti..."

Tangan Arsa yang sudah siap memukul Ovan lagi, terhenti di udara begitu merasakan sepasang tangan yang melingkar di perutnya. Suara lirih dari Bianca mampu menghentikan perbuatan iblis Arsa.

Laki-laki itu berusaha menetralkan napasnya. Ia berdiri, dan saat itu juga, beberapa teman sekelas Bianca menarik Ovan untuk dibawa ke UKS.

Arsa membalikkan badannya saat mendengar isakan kecil dari bibir Bianca. Tanpa mengatakan apapun, ia meraih tangan Bianca, dan menarik gadis itu keluar dari kelas, meninggalkan kerumunan siswa yang sudah mengelilingi mereka entah sejak kapan, termasuk Pak Imron yang terus menerus meneriakkan namanya.

"Arsa, pelan-pelan... Ini sakit.." cicit Bianca. Arsa menulikan telinganya. Ia mencengkram tangan Bianca semakin erat, membuat gadis itu meringis kesakitan. Langkah kecil Bianca yang tak selebar langkah Arsa, membuat gadis itu sedikit terseret. Berkali-kali ia hampir jatuh.

Arsa membawa Bianca ke atap sekolah. Bianca menggigit bibirnya, gugup. Kalau Arsa sudah membawanya ke sini, berarti laki-laki itu akan marah besar.

Arsa mendudukkan Bianca di kursi kayu yang ada di sana. Kalau kata Bianca, itu adalah kursi pesakitan. Karena setiap ia didudukkan Arsa di sana, laki-laki itu akan memarahinya seperti orang kesetanan.

"Kenapa kamu deket-deket sama cowok lain? Lupa pesan aku?" desis Arsa. Bianca hanya diam, tak menjawab. Gadis itu menunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Arsa.

Merasa diabaikan, Arsa menarik dagu Bianca hingga gadis itu mendongak. Bianca masih menangis, takut pada sahabat kecilnya itu.

"Bianca," desis Arsa. "JAWAB!"

Tangisan Bianca semakin kencang. Gadis itu memejamkan matanya erat. Kalau Bianca memiliki kekuatan untuk melawan, ia pasti sudah melawan sejak tadi. Tapi jangankan melawan, menatap Arsa saja ia tak berani.

"BIANCA!"

"P-Pak Imron n-nyuruh kita kerja b-berpasangan, hiks... Kelompoknya pake undian... A-aku dapetnya s-sama Ovan..."

Cekalan Arsa di dagu Bianca mengendur. Laki-laki itu melangkah mundur, sambil menyugar rambut hitamnya. "Kamu kan bisa nolak! Bilang sama Pak Imron, minta dipasangin sama cewek! Kenapa sih, susah banget nurut sama aku?!"

"N-nggak berani..." cicit Bianca jujur.

Terkadang, Bianca mengutuki sifatnya yang cengeng. Dari dulu, ia memang mudah sekali menangis. Kalau marah, ia pasti menangis. Takut, menangis. Sedih, apalagi. Bianca bisa tak berhenti menangis tiga jam lamanya.

Sekarang? Bianca sedang marah, takut, dan sedih. Marah karena Arsa yang seenaknya, takut karena Arsa sedang dalam mode iblis, dan sedih dengan sikap Arsa yang jauh berbeda dengan Arsa yang dulu.

Masih sibuk menangis, Bianca hanya pasrah saat tubuhnya direngkuh Arsa. Gadis itu menangis dipelukan Arsa, pelukan yang selalu membuat Bianca nyaman.

"Maaf... Jangan nangis," ucap Arsa lembut. Laki-laki itu mengecup pergelangan tangan Bianca yang memerah karena ia tarik paksa. Beginilah Arsa. Setelah marah-marah, ia pasti akan meminta maaf, dan berlaku lembut pada Bianca. Gadis itu sudah terbiasa, hingga bahkan bagi Bianca, kata maaf dari Arsa sudah tak ada artinya lagi.

Biarpun begitu, tak ada satu katapun keluar dari bibir Bianca. Melayangkan protes juga percuma. Bukan sekali dua kali Bianca mencoba, namun hasilnya nihil. Daripada menghabiskan sisa tenaganya untuk marah-marah, Bianca memilih menyamankan dirinya dalam pelukan Arsa.

"Laper?" tanya Arsa. Bianca mengangguk. Satu menit sebelum istirahat, ia sudah ditarik paksa oleh Arsa ke rooftop. Ia belum mengisi perutnya sama sekali sejak pagi.

Arsa mengeluarkan ponselnya, menghubungi Mars. "Bawain nasi goreng buat Ica, nggak pedes. Suruh Nela bawa ke rooftop."

"Mau pedes," rajuk Bianca. Hidung merah milik Bianca membuat Arsa tak tahan untuk mencubitnya. Laki-laki itu mengabaikan Bianca yang merajuk.

"Sa, pedes."

"Nggak, nanti sakit perut."

"Saaaaaaaa....."

Arsa menghela napas. Kalau Bianca sudah merajuk manja begini, ia bisa apa?

Arsa kembali men-dial nomor Mars. "Ganti pedes," ucapnya singkat. Tanpa menunggu jawaban Mars, Arsa mematikan sambungan teleponnya.

Masih dalam posisi saling memeluk, Arsa menggiring Bianca menuju sofa. Keheningan mencekam, hingga Nela akhirnya datang dengan sepiring nasi goreng merah, favorit Bianca.

"Lo temenin Ica di sini," ucap Arsa dingin. Ia masih ingin melanjutkan kegiatannya menghajar Ovan. Seingatnya, tadi belum ada tulang Ovan yang patah.

Baik Bianca maupun Nela membeku di tempat. Tanpa diberitahu pun, mereka sudah tahu apa tujuan Arsa meninggalkan Bianca. Dua gadis itu sedang bercakap-cakap lewat tatapan mata.

"Arsa, aku maunya ditemenin kamu!" sahut Bianca.

"Aku ada urusan, Ca."

"Ya udah, nggak mau makan!" Bianca bersedekap sambil mengerucutkan bibirnya imut. Nela yang melihat acting Bianca, rasanya mau muntah saja di tempat.

Buyar sudah niat Arsa untuk menolak keinginan Bianca. Laki-laki itu mengambil alih piring dari tangan Nela, lalu kembali duduk di samping Bianca.

"Ini, makan."

"Maunya disuapin," ucap Bianca. Jangan lupakan puppy eyes-nya yang langsung bisa membuat Arsa ingin pingsan di tempat. Sedangkan Nela? Ia mati-matian untuk tak mengumpat di depan Arsa. Tak ingin berlama-lama, gadis itu memilih kabur.

BETWEEN LOVE AND LIES ✓حيث تعيش القصص. اكتشف الآن