BLL | 24

17.9K 1.8K 36
                                    

"Baju udah, celana, baju tidur, jaket, charger, oh, skin care belum!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Baju udah, celana, baju tidur, jaket, charger, oh, skin care belum!"

Bianca berdiri dari posisinya, mengambil pouch biru mudanya yang berisi berbagai produk perawatan kulit, lalu memasukannya ke dalam koper. Gadis itu kembali membaca list yang sudah ia buat, takut-takut ada yang tertinggal. Bianca memberi tanda centang di setiap barang yang sudah ia masukkan ke dalam koper.

"Selesai!" Bianca bertepuk tangan, puas. Gadis itu menutup koper biru mudanya, lalu berjalan keluar kamar.

"Udah selesai?"

"Astaga!"

Bianca berjengit kaget mendengar suara bariton yang sangat dikenalnya, tiba-tiba terdengar sangat dekat di belakang gadis itu. Ia membalikkan badan, lalu memukul dada Arsa pelan. "Kamu ngagetin!"

Arsa tersenyum lucu, menarik Bianca ke dalam pelukannya.

"Kenapa tiba-tiba dateng?" tanya Bianca. Arsa menggeleng. "Kangen. Mau peluk."

Jantung Bianca berdegub dua kali lipat lebih cepat. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Arsa, menyandarkan kepalanya di dada bidang laki-laki itu. Lagi-lagi, Bianca merasa nyaman. Sangat nyaman. Hatinya menghangat setiap tubuh mungilnya tenggelam dalam rengkuhan Arsa.

"Kamu udah packing?" tanya Bianca.

"Belum."

Bianca menjauhkan kepalanya, menatap Arsa. "Kok belum? Ayo ke rumah kamu sekarang, kita packing!" Bianca menarik Arsa keluar rumah.

"BIBI!! ICA KE RUMAH ARSA, YA! MAU BANTU PACKING!"

"Iya, Non!"

Rumah Bianca dan Arsa berjarak dua gang. Tidak jauh sebenarnya, namun karena perumahan yang mereka tinggali merupakan salah satu perumahan elit yang berisi rumah-rumah super besar dan luas, jadi terlihat jauh. Butuh lima belas menit berjalan kaki, dan Arsa tak akan membiarkan Bianca melakukan itu.

Mobil Arsa tiba di rumah besar nan mewah milik keluarga Govan. Bianca langsung turun, tanpa menunggu Arsa.

"Hmm, udah lama Ica nggak kesini," gumam Bianca. Tiba-tiba, ia merasa pundaknya memberat karena lengan kekar yang menimpa. Siapa lagi kalau bukan Arsa.

"Ayo masuk."

Tak ada yang berubah sejak tiga tahun lalu. Rumah itu masih dingin dan sepi, seperti tak ada kehidupan sama sekali. Hanya ada Arsa dan beberapa pekerja yang tinggal di sana. Gunadi sendiri jarang pulang, karena sibuk keliling dunia guna memperluas perusahaannya.

Rumah Arsa sangat besar dan luas, bahkan tiga kali lebih besar dari milik Bianca. Seingat gadis itu, Arsa pernah bilang, rumahnya terdiri dari tiga rumah yang dijadikan satu.

Bianca dan Arsa langsung melangkah menuju kamar laki-laki itu, yang terletak di lantai dua. Begitu masuk, mata Bianca memindai seluruh penjuru ruangan 6x7 meter itu. Tidak banyak yang berubah, hanya mainan-mainan kesayangan Arsa yang menghilang, dan ketambahan beberapa pigura berisi foto-foto Bianca dan Arsa yang terpajang hampir di setiap meja.

"Kamar kamu makin rapi, Ica suka," ucap Bianca. Setelah kecelakaan, ia merasa Arsa semakin rapi. Padahal dulu Bianca selalu marah-marah karena Arsa berantakan, namun sekarang, Bianca bahkan kalah rapi dengan Arsa.

Arsa tersenyum, mencium pelipis Bianca. "Kamu duduk aja, aku packing sendiri."

Bianca mengerucutkan bibirnya, sebal. "Terus aku ngapain kesini?"

"Ngeliatin aku packing," balas Arsa sambil mengeluarkan koper hitam miliknya. Laki-laki itu memasukkan beberapa potong baju, celana, dan barang-barang lainnya yang akan ia bawa besok. Tanpa sadar, kedua netra hazel Bianca tak lepas dari Arsa. Sesekali gadis itu berdecak kagum melihat ketampanan kekasihnya.

