BLL | 13

23.1K 2.3K 26
                                    

Bianca melirik untuk yang kesekian kalinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bianca melirik untuk yang kesekian kalinya. Laki-laki itu sedang marah, tapi Bianca sama sekali tak tahu apa penyebabnya. Sejak menjemputnya di rumah tadi, Arsa hanya diam. Diam dalam arti yang mengerikan. Saking seringnya, Bianca sampai hafal bagaimana ekspresi laki-laki itu kalau sedang marah.

Gadis itu mengeratkan cengkramannya pada sabuk pengaman, saat Arsa semakin mempercepat laju mobilnya. Tubuh Bianca mulai bergetar, keringat dingin mulai mengucur di pelipisnya. Ia kembali mengingat kejadian mengerikan dua tahun lalu.

"Arsa..."

"Tolong... to.. long kami..."

"Ar.. sa, b-bang...un..."

"Sa-sakit..."

"To...long."

Tanpa sadar, Bianca menangis. Tubuhnya kembali mengingat rasa sakit yang saat itu menderanya. Darah dimana-mana. Suara sirine ambulans, serta kerumunan orang yang hanya menonton tanpa berniat membantu.

Mendengar isakan Bianca, Arsa menepikan mobilnya. Rasa bersalahnya langsung mengambil alih , menggantikan emosinya yang tadi mendominasi. Ia menarik Bianca kedalam pelukannya, sambil terus merutuki dirinya sendiri dalam hati.

"Hiks... sakit..."

"Kaki Ica sakit..."

Bianca terus meracau. Gadis itu merasa kakinya mati rasa. Ia merasa kembali lumpuh seperti waktu itu. Tangisan Bianca semakin kencang, tubuhnya meronta hebat dalam pelukan Arsa. Gadis itu panik dan takut.

"Hei, i'm here. I'm here, Ca," bisik Arsa, menenangkan. "Maaf, maaf. Jangan nangis. Ada aku. Kaki kamu nggak papa, Ica. You're okay."

Bianca masih meronta. Setelah sekian lama, trauma itu kembali. Mengingatkannya akan mimpi buruk yang berusaha ia kubur dalam-dalam.

"Arsa, tolong... tolong... hiks. Kaki Ica... hiks sakit..."

Arsa semakin mempererat pelukannya. Gadis itu sangat ketakutan, karena ulahnya. Seharusnya, ia tak boleh membawa mobil dengan kecepatan tinggi seperti tadi. Hal itu hanya akan menghadirkan kembali mimpi buruk Bianca.

"Ica, hei, Sayang. Liat aku," Arsa melepaskan pelukannya, menangkup kedua pipi Bianca hingga ia bisa melihat jelas wajah gadis itu. Bianca masih menutup matanya, menggeleng cepat.

"Bianca, buka mata kamu, liat aku. It's okay. Kita baik-baik aja, kamu baik-baik aja. Coba kamu liat sendiri," bisik Arsa, lembut.

Gadis itu akhirnya menurut. Ia perlahan membuka matanya. Netra hazel-nya langsung bertemu dengan netra cokelat gelap milik Arsa yang menatapnya lembut, menenangkan. Seolah ada lagi kemarahan di sana.

"Tarik napas, buang pelan-pelan," titah Arsa. Bianca menarik napasnya dalam-dalam, menghembuskannya secara perlahan. Saat dirinya mulai tenang, ia kembali memeluk Arsa, menenggelamkan wajahnya di dada bidang laki-laki itu.

"Takut..." cicitnya. Arsa mengusap punggung Bianca lembut. Sesekali ia mengecup puncak kepala gadis itu.

"I'm sorry," ucapnya. "Nggak seharusnya aku ngebut. Maaf, Sayang."

Bianca hanya diam, tak menjawab. Arsa melirik jam di mobilnya. Mereka sudah terlambat ke sekolah. Akhirnya, ia memutuskan untuk tidak masuk saja. Kondisi Bianca juga tak memungkinkan untuk ke sekolah sekarang.

Arsa mengendurkan pelukannya saat mendengar napas teratur Bianca. Rupanya, gadis itu sudah tertidur. Menangis memang memerlukan tenaga yang besar.

Alih-alih pulang ke rumah, Arsa memilih membawa Bianca ke apartemennya yang tak jauh dari tempat mereka berada sekarang. Ia tak ingin Bianca kelelahan karena posisi tidur yang tidak nyaman terlalu lama.

Sesampainya di apartemen, Arsa merebahkan tubuh mungil Bianca di kasurnya. Tak lupa ia melepas kedua sepatu dan kaus kaki kekasihnya. Gadis itu menggeliat kecil, lalu kembali tidur. Arsa menarik selimut hingga sebatas dada.

"Maaf," lirihnya lagi. Ia mencium kening serta kedua mata sembab Bianca, sebelum melangkah keluar dari kamar.

***

Saat Bianca terbangun, ia langsung sadar bahwa dirinya sedang berada di apartemen Arsa. Bianca sering berkunjung ke apartemen ini. Apartemen yang dihadiahkan oleh Gunadi beberapa tahun lalu untuk Arsa.

Gadis itu melotot saat melihat jam di nakas. Jam sepuluh, artinya masih jam sekolah. Bianca langsung turun dari kasur, melangkah keluar kamar mencari Arsa.

"Arsa!" panggilnya. Arsa yang awalnya fokus dengan ponselnya, langsung berdiri, menghampiri Bianca.

"Hei, udah bangun?" tanyanya. Direngkuhnya tubuh Bianca ke dalam pelukan.

"Pusing?" Bianca menggeleng.

"Kok kita di sini? Kan harusnya kita sekolah."

"Kamu tidur tadi. Hari ini kita nggak usah masuk. Aku udah bilang Fajar buat ngurus surat izin kita. Kamu pasti nggak mau bolos."

Bianca hanya mengangguk. Ia menenggelam wajahnya dalam-dalam di dada bidang Arsa.

"Kenapa?" tanya Arsa bingung.

"Laper," jawab Bianca.

"Aku udah beli makan. Mau makan sekarang?" Bianca mengangguk. Ia melepaskan pelukannya, lalu berjalan ke meja makan. Terdapat berbagai macam makan di sana, mulai dari rendang, hingga ayam goreng. Semuanya makanan kesukaan Bianca.

"Dipanasin dulu aja, udah dingin itu," ucap Arsa. Bianca menggeleng cepat. Perutnya sudah kelaparan. Dengan antusias, gadis itu mengambil nasi untuk dirinya dan Arsa.

"Sini, Sa. Ayo makan," ucapnya. Sebenarnya Arsa belum lapar, namun Bianca sudah terlanjur mengambilkannya nasi. Tak ingin mengecewakan Bianca, Arsa menurut.

"Pelan-pelan makannya," ucap Arsa. Ia mengambil butiran nasi yang menempel di sudut bibir Bianca. "Laper banget ya kamu?"

Bianca mengangguk. Seketika ia mengingat kejadian di mobil tadi. "Jangan gitu lagi ya, Sa, aku takut..."

"Iya, janji. Aku minta maaf ya, Sayang," ucap Arsa. "Aku nggak bisa kontrol emosi."

"Kamu marah kenapa? Aku ada salah?" tanya Bianca. Arsa tersenyum menggeleng cepat.

Ia tak ingin melampiaskan emosinya pada Bianca. Ada jalan yang lebih baik dari ini.

Mematahkan tangan yang satunya, tak masalah, kan?

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now