BLL | 27

16.6K 1.7K 74
                                    

"Siapa lo sebenarnya?!" desis Reagan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Siapa lo sebenarnya?!" desis Reagan.

Arsa hanya diam. Melihat laki-laki dihadapannya membeku, Reagan berdecih sinis. Ia menghempas kasar tubuh Arsa, setengah membantingnya, membuat laki-laki itu jatuh mengenaskan. Bianca maju mendekati Arsa. Air matanya yang tadi sempat terhenti, kembali mengalir. Arsa-nya terlihat begitu mengenaskan, dan anehnya, laki-laki itu tidak melawan.

"Nggak bisa jawab kan lo?" ejek Reagan.

"Maksud lo apa sih, Gan? Lo mabok?" tanya Brian. Yang lainnya menyimak, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka semua menunggu jawaban dari mulut Reagan.

"Gue harap juga gitu," ucap Reagan. Ia menyugar rambutnya frustrasi, memejamkan mata, berusaha meredam emosinya yang meledak-ledak. Bianca sudah menangis karena ulahnya, dan ia tak ingin membuat gadis yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri itu semakin takut.

Reagan menunjuk Arsa yang terkulai lemas dalam pelukan Bianca. "Cowok brengsek ini, dia bukan Arsa," tuturnya, membuat semua orang terbelalak kaget.

"Reagan ngomong apa, sih! hiks... Reagan ngaco! Ini, Arsa, sahabat kita, pacar aku! Ka—"

"KITA DITIPU SAMA DIA, BIANCA! LO, GUE, KITA SEMUA! ORANG INI, DIA UDAH NGEBOHONGIN KITA SELAMA HAMPIR TIGA TAHUN! DIA BUKAN ARSA!"

"Gan!" Mars memperingati, agar Reagan tak lepas kontrol.

Bianca terkekeh sinis. "Kamu ngelantur, Reagan. Kalo dia bukan Arsa, terus siapa? Terus di mana Arsa?"

"Arsa udah meninggal," balas Reagan. "Dia meninggal dua setengah tahun yang lalu, satu bulan setelah kecelakaan."

Tubuh Bianca membeku seketika. Bayangan kecelakaan waktu itu langsung berseliweran di otaknya. Gadis itu gemetar, lidahnya seketika berubah kelu.

"Atas dasar apa lo ngomong gitu, Gan? Lo punya bukti?" Brian berusaha berpikir rasional. Separuh dirinya yakin Reagan tak mungkin berbohong, namun ia tak bisa langsung percaya. Apalagi, ini bukan fakta biasa.

"Dokter Ben," ucapnya. "Kalian inget, waktu bokapnya Arsa bawa dia berobat ke Singapura? Yang nanganin dia adalah dokter Ben, Om gue."

Pagi harinya...

"Tante sama Om tunggu sini dulu, ya? Kamarnya masih diberesin ART. Atau Tante sama Om mau istirahat di kamar Reagan dulu?"

"Tante pinjem kamar buat nidurin Russel boleh? Kayaknya dia nggak nyaman tidur begini," balas Tamara, menunjuk balita berumur tiga tahun yang terlelap dalam pangkuannya. Reagan mengangguk, mengantar Tamara menuju kamarnya.

Sesampainya di kamar, Reagan pamit untuk membersihkan diri di kamar mandi. Tamara memutuskan untuk melihat-lihat kamar keponakannya. Sudah lama sekali ia tidak berkunjung, terakhir kali ia datang ke Indonesia adalah sebelum ia menikah dengan Ben, suaminya yang merupakan warga negara Singapura.

Pandangan Tamara tertuju pada sebuah foto yang terpajang di meja belajar Reagan. Di sana, ada empat laki-laki yang sedang mengangkat seorang gadis cantik. Ia mengernyit, saat melihat salah satu dari kelima remaja itu. Wajahnya terlihat sangat... familiar.

"Reagan, ini temen-temen kamu?" tanya Tamara saat Reagan baru saja keluar dari kamar mandi. Reagan mengangguk.

"Ini... anaknya Gunadi Govan, bukan?" tanya Tamara. Ia menunjuk salah satu dari kelima remaja itu.

"Tante kenal sama Om Gunadi?" bukannya menjawab, Reagan malah balik bertanya.

Tamara mengangguk. "Dia kakak kelas Tante dulu waktu SMA. Tante turut berduka ya, atas meninggalnya temen kamu."