"Ganteng, ya?"

"Iya," jawab Bianca tanpa sadar. Sedetik kemudian, gadis itu langsung mengelak. "Eh, nggak! Siapa yang ganteng? Kamu jelek, tau!"

"Emang iya?" Arsa menghentikan kegiatannya, berjalan mendekati Bianca, lalu duduk di sebelah gadis itu. Ia memajukan wajahnya— menatap Bianca menggoda, hingga membuat Bianca mundur sambil menelan ludah.

"Coba diliat lagi."

Bianca meneliti wajah Arsa. Alis tebal, mata tajam bak elang, rahang tegas, hidung mancung, bibir menggo— eh, Ica mesum! Nggak boleh mikir gitu, Ica! batinnya pada diri sendiri.

"Masih jelek?"

Suara berat Arsa membuat sekujur tubuh Bianca bak tersengat listrik tegangan tinggi. Gadis itu terpaku di tempat, mata Arsa seakan melumpuhkan kesadarannya. Arsa semakin mendekat, hingga bibir mereka hanya berjarak dua senti. Melihat tak ada penolakan dari Bianca, Arsa memberanikan diri mendaratkan bibirnya tepat di bibir gadis itu, menciumnya lembut dan penuh perasaan.

"AAAAAAA JAUH-JAUH DARI ICA!!" Bianca berteriak histeris saat Arsa melepas ciuman mereka. Gadis itu terengah, memegangi bibirnya yang sudah tak suci lagi. Ia menatap Arsa dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Eh? Jangan nangis. Maaf, aku kelepasan," Arsa langsung merasa bersalah. Ia mengumpati dirinya dalam hati. Bisa-bisanya ada setan lewat tiba-tiba!

Isakan Bianca mulai terdengar. Semakin lama, semakin kencang. Gadis itu bersandar di kepala kasur Arsa, menjauhkan diri dari laki-laki itu. Tepat di saat yang sama, Fajar membuka pintu kamar Arsa.

"Tuan M—"

"PAK FAJAAARRR HUAAAA ARSA JAHAAAATTTTT!!!" Bianca langsung berlari, menubrukkan dirinya pada pria paruh baya yang sudah dikenalnya sejak kecil itu. Bianca terisak keras, membuat Fajar menatap Arsa bingung.

"Ica, jangan peluk-peluk cowok lain!" Arsa langsung berdiri, menarik Bianca menjauh dari Fajar. Rasa bersalahnya langsung menghilang, ditutupi rasa cemburu yang menggebu-gebu. Ia memeluk Bianca yang memberontak hebat sambil menangis terisak.

"Pak Fajar tolongin Icaaa... huaaaa..." Bianca masih berusaha melepaskan diri.

"Tuan Muda, Nona..." Fajar menelan kembali kata-katanya saat melihat tatapan tajam Arsa. Dengan gerakan tubuh, ia menyuruh Fajar keluar dari kamar. Pria paruh baya itu menatap Arsa dan Bianca sekilas, lalu menutup pintu kamar Arsa. Gadis itu semakin histeris, memanggil nama Fajar berkali-kali guna meminta pertolongan.

"Hei, hei, Ica. Liat aku," Arsa membingkai wajah Bianca, menatap tajam penuh ancaman hingga gadis itu diam tak berkutik. Saat dirasa Bianca sudah tenang, tatapannya melembut.

"Kamu kenapa histeris? Aku keterlaluan, ya? Maaf, aku kelepasan. Ica mau apa biar Ica nggak nangis lagi?" Arsa menghapus air mata Bianca yang terus mengalir dengan ibu jarinya. Gadis itu menangis tanpa suara, menatap Arsa ketakutan, marah, dan kecewa.

"Kamu jahat! Ica nggak mau jadi Mama! Kita belum lulus SMA, Arsa! Ica nggak mau nikah muda! Ica juga masih mau kuliah, mau ngejar cita-cita! Kamu jahat, jahat, jahat!!!" Bianca memukuli dada Arsa sekuat tenaga.

Dahi Arsa berkerut, bingung. "Maksudnya? Siapa yang ngajak nikah muda?"

"Kata Bang Arial, kalo ada cowok yang cium bibir Ica, Ica bisa hamil. Kalo hamil, Ica harus nikah. Kalo Ica hamil gimana?!"

Arsa melotot kaget, otaknya tiba-tiba berhenti berproses.

"H-hah?"

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang