BLL | 30

20K 1.7K 44
                                    

"Bi, lo pucet banget

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bi, lo pucet banget. Ke UKS aja, ya?" Nela menatap Bianca khawatir. Sahabatnya itu terlihat sangat tidak baik. Wajah Bianca pucat pasi, seperti mayat.

"Nggak mau," jawab Bianca lemah. Ia merebahkan kepalanya di atas meja, dengan kedua tangan yang ia lipat sebagai alas.

Nela berdecak. "Gue beliin makan, ya?"

Bianca lagi-lagi menggeleng, tanpa mengangkat kepalanya. Nela melirik Brian dan Mars yang duduk tak jauh dari mereka. Kedua laki-laki itu juga terlihat khawatir dengan keadaan Bianca.

Hari ini, merupakan hari sial untuk Bianca. Sudah datang bulan hari pertama, lupa membawa obat pereda nyeri pula! Tadi, sebenarnya Bianca sudah pergi ke UKS untuk meminta obat pereda nyeri, namun tidak ada. Terpaksa, Bianca kembali ke kelas dengan perut yang rasanya seperti diremas tangan tak kasat mata kuat-kuat.

"Lo mau pulang, nggak? Biar gue urus surat izin pulang ke guru piket," tanya Nela lagi. Untuk yang kesekian kalinya, Bianca menggeleng lemah, membuat Nela menghembuskan napas, menyerah.

Tak lama, Bu Risma masuk ke dalam kelas. Seperti biasa, mata elangnya langsung ia edarkan, mencari sesuatu yang bisa ia komentari. Dan kali ini, sasaran empuknya adalah Bianca.

"Vanela, bangunkan teman sebangku kamu!" suara tegas Bu Risma membuat kepala Bianca terangkat. Gadis itu meringis tertahan, memegangi perut bawahnya yang semakin sakit.

"Kamu sakit, Bianca?" Bianca mengangguk lemah.

"Pergi ke UKS, jangan tidur di kelas saya! Saya paling tidak suka ada anak yang tidur saat saya mengajar!" ucapnya garang, membuat siapapun yang mendengar bergidik ngeri.

Tak ada pilihan lain, akhirnya Bianca bangkit dari kursinya. Ia berusaha mengumpulkan kekuatannya, agar tak pingsan di tengah jalan.

"Kamu kuat pergi ke UKS sendiri? Kalau tidak, Vanela bisa mengantar kamu," tawar Bu Risma. Bianca tersenyum tipis, mengangguk. "Saya bisa sendiri kok, Bu. Permisi."

Semakin langkahnya bertambah, Bianca merasa perutnya semakin sakit. Inilah yang menyebabkan Bianca tak bisa lepas dari obat pereda nyeri saat sedang datang bulan. Sialnya, terlalu larut dalam rasa sedih dan kecewa membuatnya kacau. Baru kali ini Bianca tak membawa obat pereda nyeri-nya.

Bianca berpegangan pada tembok dan pilar agar tak terjatuh. Sesekali gadis itu menunduk sambil meringis, matanya sudah berkaca-kaca. Entah mengapa, jarak kelasnya ke UKS terasa berkali-kali lipat lebih jauh daripada biasanya.

Hingga tak lama, kesadaran Bianca mulai berkurang. Kepalanya mendadak pusing, membuat gadis itu tak bisa lagi mempertahankan tubuhnya tetap tegak. Bianca mulai limbung. Untung saja sebelum tubuh Bianca menghantam lantai, seseorang menangkapnya.

"Eh, lo nggak papa?" tanya laki-laki itu. Wajahnya terlihat panik. Bianca ingin menjawab, namun gadis itu sama sekali tak punya tenaga. Baru saja laki-laki itu hendak menggendong Bianca, tubuhnya malah ditarik kedalam pelukan seseorang, disusul bunyi erangan keras dari laki-laki yang tadi menopangnya. Dari bau tubuh saja, Bianca sudah sangat tahu siapa pelakunya. Sebelum kesadaran Bianca menghilang, ia bisa mendengar suara bariton laki-laki itu.

"Jangan sentuh milik gue!"

Lalu, kesadaran Bianca lenyap.

***

Bianca mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia mengedarkan pandangan, dan mendapati dirinya sudah berada di kamarnya.

"Masih sakit?"

Bianca menoleh ke sumber suara. Laki-laki itu— Ares, berdiri dari tempatnya, berjalan mendekati Bianca dengan wajah khawatir sekaligus lega. Bianca hendak bangkit, namun Ares menahannya.