Dahi Reagan berkerut. "Meninggal? Maksud Tante?"

"Masa kamu nggak tau temen kamu meninggal?" Reagan menggeleng. Kecurigaan yang selama ini ia kubur, kembali mencuat ke permukaan.

"Teman kamu ini, pasiennya Om Ben. Dia dibawa ke rumah sakit milik Om kamu setelah satu minggu dirawat di Indonesia. Tiga minggu kemudian, teman kamu sudah nggak ada."

Jantung Reagan seakan berhenti berdetak. "Nggak mungkin, Tante. Dia masih hidup, kok."

Tamara mengedikkan bahu. "Coba kamu tanya Om Ben. Dia lebih tahu. Tapi Tante yakin sih dengan ingatan Tante."

Tanpa menunggu, Reagan langsung keluar dari kamar, menemui Om-nya yang berada di ruang tamu. Ben menceritakan semuanya, persis seperti yang Tamara ceritakan. Detik itu juga, Reagan semakin yakin, ada yang salah di sini.

"Om, Reagan bisa minta rekam medis Arsa?"

Ben menggeleng. "Maaf, Om hanya bisa memberikan itu pada keluarga pasien. Sedangkan kamu bukan."

Reagan menipiskan bibirnya, kesal. Selangkah lagi, ia bisa mendapatkan jawaban atas kecurigaannya selama ini.

Hanya ada satu cara yang bisa Reagan lakukan. Tak ingin menunggu lebih lama, ia mengucapkan terima kasih pada Ben, lalu melenggang pergi menuju taman belakang. Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya, mencari nama seseorang di daftar kontak. Setelah menemukan, Reagan langsung menekan tombol telepon, dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Halo, Kakek. Reagan mau minta bantuan Kakek."

Percakapan itu berlangsung kurang dari dua menit. Tak banyak yang tahu bahwa Reagan merupakan keturunan dari Maheswara, salah satu orang paling berpengaruh di Asia. Tak hanya sebagai bos properti, tapi juga sebagai seorang mafia kelas atas.

Reagan hampir tak pernah meminta bantuan pada Maheswara. Ia tak ingin berhubungan terlalu banyak dengan sang kakek yang berkecimpung dalam bisnis kotor. Namun kali ini, tak ada orang lain yang bisa membantunya selain sang kakek.

Tak butuh waktu lama, hingga Reagan mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia mengepalkan tangannya, hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya membaca dengan seksama setiap huruf yang tertera dalam file yang dikirimkan anak buah Maheswara lewat e-mail.

Tanpa berpikir dua kali, Reagan kembali masuk, menyambar kunci mobilnya, menuju villa milik keluarga Govan. Persetan dengan acara keluarga. Amarah Reagan sudah sampai di ambang batas. Ia harus menuntaskan semua secepatnya.

Bianca mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Reagan dengan pandangan tak percaya. Air mata tak berhenti mengalir dari kedua mata bulatnya. Gadis itu menggelengkan kepalanya, membaca rekam medis dari ponsel Reagan. Tubuhnya melemas saat membaca hari, tanggal, dan jam kematian Arsa.

"Nggak mungkin. Ini pasti bohong," lirihnya. Ia berbalik, menatap Arsa. "Arsa, Reagan bohong, kan? Nggak mungkin. Ini pasti palsu. Kamu bela dong diri kamu, Sa! Ini nggak bener, kan?"

Arsa hanya diam, menatap nanar Bianca. Bahkan saat gadis itu memukuli dadanya, Arsa hanya diam.

"Sa, jawab! Ini bohong, kan?" tanya Bianca lagi. Matanya memancarkan binar penuh harap, berharap Arsa menyangkal semuanya. Namun keterdiaman laki-laki itu, membuat harapannya pupus seketika.

Jiwa Bianca seolah terpisah dari raganya. Tatapan dan pikiran gadis itu berubah kosong. Dengan kecewa, ia memundurkan tubuhnya menjauhi Arsa, bangkit, lalu berjalan gontai menuju Reagan.

"Reagan, Ica mau pulang."










Hai!😋
Ternyata kalian pinter-pinter😭 bahkan udah ada yang nebak sejak chapter 4! HAHAHAH

Di chapter ini terjawab sudah kenapa 'Arsa' bisa berubah drastis.

Enjoy, guys!

Btw, ada yang bisa nebak siapa nama asli si Arsa palsu? 😚

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now