"Jangan bangun dulu, kamu masih pucet," katanya. Bianca menepis tangan Ares yang berada di pundaknya dengan kasar.

"Kamu yang bawa aku pulang?" tanya Bianca.

"Iya," ucap Ares. "Kamu pingsan, ja—"

"Seenaknya banget sih!" balas Bianca marah.

"Kamu pingsan, Bianca," Ares mencoba untuk sabar. Ia berusaha menahan egonya untuk tak memarahi Bianca. Melihat wajah Bianca yang pucat pasi, membuatnya khawatir setengah mati.

"Bawa aku ke UKS kalo gitu!" Bianca menatap Ares tajam. Bukannya berterima kasih, gadis itu malah marah-marah.

Ares menghela napas, mengalah. "Kamu lupa bawa obat pereda nyeri?"

"Bukan urusan kamu!"

"Bianca," Ares berlutut di samping kasur Bianca. Tangannya hendak menggenggam tangan Bianca, namun gadis itu langsung menghindar.

"Mau sampai kapan kamu kayak gini sama aku?" tanyanya putus asa. Bianca memalingkan wajah, enggan menatap Ares. Ia tak ingin luluh karena wajah putus asa Ares.

"Aku minta maaf udah bohongin kamu," ucap Ares. "Tapi aku punya alasan untuk itu. Aku bakal jelas—"

"Mending kamu pulang. Aku nggak mau denger penjelasan kamu," balas Bianca. Matanya terus menatap ke arah jendela.

"Bi—"

"Pergi!" Bianca mulai menaikkan nada suaranya. Ares berdiri, mengusap kepala Bianca cepat, sebelum gadis itu kembali menepis tangannya.

"Cepat sembuh, aku sayang kamu."

Sepeninggal Ares, air mata Bianca mulai turun kembali.

***

Di pintu depan, Ares berpapasan dengan Nela dan Brian yang baru datang. Ares memang mengirim pesan pada Nela untuk membawakan tas Bianca pulang tadi. Ia bisa merasakan tatapan sengit dari Brian yang masih belum bisa menerimanya.

"Ada yang habis diusir nih," sindir Brian, membuat Nela menyikut perut Brian keras. Ares hanya menatap mereka sekilas, sebelum berlalu tanpa pamit.

"Lain kali jangan ngibulin orang, bro! Sempit ntar kuburan lo!" teriak Brian lagi. Nela menginjak kaki Brian keras-keras, membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.

"Aduh, sakit, Yang!" keluh Brian, memegangi kakinya yang nyut-nyutan.

"Punya mulut tuh dijaga!" tegur Nela kesal, sebelum berlalu ke kamar sahabatnya— meninggalkan Brian di pintu depan.

***

Ares membuka pintu utama rumahnya, dan langsung mendapat bogeman mentah di rahang.

"Bodoh!" maki Gunadi. Dada pria paruh baya itu naik turun, napasnya tak beraturan. Ia menatap Ares penuh amarah.

"Sudah berapa kali saya peringatkan kamu, jangan berbuat ulah! Bertingkahlah seperti Arsa! Lihat sekarang. Kamu ketahuan, kan?!"

BUG!

Gunadi kembali melayangkan tangannya ke rahang Ares.

"Kamu tahu? Reagan adalah cucu dari Maheswara! Dia bukan orang sembarangan! Kamu benar-benar tidak berguna!"

BUG! BUG! BUG!

Gunadi melayangkan tinjuannya tepat di ulu hati dan wajah Ares, membuat laki-laki itu limbung. Ia meringis saat merasakan tendangan Gunadi di ulu hatinya.

"Seharusnya kamu berterima kasih. Karena saya, kamu dapat hidup mewah sekarang. Saya sudah keluar uang banyak hanya untuk kamu! Tapi apa balasannya?" desis Gunadi. Ia kembali melayangkan pukulan, tak peduli dengan Ares yang sudah meringkuk kesakitan.

"Dengar saya baik-baik. Kalau sampai nama baik saya rusak karena ulah kamu ini, jangan harap gadismu itu bisa hidup!"

Ares mendongak, menatap Gunadi yang berdiri menjulang di hadapannya.

"Jangan Bianca," lirihnya. "Tolong, jangan apa-apain Bianca."

Tanpa menghiraukan permohonan Ares, Gunadi berlalu begitu saja, menuju ruang kerjanya.








Enjoy! 🥰

BETWEEN LOVE AND LIES ✓Where stories live. Discover now